Beban Pedas Inflasi
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
TINGKAT inflasi pada November yang lalu tercapai sebesar 0,47% (month to month), dan semakin memperkuat asumsi betapa "liarnya" kondisi harga pangan di pasaran. Jika dibandingkan dengan periode bulanan sebelumnya, tingkat inflasi pada bulan kemarin merupakan yang tertinggi kedua di tahun 2016.
Posisi inflasi pada kelompok komoditas bahan makanan menjadi penyumbang terbesar dengan andil sekitar 0,36%. Berikutnya diikuti dengan inflasi pada kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau yang turut menyumbang 0,05%.
Banyak pengamat yang menyitir istilah “pedasnya inflasi” lantaran terdapat kontribusi signifikan dari komoditas cabai merah sebesar 0,16% (BPS, 2016). Meskipun demikian, kalau dirangkum secara agregat dalam setahun, total inflasi kita masih relatif aman untuk mengejar target 4±1% di akhir tahun 2016. Gubernur Bank Indonesia (BI, 2016) masih optimistis nantinya kita akan menutup perjalanan inflasi 2016 dengan perolehan akhir berkisar di antara rentang 3,0-3,2%.
Kita patut berupaya menjaga agar tingkat inflasi kita tetap terkendali secara optimal. Ada beberapa alasan tersendiri di balik penetapan target agar inflasi berada dalam rentang yang rendah. Pertama, terkendalinya inflasi menunjukkan bahwa situasi pasar berada dalam kondisi yang seimbang. Artinya tidak ada deviasi yang signifikan antara kuantitas hasil produksi dengan tingkat permintaan konsumen.
Andai terjadi ketimpangan yang signifikan, maka situasi pasar akan mengarah kepada dua hal, yakni akan terjadi inflasi yang tinggi ketika terdapat kelangkaan barang/jasa, atau akan terjadi deflasi besar-besaran ketika kondisi excess supply. Untuk itulah pemerintah sangat didorong agar menguasai sistem manajemen stok pasar agar stabilitas harga selalu terjaga.
Kedua, tingkat inflasi yang rendah juga menunjukkan kondisi terhangat pada faktor-faktor determinan dari keseimbangan pasar. Di balik kenaikan tingkat permintaan konsumen, biasanya disebabkan karena terjadinya kenaikan pendapatan yang mendukung penguatan daya beli masyarakat.
Kenaikan pendapatan ini bisa jadi karena didorong oleh produktivitas sektor riil yang sedang bergairah. Simpulannya, sektor riil dapat berperan menjadi titik episentrum yang mendorong terjadinya keseimbangan pasar dan stabilitas harga. Kalau sudah demikian, kita harus memperhatikan posisi ketahanan sektor riil untuk menciptakan daya beli masyarakat yang konservatif.
Ketiga, inflasi yang rendah berdampak positif terhadap kondisi psikologis masyarakat, baik dari sisi konsumen maupun produsen. Ketika posisi inflasi sedang tinggi, yang paling terguncang adalah kubu konsumen, dan dalam simulasi berikutnya akan menyebabkan tingkat konsumsi dan produksi menghadapi jurang degradasi.
Pada situasi sebaliknya ketika terjadi deflasi, yang paling dirugikan adalah pihak produsen, karena dalam simulasi berikutnya akan terjadi pengurangan tingkat produksi selama ekspektasi profit sedang tertahan, sehingga distribusi pasar pada akhirnya ikut terhambat. Asumsi ini belum tentu berhenti pada titik distribusi pasar saja, kalau produksi sedang di ambang penurunan, maka kemungkinan terburuknya para pengusaha akan melakukan pengurangan tenaga kerja dengan dalih tujuan efisiensi usaha.
Dan keempat, gelombang inflasi tidak hanya akan berdampak terbatas pada sektor riil saja. Dengan dibentuknya Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) yang beranggotakan otoritas fiskal dan moneter, menunjukkan bahwa sektor moneter ikut berkausalitas terhadap kondisi inflasi. Tahun ini dengan posisi inflasi yang relatif terjaga rendah, beberapa kali BI melakukan pelonggaran kebijakan agar sektor kredit dan daya konsumsi masyarakat tetap bergerak simultan.
Khusus terhadap topik inflasi pangan, penulis merasa canggung untuk membayangkan betapa sulitnya proses pengendalian keseimbangan pasar, karena menyinggung banyak faktor penentu di dalamnya. Permasalahan di sektor pangan sudah terlanjur sangat kompleks karena terjadi sejak proses hulu hingga tahap hilirisasi.
Karakteristik sektor pertanian memang dianggap sulit berkembang dan ditengarai model pengelolaan yang masih didominasi sifat tradisional, serta ketergantungan yang tinggi terhadap kondisi alam. Apalagi tahun ini terjadi fenomena la-nina (kemarau basah) yang menyebabkan curah hujan relatif lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Kalau berpatok pada pengalaman-pengalaman terdahulu, dampak terbesarnya akan menghambat produktivitas pada subsektor hortikultura. Buktinya sudah mulai bermunculan dengan adanya inflasi dari komoditas cabai dan bawang. Setelah ini yang patut kita antisipasi adalah melangitnya harga komoditas beras, karena kita mulai memasuki puncak musim penghujan yang sangat rentan mendatangkan banjir.
Faktor penghambat berikutnya muncul dari sisi struktur pasar yang lebih mengarah pada sistem oligopolistik. Untuk sementara ini, sistem oligopolistik banyak mendapat kritikan karena pattern kelembagaannya tidak menawarkan pembagian kesejahteraan yang proporsional.
Sistem ini lebih sering “menindas” petani-petani marginal dalam proses penentuan harga. Beberapa brokers berperan sebagai price maker yang sangat opportunistic.
Keuntungan atas harga pangan yang (perlahan namun pasti) selalu meningkat hingga sampai ke tangan konsumen akhir, tidak membuat laju pertumbuhan nilai tukar petani (NTP) ikut terkerek signifikan. Kenaikan harga pangan juga menimbulkan masalah lain karena dapat dipastikan akan menyeret harga-harga komoditas lainnya untuk ikut meningkat, sementara para petani masih berkutat pada sulitnya mengembangkan daya beli/konsumsi.
Atas dasar itulah yang membuat jumlah populasi petani kian hari terus merosot. Para petani pada akhirnya memilih menjual lahannya untuk mencukupi segala kebutuhan hidup keluarganya, dan efek negatifnya, membuat tingkat produktivitas pangan semakin menipis karena meningkatnya alih fungsi lahan di luar kegiatan pertanian.
Nah, dari penjelasan tersebut sepertinya kita perlu berembug bagaimana strategi kebijakan yang tepat, agar persoalan hulu dan hilir terkait inflasi pangan dapat lebih dikendalikan. Menurut penulis, ada empat ide sederhana yang dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan. Ide-ide ini berusaha merangkum proses penanganan inflasi pangan secara komprehensif.
Pertama, perlu ada revolusi struktural agar daya tawar petani dapat meningkat. Kalau kita amati secara mendalam, salah satu penyebab terbesarnya adalah hubungan kontrak prinsipal-agen antara pemodal/pemberi utang (biasanya tengkulak) dengan petani.
Kontrak informal ini “memaksa” petani terjerembab dalam pola monopsoni (petani hanya memasarkan via tengkulak) karena adanya asyimmetric information. Nah, yang perlu kita perlu lakukan adalah dengan memberikan obat penawarnya, misalnya dengan mendirikan bank pertanian atau produk perbankan yang khusus menangani urusan kredit untuk pertanian.
Penanganan kredit usaha untuk pertanian memang sulit untuk dikelola seperti halnya di sektor riil lainnya, karena sektor ini memiliki ciri yang khas pada siklus produksi dan sistem harga yang berjalan sangat dinamis. Pilihan lainnya, kita dapat mendayagunakan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang saat ini disokong dana desa sebagai mitra usaha petani. Titik poinnya, mata rantai yang sangat membelenggu nasib petani harus segera dapat diakhiri.
Kedua, revolusi struktural berikutnya berkaitan dengan solusi penanganan inflasi yang didorong masalah penawaran (supply). Kontrol produksi dapat diatasi dengan pembentukan corporate farming atau village farming yang bertujuan mengatur strategi bagaimana agar tidak terjadi kelangkaan atau excess supply.
Kebiasaan selama ini, kita sangat memberikan kebebasan kepada petani untuk memilih jenis komoditas apa saja yang hendak diproduksi. Kalau kita selalu bersikap skeptis terhadap proses perencanaan produksi, kelemahannya nanti kita akan terus kesulitan mengontrol tingkat market supply.
Oleh karena itu, kita perlu mendorong para petani untuk lebih peka terhadap situasi pasar, dan memang sudah waktunya petani memiliki proyeksi strategi yang lebih baik, untuk mengatur spesialisasi dan kapasitas produksi agar relevan dengan kondisi pasar.
Ketiga, perlu dibangun sistem informasi pangan secara terintegrasi untuk memantau kondisi pasar secara berkala. Tujuan utamanya ialah untuk memperkuat manajemen stok antar daerah agar tercipta stabilitas harga pangan di pasaran.
Daerah-daerah yang memiliki surplus produksi dapat mentransfer sebagian hasilnya ke daerah lain yang memiliki keterbatasan stok. Selain itu, sistem informasi ini bertujuan untuk menangkal manuver-manuver dari para “mafia” (broker), yang selama ini cenderung memanfaatkan spekulasi di tingkat harga dan distribusi pangan.
Dan terakhir yang keempat, integrasi antar daerah ini perlu didukung dengan pengembangan infrastruktur yang dapat memperlancar aliran distribusi. Selama ini kondisi infrastruktur ikut mendorong terjadinya high cost economy, sehingga perdagangan pangan antar daerah sulit menemukan harga yang efisien.
Yang perlu diutamakan adalah bagaimana agar proses perdagangan dapat didukung oleh pengembangan akses jalan dan moda transportasi yang memadai. Apalagi dengan kondisi pertanian yang sebagian besar tersebar di kawasan perdesaan, akan memberikan tantangan yang hebat untuk dapat mengefisiensi segala jenis biaya transaksi.
Kesimpulannya, kondisi yang sekarang ini memang menjadi sebuah ironi yang menampar wajah Indonesia sebagai negara agraris. Kita dapat diibaratkan seperti kata pepatah “ayam mati di lumbung padi”.
Andai saja kita dapat lebih cepat dalam menangani persoalan kelembagaan di sektor pangan, sangat mungkin kondisi makroekonomi negara kita akan tumbuh jauh lebih baik. Jika kesejahteraan petani dapat lebih kita perhatikan, tidak hanya persoalan inflasi saja yang teratasi, melainkan juga dengan isu pengentasan kemiskinan, penurunan ketimpangan, serta pertumbuhan ekonomi yang didukung dari peningkatkan nilai tambah produksi, dan pertumbuhan yang bersumber dari kenaikan tingkat konsumsi dari masyarakat petani.
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
TINGKAT inflasi pada November yang lalu tercapai sebesar 0,47% (month to month), dan semakin memperkuat asumsi betapa "liarnya" kondisi harga pangan di pasaran. Jika dibandingkan dengan periode bulanan sebelumnya, tingkat inflasi pada bulan kemarin merupakan yang tertinggi kedua di tahun 2016.
Posisi inflasi pada kelompok komoditas bahan makanan menjadi penyumbang terbesar dengan andil sekitar 0,36%. Berikutnya diikuti dengan inflasi pada kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau yang turut menyumbang 0,05%.
Banyak pengamat yang menyitir istilah “pedasnya inflasi” lantaran terdapat kontribusi signifikan dari komoditas cabai merah sebesar 0,16% (BPS, 2016). Meskipun demikian, kalau dirangkum secara agregat dalam setahun, total inflasi kita masih relatif aman untuk mengejar target 4±1% di akhir tahun 2016. Gubernur Bank Indonesia (BI, 2016) masih optimistis nantinya kita akan menutup perjalanan inflasi 2016 dengan perolehan akhir berkisar di antara rentang 3,0-3,2%.
Kita patut berupaya menjaga agar tingkat inflasi kita tetap terkendali secara optimal. Ada beberapa alasan tersendiri di balik penetapan target agar inflasi berada dalam rentang yang rendah. Pertama, terkendalinya inflasi menunjukkan bahwa situasi pasar berada dalam kondisi yang seimbang. Artinya tidak ada deviasi yang signifikan antara kuantitas hasil produksi dengan tingkat permintaan konsumen.
Andai terjadi ketimpangan yang signifikan, maka situasi pasar akan mengarah kepada dua hal, yakni akan terjadi inflasi yang tinggi ketika terdapat kelangkaan barang/jasa, atau akan terjadi deflasi besar-besaran ketika kondisi excess supply. Untuk itulah pemerintah sangat didorong agar menguasai sistem manajemen stok pasar agar stabilitas harga selalu terjaga.
Kedua, tingkat inflasi yang rendah juga menunjukkan kondisi terhangat pada faktor-faktor determinan dari keseimbangan pasar. Di balik kenaikan tingkat permintaan konsumen, biasanya disebabkan karena terjadinya kenaikan pendapatan yang mendukung penguatan daya beli masyarakat.
Kenaikan pendapatan ini bisa jadi karena didorong oleh produktivitas sektor riil yang sedang bergairah. Simpulannya, sektor riil dapat berperan menjadi titik episentrum yang mendorong terjadinya keseimbangan pasar dan stabilitas harga. Kalau sudah demikian, kita harus memperhatikan posisi ketahanan sektor riil untuk menciptakan daya beli masyarakat yang konservatif.
Ketiga, inflasi yang rendah berdampak positif terhadap kondisi psikologis masyarakat, baik dari sisi konsumen maupun produsen. Ketika posisi inflasi sedang tinggi, yang paling terguncang adalah kubu konsumen, dan dalam simulasi berikutnya akan menyebabkan tingkat konsumsi dan produksi menghadapi jurang degradasi.
Pada situasi sebaliknya ketika terjadi deflasi, yang paling dirugikan adalah pihak produsen, karena dalam simulasi berikutnya akan terjadi pengurangan tingkat produksi selama ekspektasi profit sedang tertahan, sehingga distribusi pasar pada akhirnya ikut terhambat. Asumsi ini belum tentu berhenti pada titik distribusi pasar saja, kalau produksi sedang di ambang penurunan, maka kemungkinan terburuknya para pengusaha akan melakukan pengurangan tenaga kerja dengan dalih tujuan efisiensi usaha.
Dan keempat, gelombang inflasi tidak hanya akan berdampak terbatas pada sektor riil saja. Dengan dibentuknya Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) yang beranggotakan otoritas fiskal dan moneter, menunjukkan bahwa sektor moneter ikut berkausalitas terhadap kondisi inflasi. Tahun ini dengan posisi inflasi yang relatif terjaga rendah, beberapa kali BI melakukan pelonggaran kebijakan agar sektor kredit dan daya konsumsi masyarakat tetap bergerak simultan.
Khusus terhadap topik inflasi pangan, penulis merasa canggung untuk membayangkan betapa sulitnya proses pengendalian keseimbangan pasar, karena menyinggung banyak faktor penentu di dalamnya. Permasalahan di sektor pangan sudah terlanjur sangat kompleks karena terjadi sejak proses hulu hingga tahap hilirisasi.
Karakteristik sektor pertanian memang dianggap sulit berkembang dan ditengarai model pengelolaan yang masih didominasi sifat tradisional, serta ketergantungan yang tinggi terhadap kondisi alam. Apalagi tahun ini terjadi fenomena la-nina (kemarau basah) yang menyebabkan curah hujan relatif lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Kalau berpatok pada pengalaman-pengalaman terdahulu, dampak terbesarnya akan menghambat produktivitas pada subsektor hortikultura. Buktinya sudah mulai bermunculan dengan adanya inflasi dari komoditas cabai dan bawang. Setelah ini yang patut kita antisipasi adalah melangitnya harga komoditas beras, karena kita mulai memasuki puncak musim penghujan yang sangat rentan mendatangkan banjir.
Faktor penghambat berikutnya muncul dari sisi struktur pasar yang lebih mengarah pada sistem oligopolistik. Untuk sementara ini, sistem oligopolistik banyak mendapat kritikan karena pattern kelembagaannya tidak menawarkan pembagian kesejahteraan yang proporsional.
Sistem ini lebih sering “menindas” petani-petani marginal dalam proses penentuan harga. Beberapa brokers berperan sebagai price maker yang sangat opportunistic.
Keuntungan atas harga pangan yang (perlahan namun pasti) selalu meningkat hingga sampai ke tangan konsumen akhir, tidak membuat laju pertumbuhan nilai tukar petani (NTP) ikut terkerek signifikan. Kenaikan harga pangan juga menimbulkan masalah lain karena dapat dipastikan akan menyeret harga-harga komoditas lainnya untuk ikut meningkat, sementara para petani masih berkutat pada sulitnya mengembangkan daya beli/konsumsi.
Atas dasar itulah yang membuat jumlah populasi petani kian hari terus merosot. Para petani pada akhirnya memilih menjual lahannya untuk mencukupi segala kebutuhan hidup keluarganya, dan efek negatifnya, membuat tingkat produktivitas pangan semakin menipis karena meningkatnya alih fungsi lahan di luar kegiatan pertanian.
Nah, dari penjelasan tersebut sepertinya kita perlu berembug bagaimana strategi kebijakan yang tepat, agar persoalan hulu dan hilir terkait inflasi pangan dapat lebih dikendalikan. Menurut penulis, ada empat ide sederhana yang dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan. Ide-ide ini berusaha merangkum proses penanganan inflasi pangan secara komprehensif.
Pertama, perlu ada revolusi struktural agar daya tawar petani dapat meningkat. Kalau kita amati secara mendalam, salah satu penyebab terbesarnya adalah hubungan kontrak prinsipal-agen antara pemodal/pemberi utang (biasanya tengkulak) dengan petani.
Kontrak informal ini “memaksa” petani terjerembab dalam pola monopsoni (petani hanya memasarkan via tengkulak) karena adanya asyimmetric information. Nah, yang perlu kita perlu lakukan adalah dengan memberikan obat penawarnya, misalnya dengan mendirikan bank pertanian atau produk perbankan yang khusus menangani urusan kredit untuk pertanian.
Penanganan kredit usaha untuk pertanian memang sulit untuk dikelola seperti halnya di sektor riil lainnya, karena sektor ini memiliki ciri yang khas pada siklus produksi dan sistem harga yang berjalan sangat dinamis. Pilihan lainnya, kita dapat mendayagunakan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang saat ini disokong dana desa sebagai mitra usaha petani. Titik poinnya, mata rantai yang sangat membelenggu nasib petani harus segera dapat diakhiri.
Kedua, revolusi struktural berikutnya berkaitan dengan solusi penanganan inflasi yang didorong masalah penawaran (supply). Kontrol produksi dapat diatasi dengan pembentukan corporate farming atau village farming yang bertujuan mengatur strategi bagaimana agar tidak terjadi kelangkaan atau excess supply.
Kebiasaan selama ini, kita sangat memberikan kebebasan kepada petani untuk memilih jenis komoditas apa saja yang hendak diproduksi. Kalau kita selalu bersikap skeptis terhadap proses perencanaan produksi, kelemahannya nanti kita akan terus kesulitan mengontrol tingkat market supply.
Oleh karena itu, kita perlu mendorong para petani untuk lebih peka terhadap situasi pasar, dan memang sudah waktunya petani memiliki proyeksi strategi yang lebih baik, untuk mengatur spesialisasi dan kapasitas produksi agar relevan dengan kondisi pasar.
Ketiga, perlu dibangun sistem informasi pangan secara terintegrasi untuk memantau kondisi pasar secara berkala. Tujuan utamanya ialah untuk memperkuat manajemen stok antar daerah agar tercipta stabilitas harga pangan di pasaran.
Daerah-daerah yang memiliki surplus produksi dapat mentransfer sebagian hasilnya ke daerah lain yang memiliki keterbatasan stok. Selain itu, sistem informasi ini bertujuan untuk menangkal manuver-manuver dari para “mafia” (broker), yang selama ini cenderung memanfaatkan spekulasi di tingkat harga dan distribusi pangan.
Dan terakhir yang keempat, integrasi antar daerah ini perlu didukung dengan pengembangan infrastruktur yang dapat memperlancar aliran distribusi. Selama ini kondisi infrastruktur ikut mendorong terjadinya high cost economy, sehingga perdagangan pangan antar daerah sulit menemukan harga yang efisien.
Yang perlu diutamakan adalah bagaimana agar proses perdagangan dapat didukung oleh pengembangan akses jalan dan moda transportasi yang memadai. Apalagi dengan kondisi pertanian yang sebagian besar tersebar di kawasan perdesaan, akan memberikan tantangan yang hebat untuk dapat mengefisiensi segala jenis biaya transaksi.
Kesimpulannya, kondisi yang sekarang ini memang menjadi sebuah ironi yang menampar wajah Indonesia sebagai negara agraris. Kita dapat diibaratkan seperti kata pepatah “ayam mati di lumbung padi”.
Andai saja kita dapat lebih cepat dalam menangani persoalan kelembagaan di sektor pangan, sangat mungkin kondisi makroekonomi negara kita akan tumbuh jauh lebih baik. Jika kesejahteraan petani dapat lebih kita perhatikan, tidak hanya persoalan inflasi saja yang teratasi, melainkan juga dengan isu pengentasan kemiskinan, penurunan ketimpangan, serta pertumbuhan ekonomi yang didukung dari peningkatkan nilai tambah produksi, dan pertumbuhan yang bersumber dari kenaikan tingkat konsumsi dari masyarakat petani.
(poe)