Makar dan Makan
A
A
A
Moh Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
SANGKAAN makar atas 11 orang aktivis (belakangan ditambah satu orang lagi yakni Hatta Taliwang) yang dilakukan oleh Polri tidak cukup dilihat dari kacamata hukum pidana, tetapi harus juga dilihat dari aspek konstitusi dan hukum tata negara (HTN). Kita sangat kaget ketika pada Jumat 2 Desember 2016 pagi ada berita yang kemudian dikonfirmasi oleh Polri bahwa Rachmawati, putri Bung Karno, dan sepuluh orang lainnya diamankan (ditangkap) karena diduga (dan kemudian diangka) melakukan makar.
Ini tidak main-main. Sebab jika dirunut dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 104 dan seterusnya, ancaman hukuman bagi pemakar sangatlah berat. Ancamannya mulai dari hukuman mati, penjara seumur hidup, penjara 20 tahun, penjara 15 tahun, dan seterusnya. Pasal KUHP yang mana yang disangkakan dilakukan oleh mereka? Menurut Polri mereka, kecuali Ahmad Dhani, disangka melanggar Pasal 107 dan Pasal 110 KUHP.
Sangkaannya sangat serius karena pelakunya diancam hukuman berat. Pasal 107 KUHP mengatur, siapapun yang secara melawan hukum melakukan makar dengan usaha menggulingkan pemerintah dipidana dengan pidana makar paling lama 15 tahun penjara. Sedangkan pemimpin dan para pengatur makar diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun.
Jika dilihat dari peristiwa-peristiwa yang mendahului serta keterangan Polri sendiri, tampaknya sulit dipercaya bahwa mereka telah melakukan makar sebagaimana diatur di dalam Pasal 107 KUHP. Sebab yang mereka lakukan sebelum itu adalah merencanakan datang ke Gedung MPR pada tanggal 2 Desember 2016 untuk meminta MPR melakukan Sidang Istimewa agar memberlakukan kembali UUD 1945 dan (mungkin) meminta MPR memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Rencana yang dikemukakan secara resmi oleh Rachmawati dan yang menurut istri Sri Bintang Pamungkas Ernalia disampaikan secara resmi melalui surat itu tentu tidak bisa disebut makar. Mereka menyampaikan rencananya secara resmi, terbuka dan tanpa melakukan kekerasan untuk memaksa. Karena langkah mereka itu tidak bisa dikategorikan makar dengan melanggar Pasal 107 maka pihak Polri melapisinya dengan sangkaan makar dengan menggunakan Pasal 110 KUHP.
Di dalam Pasal 110 disebutkan, antara lain, siapa pun yang melakukan permufakatan untuk melakukan tindakan seperti yang diatur Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108 diancam karena melakukan makar seperti ketentuan pasal-pasal tersebut. Jadi sangkaan yang dikenakan kepada mereka, sangat mungkin, adalah sangkaan melakukan permufakatan untuk melakukan tindakan yang dilarang oleh Pasal 107 KUHP, yakni berusaha menggulingkan pemerintah.
Dengan demikian yang perlu ditunggu adalah bukti-bukti yang dimiliki oleh Polri dalam menetapkan sangkaan bahwa mereka telah melakukan permufakatan. Polri harus mempunyai bukti yang kuat bahwa mereka melakukan permufakatan untuk makar, bukan hanya bukti bahwa mereka pernah bertemu dan berdiskusi sambil makan-makan tentang kemungkinan meminta MPR bersidang agar mengganti lagi UUD dan atau untuk memberhentikan Presiden/Wapres.
Pertemuan-pertemuan sambil makan-makan untuk mengusulkan pemberhentian Presiden dan pemberlakuan UUD (misalnya usul kembali ke UUD 1945 yang asli) yang hendak disampaikan secara resmi dan tanpa kekerasan fisik tentulah bukan makar, melainkan makan. Kegiatan seperti itu adalah kegiatan legal yang dari sudut hukum tata negara merupakan penggunaan hak politik yang dilindungi sepenuhnya oleh konstitusi.
Pada awal-awal Reformasi 1998 kita sudah mencabut keberlakuan UU No 11/PNPS/1963 tentang Tindak Pidana Subversi agar setiap orang mempunyai kebebasan serta tidak takut membicarakan dan menyampaikan aspirasi politik dan penilaiannya tentang jalannya pemerintahan. Melalui perubahan UUD kita juga sudah memasukkan rincian hak-hak asasi manusia (HAM) sebagaimana diatur oleh berbagai konvensi internasional.
Pasal 28 UUD 1945 ditambah dengan sepuluh Pasal baru (Pasal 28A sampai dengan 28J) guna menegaskan jaminan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Upaya menyampaikan aspirasi politik ke MPR sulit dianggap makar karena dalam hukum tata negara yang sekarang berlaku MPR tidak bisa mengubah UUD atau memberhentikan Presiden/Wapres tanpa melalui lembaga lain dengan prosedur yang sangat ketat.
Untuk mengubah UUD, misalnya, harus melibatkan DPR dan DPD. Untuk memberhentikan Presiden harus melibatkan DPR dan Mahkamah Konstitusi melalui mekanisme impeachment. MPR tidak bisa melanggar syarat dan mekanisme itu, misalnya, hanya karena didatangi oleh Rachmawati Cs. Kalau MPR melanggar itu justru MPR lah yang melakukan makar.
Rencana kehadiran Rachmawati Cs ke gedung MPR bisa diartikan sebagai upaya menyampaikan aspirasi kepada MPR untuk memproses penggantian pemerintah maupun UUD sesuai dengan prosedur yang berlaku secara konstitusional. Pembicaraan-pembicaraan yang mendahului itu, boleh jadi, bukan permufakatan untuk makar melainkan kesepakatan sambil makan.
Ada baiknya kita coba dalami penjelasan Kapolri Tito Karnavian di gedung DPR awal pekan ini. Kapolri mengatakan, penangkapan atas Rachmawati Cs dilakukan untuk tidak mengambil risiko sekecil apapun saat ada Aksi Superdamai tanggal 2 Desember 2016 (212). Mereka ditangkap agar tak ada celah untuk memprovokasi massa sehingga terjadi kerusuhan, misalnya, menduduki Gedung MPR.
Tindakan Polri mengamankan mereka agar tidak memprovokasi Demo 212 bisa dibenarkan dari sudut kemanfaatan hukum. Tetapi kalau memang itu maksudnya, maka sebenarnya masalahnya sudah selesai dan mereka bisa dilepaskan dari bidikan pidana makar. Toh mereka tidak bisa memprovokasi dan Demo 212 sudah berlangsung dengan benar-benar super damai.
Dari semua itu tentu kita harus menjaga negara ini sesuai dengan konstitusi dan hukum. Kalau hanya ada sekumpulan orang menyatukan aspirasi sambil makan ya tidak boleh diperlakukan sebagai pelaku makar. Masak orang makan dianggap makar?
Tetapi kalau memang ada bukti permufakatan untuk makar, siapa pun harus ditindak tegas tanpa pandang bulu. Mereka harus dijatuhi sanksi tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
SANGKAAN makar atas 11 orang aktivis (belakangan ditambah satu orang lagi yakni Hatta Taliwang) yang dilakukan oleh Polri tidak cukup dilihat dari kacamata hukum pidana, tetapi harus juga dilihat dari aspek konstitusi dan hukum tata negara (HTN). Kita sangat kaget ketika pada Jumat 2 Desember 2016 pagi ada berita yang kemudian dikonfirmasi oleh Polri bahwa Rachmawati, putri Bung Karno, dan sepuluh orang lainnya diamankan (ditangkap) karena diduga (dan kemudian diangka) melakukan makar.
Ini tidak main-main. Sebab jika dirunut dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 104 dan seterusnya, ancaman hukuman bagi pemakar sangatlah berat. Ancamannya mulai dari hukuman mati, penjara seumur hidup, penjara 20 tahun, penjara 15 tahun, dan seterusnya. Pasal KUHP yang mana yang disangkakan dilakukan oleh mereka? Menurut Polri mereka, kecuali Ahmad Dhani, disangka melanggar Pasal 107 dan Pasal 110 KUHP.
Sangkaannya sangat serius karena pelakunya diancam hukuman berat. Pasal 107 KUHP mengatur, siapapun yang secara melawan hukum melakukan makar dengan usaha menggulingkan pemerintah dipidana dengan pidana makar paling lama 15 tahun penjara. Sedangkan pemimpin dan para pengatur makar diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun.
Jika dilihat dari peristiwa-peristiwa yang mendahului serta keterangan Polri sendiri, tampaknya sulit dipercaya bahwa mereka telah melakukan makar sebagaimana diatur di dalam Pasal 107 KUHP. Sebab yang mereka lakukan sebelum itu adalah merencanakan datang ke Gedung MPR pada tanggal 2 Desember 2016 untuk meminta MPR melakukan Sidang Istimewa agar memberlakukan kembali UUD 1945 dan (mungkin) meminta MPR memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Rencana yang dikemukakan secara resmi oleh Rachmawati dan yang menurut istri Sri Bintang Pamungkas Ernalia disampaikan secara resmi melalui surat itu tentu tidak bisa disebut makar. Mereka menyampaikan rencananya secara resmi, terbuka dan tanpa melakukan kekerasan untuk memaksa. Karena langkah mereka itu tidak bisa dikategorikan makar dengan melanggar Pasal 107 maka pihak Polri melapisinya dengan sangkaan makar dengan menggunakan Pasal 110 KUHP.
Di dalam Pasal 110 disebutkan, antara lain, siapa pun yang melakukan permufakatan untuk melakukan tindakan seperti yang diatur Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108 diancam karena melakukan makar seperti ketentuan pasal-pasal tersebut. Jadi sangkaan yang dikenakan kepada mereka, sangat mungkin, adalah sangkaan melakukan permufakatan untuk melakukan tindakan yang dilarang oleh Pasal 107 KUHP, yakni berusaha menggulingkan pemerintah.
Dengan demikian yang perlu ditunggu adalah bukti-bukti yang dimiliki oleh Polri dalam menetapkan sangkaan bahwa mereka telah melakukan permufakatan. Polri harus mempunyai bukti yang kuat bahwa mereka melakukan permufakatan untuk makar, bukan hanya bukti bahwa mereka pernah bertemu dan berdiskusi sambil makan-makan tentang kemungkinan meminta MPR bersidang agar mengganti lagi UUD dan atau untuk memberhentikan Presiden/Wapres.
Pertemuan-pertemuan sambil makan-makan untuk mengusulkan pemberhentian Presiden dan pemberlakuan UUD (misalnya usul kembali ke UUD 1945 yang asli) yang hendak disampaikan secara resmi dan tanpa kekerasan fisik tentulah bukan makar, melainkan makan. Kegiatan seperti itu adalah kegiatan legal yang dari sudut hukum tata negara merupakan penggunaan hak politik yang dilindungi sepenuhnya oleh konstitusi.
Pada awal-awal Reformasi 1998 kita sudah mencabut keberlakuan UU No 11/PNPS/1963 tentang Tindak Pidana Subversi agar setiap orang mempunyai kebebasan serta tidak takut membicarakan dan menyampaikan aspirasi politik dan penilaiannya tentang jalannya pemerintahan. Melalui perubahan UUD kita juga sudah memasukkan rincian hak-hak asasi manusia (HAM) sebagaimana diatur oleh berbagai konvensi internasional.
Pasal 28 UUD 1945 ditambah dengan sepuluh Pasal baru (Pasal 28A sampai dengan 28J) guna menegaskan jaminan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Upaya menyampaikan aspirasi politik ke MPR sulit dianggap makar karena dalam hukum tata negara yang sekarang berlaku MPR tidak bisa mengubah UUD atau memberhentikan Presiden/Wapres tanpa melalui lembaga lain dengan prosedur yang sangat ketat.
Untuk mengubah UUD, misalnya, harus melibatkan DPR dan DPD. Untuk memberhentikan Presiden harus melibatkan DPR dan Mahkamah Konstitusi melalui mekanisme impeachment. MPR tidak bisa melanggar syarat dan mekanisme itu, misalnya, hanya karena didatangi oleh Rachmawati Cs. Kalau MPR melanggar itu justru MPR lah yang melakukan makar.
Rencana kehadiran Rachmawati Cs ke gedung MPR bisa diartikan sebagai upaya menyampaikan aspirasi kepada MPR untuk memproses penggantian pemerintah maupun UUD sesuai dengan prosedur yang berlaku secara konstitusional. Pembicaraan-pembicaraan yang mendahului itu, boleh jadi, bukan permufakatan untuk makar melainkan kesepakatan sambil makan.
Ada baiknya kita coba dalami penjelasan Kapolri Tito Karnavian di gedung DPR awal pekan ini. Kapolri mengatakan, penangkapan atas Rachmawati Cs dilakukan untuk tidak mengambil risiko sekecil apapun saat ada Aksi Superdamai tanggal 2 Desember 2016 (212). Mereka ditangkap agar tak ada celah untuk memprovokasi massa sehingga terjadi kerusuhan, misalnya, menduduki Gedung MPR.
Tindakan Polri mengamankan mereka agar tidak memprovokasi Demo 212 bisa dibenarkan dari sudut kemanfaatan hukum. Tetapi kalau memang itu maksudnya, maka sebenarnya masalahnya sudah selesai dan mereka bisa dilepaskan dari bidikan pidana makar. Toh mereka tidak bisa memprovokasi dan Demo 212 sudah berlangsung dengan benar-benar super damai.
Dari semua itu tentu kita harus menjaga negara ini sesuai dengan konstitusi dan hukum. Kalau hanya ada sekumpulan orang menyatukan aspirasi sambil makan ya tidak boleh diperlakukan sebagai pelaku makar. Masak orang makan dianggap makar?
Tetapi kalau memang ada bukti permufakatan untuk makar, siapa pun harus ditindak tegas tanpa pandang bulu. Mereka harus dijatuhi sanksi tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.
(poe)