Aksi Superdamai
A
A
A
Prof Dr Sudjito SH MSi
Guru Besar Ilmu Hukum, Kepala Pusat
Studi Pancasila UGM 2012-2015
Senin, 29 November 2016 perlu dicatat dalam sejarah kebangsaan Indonesia sebagai ”Hari Saling Pengertian”. Istilah ini merujuk pada pernyataan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) selaku ”jembatan” penghubung komunikasi antara dua kubu yang terkesan berseberangan secara ekstrem, yakni Polri berhadapan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI.
Dua kubu sebelumnya saling bersikeras pada pendapatnya tentang rencana aksi 2 Desember 2016, antara ”tidak boleh” dan ”harus” tetap berlangsung. Melalui pertemuan tripartite, akhirnya dicapai titik temu berupa kesepakatan sebagaimana dapat disimak melalui pernyataan dalam konferensi pers baik oleh kepala Polri, pimpinan Front Pembela Islam (FPI), maupun ketua MUI.
Intinya antara lain; Aksi dan Bela Islam III tetap digelar pada 2 Desember 2016 dalam bentuk unjuk rasa ”Aksi Superdamai”. Aksi yang semula direncanakan digelar di Semanggi hingga Istana Merdeka dialihkan di lapangan Monas dan sekitarnya.
Tidak ada perubahan tujuan aksi, yakni dengan target Ahok (si tersangka penista agama) harus ditahan. Dalam aksi tersebut, Polri dan GNPF secara terkoordinasi mempersiapkan ihwal teknis demi kelancaran aksi.
Polri menjamin tidak ada penghadangan terhadap siapa pun yang ingin ikut serta dalam aksi. Polda-polda perlu menghentikan imbauan untuk tidak ikut aksi. Bus-bus, angkutan umum, tidak perlu takut mengangkut para peserta aksi untuk datang dari daerah ke Jakarta.
Beberapa catatan kritis patut dikemukakan terkait momentum nasional ini. Pertama, ihwal lumrah, wajar, dan kodrati bahwa perjalanan hidup dan kehidupan bernegara kadangkala dihadapkan pada pengalaman-pengalaman manis ataupun pahit.
Pada Era Reformasi kran kebebasan dibuka lebar-lebar sehingga semua komponen bangsa dibebaskan mengemukakan pendapat, pikiran, sikap, dan perilaku, tanpa ada kendali sama sekali. Implikasinya, berita-berita di koran, televisi, dan media sosial banyak berisi caci maki, pendiskreditan pihak lain melalui kabar-kabar bohong. Seakan semua orang diajak bermain politik dengan cara saling menjatuhkan.
Sungguh tragis ketika implikasi negatif menjalar sampai lingkungan tetangga dan keluarga sehingga kedamaian dan keakraban berubah menjadi keretakan. Dari semua itu, kita mesti sadar bahwa kecurigaan, keterbelahan, dan kekhawatiran masa depan merupakan bagian penting dari pengalaman berbangsa, yang mengandung hikmah untuk pendewasaan diri.
Kedua, diperhitungkan pada Aksi Superdamai di Jakarta akan berkumpul ratusan ribu orang. Sejak pagi di kala subuh hingga salat Jumat akan berjajar saf-saf rapi, diisi dengan aktivitas zikir, tauziah, salat Jumat, dan doa untuk kedamaian negeri. Boleh jadi, suasana Jakarta akan mirip dengan suasana musim haji di Mekkah.
Pada saat demikian, tidak ada lagi tatapan mata penuh curiga, sikap kasar, dan anarkistis, wajah garang pelit senyuman, melainkan suasana sejuk, damai, aman, dan nyaman. Dalam perspektif psikologi hukum, jiwa-jiwa bangsa yang diliputi noda-noda: ”hidup dalam dendam, dan bunuh diri secara perlahan”, telah tenggelam dan tergantikan dengan sinar cerah, gilang-gemilang, terpancar dalam sikap: ”hidup rukun, damai, optimistis, dalam rida Allah SWT”.
Ketiga, interaksi tripartite antara MUI, Polri, dan GNPF selayaknya diapresiasi dan dimaknakan sebagai progresivitas dan ketulusan hati nurani para pihak demi kecintaan dan keutuhan negeri Indonesia. Kelonggaran jiwa, kesegaran berpikir, sensitivitas kebangsaan tersebut hadir sebagai anugerah Allah SWT atas orang-orang yang diberi kesempatan bertobat dan berada di jalan kebenaran. Sekalian dengan kembalinya para tokoh bangsa di jalan kebenaran, dipastikan siapa pun berseberangan dan berada di jalan sesat akan tergilas oleh roda kesalehan bangsa.
Ternyatalah bahwa daya tahan manusia Indonesia, khususnya muslimin-muslimah, tidak lemah, tidak memble, sebagaimana diduga oleh bangsa lain yang berkehendak menjajah Indonesia. Dalam perspektif chaos theory of law, apa yang selama ini tampak sebagai turbulensi, anomali, gonjang-ganjing kehidupan berbangsa, ternyata dapat dikelola secara arif, bijak, didialogkan, dimusyawarahkan sehingga diperoleh kesepakatan, dalam wujud ketertiban, keteraturan, dan ketahanan nasional, dalam tingkat lebih tinggi daripada sebelumnya.
Keempat, patut diwaspadai bahwa apa yang disebut ”pecundang” tak pernah rela dan menyerah, apalagi menerima momentum ”Hari Saling Pengertian” di atas. Publik telah mampu mencermati tokoh-tokoh nasional yang gemar bermain politik, bermain hukum, bermain kekuasaan, bahkan bermain kekuatan.
Mereka tampil sedemikian rupa, seolah-olah cinta damai, cinta kebinekaan, tetapi di dalam rongga jiwanya tersimpan kemunafikan. Ada tokoh nasional berusaha membuat dan mendanai aksi tandingan.
Tidak sedikit pula tokoh agama, ”ulama bayaran”, yang telah lunglai, roboh, dan terperangkap dalam bujuk rayu ”politisi busuk”. Aktor-aktor intelektual berwatak kolonialis dan kaum-kaum oportunis sampai kapan pun merupakan ”musuh dalam selimut” yang perlu terus diwaspadai.
Kelima, proses belajar bernegara berlangsung tanpa henti. Kesepakatan tripartite tentang Aksi Superdamai baru merupakan langkah awal. Ketulusan untuk hidup damai dalam bernegara masih perlu dibuktikan dengan langkah-langkah lain, yakni: (1) penegakan hukum dan keadilan bagi penista agama, tidak boleh berfokus hanya pada aspek prosedural, melainkan harus dikawal sampai terwujud keadilan sosial; (2) perlu dialog nasional untuk mencari dan mendapatkan solusi atas berbagai persoalan bangsa secara keseluruhan.
Akhirnya, penanganan secara parsialistik dan sekuler atas kasus Ahok, dengan metode ”mengiris, memilah, memilih”, antara aspek politik, hukum, dan agama, telah menjadi bukti nyata bahwa Pancasila dimain-mainkan melalui tafsir liberal. Akibatnya, keutuhan bangsa terbelah dan kekuatan asing dengan mudah menjajah kembali negeri ini. Selamat berdemo. Salam Pancasila. Wallahu'alam.
Guru Besar Ilmu Hukum, Kepala Pusat
Studi Pancasila UGM 2012-2015
Senin, 29 November 2016 perlu dicatat dalam sejarah kebangsaan Indonesia sebagai ”Hari Saling Pengertian”. Istilah ini merujuk pada pernyataan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) selaku ”jembatan” penghubung komunikasi antara dua kubu yang terkesan berseberangan secara ekstrem, yakni Polri berhadapan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI.
Dua kubu sebelumnya saling bersikeras pada pendapatnya tentang rencana aksi 2 Desember 2016, antara ”tidak boleh” dan ”harus” tetap berlangsung. Melalui pertemuan tripartite, akhirnya dicapai titik temu berupa kesepakatan sebagaimana dapat disimak melalui pernyataan dalam konferensi pers baik oleh kepala Polri, pimpinan Front Pembela Islam (FPI), maupun ketua MUI.
Intinya antara lain; Aksi dan Bela Islam III tetap digelar pada 2 Desember 2016 dalam bentuk unjuk rasa ”Aksi Superdamai”. Aksi yang semula direncanakan digelar di Semanggi hingga Istana Merdeka dialihkan di lapangan Monas dan sekitarnya.
Tidak ada perubahan tujuan aksi, yakni dengan target Ahok (si tersangka penista agama) harus ditahan. Dalam aksi tersebut, Polri dan GNPF secara terkoordinasi mempersiapkan ihwal teknis demi kelancaran aksi.
Polri menjamin tidak ada penghadangan terhadap siapa pun yang ingin ikut serta dalam aksi. Polda-polda perlu menghentikan imbauan untuk tidak ikut aksi. Bus-bus, angkutan umum, tidak perlu takut mengangkut para peserta aksi untuk datang dari daerah ke Jakarta.
Beberapa catatan kritis patut dikemukakan terkait momentum nasional ini. Pertama, ihwal lumrah, wajar, dan kodrati bahwa perjalanan hidup dan kehidupan bernegara kadangkala dihadapkan pada pengalaman-pengalaman manis ataupun pahit.
Pada Era Reformasi kran kebebasan dibuka lebar-lebar sehingga semua komponen bangsa dibebaskan mengemukakan pendapat, pikiran, sikap, dan perilaku, tanpa ada kendali sama sekali. Implikasinya, berita-berita di koran, televisi, dan media sosial banyak berisi caci maki, pendiskreditan pihak lain melalui kabar-kabar bohong. Seakan semua orang diajak bermain politik dengan cara saling menjatuhkan.
Sungguh tragis ketika implikasi negatif menjalar sampai lingkungan tetangga dan keluarga sehingga kedamaian dan keakraban berubah menjadi keretakan. Dari semua itu, kita mesti sadar bahwa kecurigaan, keterbelahan, dan kekhawatiran masa depan merupakan bagian penting dari pengalaman berbangsa, yang mengandung hikmah untuk pendewasaan diri.
Kedua, diperhitungkan pada Aksi Superdamai di Jakarta akan berkumpul ratusan ribu orang. Sejak pagi di kala subuh hingga salat Jumat akan berjajar saf-saf rapi, diisi dengan aktivitas zikir, tauziah, salat Jumat, dan doa untuk kedamaian negeri. Boleh jadi, suasana Jakarta akan mirip dengan suasana musim haji di Mekkah.
Pada saat demikian, tidak ada lagi tatapan mata penuh curiga, sikap kasar, dan anarkistis, wajah garang pelit senyuman, melainkan suasana sejuk, damai, aman, dan nyaman. Dalam perspektif psikologi hukum, jiwa-jiwa bangsa yang diliputi noda-noda: ”hidup dalam dendam, dan bunuh diri secara perlahan”, telah tenggelam dan tergantikan dengan sinar cerah, gilang-gemilang, terpancar dalam sikap: ”hidup rukun, damai, optimistis, dalam rida Allah SWT”.
Ketiga, interaksi tripartite antara MUI, Polri, dan GNPF selayaknya diapresiasi dan dimaknakan sebagai progresivitas dan ketulusan hati nurani para pihak demi kecintaan dan keutuhan negeri Indonesia. Kelonggaran jiwa, kesegaran berpikir, sensitivitas kebangsaan tersebut hadir sebagai anugerah Allah SWT atas orang-orang yang diberi kesempatan bertobat dan berada di jalan kebenaran. Sekalian dengan kembalinya para tokoh bangsa di jalan kebenaran, dipastikan siapa pun berseberangan dan berada di jalan sesat akan tergilas oleh roda kesalehan bangsa.
Ternyatalah bahwa daya tahan manusia Indonesia, khususnya muslimin-muslimah, tidak lemah, tidak memble, sebagaimana diduga oleh bangsa lain yang berkehendak menjajah Indonesia. Dalam perspektif chaos theory of law, apa yang selama ini tampak sebagai turbulensi, anomali, gonjang-ganjing kehidupan berbangsa, ternyata dapat dikelola secara arif, bijak, didialogkan, dimusyawarahkan sehingga diperoleh kesepakatan, dalam wujud ketertiban, keteraturan, dan ketahanan nasional, dalam tingkat lebih tinggi daripada sebelumnya.
Keempat, patut diwaspadai bahwa apa yang disebut ”pecundang” tak pernah rela dan menyerah, apalagi menerima momentum ”Hari Saling Pengertian” di atas. Publik telah mampu mencermati tokoh-tokoh nasional yang gemar bermain politik, bermain hukum, bermain kekuasaan, bahkan bermain kekuatan.
Mereka tampil sedemikian rupa, seolah-olah cinta damai, cinta kebinekaan, tetapi di dalam rongga jiwanya tersimpan kemunafikan. Ada tokoh nasional berusaha membuat dan mendanai aksi tandingan.
Tidak sedikit pula tokoh agama, ”ulama bayaran”, yang telah lunglai, roboh, dan terperangkap dalam bujuk rayu ”politisi busuk”. Aktor-aktor intelektual berwatak kolonialis dan kaum-kaum oportunis sampai kapan pun merupakan ”musuh dalam selimut” yang perlu terus diwaspadai.
Kelima, proses belajar bernegara berlangsung tanpa henti. Kesepakatan tripartite tentang Aksi Superdamai baru merupakan langkah awal. Ketulusan untuk hidup damai dalam bernegara masih perlu dibuktikan dengan langkah-langkah lain, yakni: (1) penegakan hukum dan keadilan bagi penista agama, tidak boleh berfokus hanya pada aspek prosedural, melainkan harus dikawal sampai terwujud keadilan sosial; (2) perlu dialog nasional untuk mencari dan mendapatkan solusi atas berbagai persoalan bangsa secara keseluruhan.
Akhirnya, penanganan secara parsialistik dan sekuler atas kasus Ahok, dengan metode ”mengiris, memilah, memilih”, antara aspek politik, hukum, dan agama, telah menjadi bukti nyata bahwa Pancasila dimain-mainkan melalui tafsir liberal. Akibatnya, keutuhan bangsa terbelah dan kekuatan asing dengan mudah menjajah kembali negeri ini. Selamat berdemo. Salam Pancasila. Wallahu'alam.
(poe)