Castro
A
A
A
Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional
Co-founder, Paramadina Graduate School of Diplomacy
PADA akhir masa hidupnya, Fidel Castro––mantan presiden Kuba yang baru saja berpulang, masih menggugah dunia untuk memperdebatkan tentang apakah ia dapat disebut sebagai pejuang pembebasan atau seorang diktator. Di satu sisi, Fidel Castro membatasi hak-hak kebebasan sipil seperti kebebasan berbicara atau mengorganisir diri dalam organisasi politik, namun di sisi lain ia telah membawa Kuba unggul dalam bidang pendidikan dan kesehatan.
Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau menggambarkan Fidel Castro sebagai tokoh revolusioner dan orator legendaris yang “memberi perbaikan signifikan pada pendidikan dan kesehatan di negerinya”. Pernyataan Justin Trudeau tersebut kemudian dikritik oleh Maxime Bernie, lawan politiknya yang menyatakan bahwa seharusnya Trudeau menggambarkan Fidel Castro sebagai “diktator brutal yang membunuh dan memenjarakan begitu banyak orang Kuba, sementara sisa warganya dibiarkan miskin karena ideologi komunisnya yang ngawur”. Karena komentarnya itu, Justin Trudeau dikabarkan mengalami tekanan politik yang dikhawatirkan merusak citranya sebagai tokoh liberal.
Amnesty Internasional, sebuah organisasi pemantau hak asasi manusia (HAM), juga mengakui bahwa di bawah kepemimpinan Castro, masyarakat Kuba telah terbebas dari buta huruf. Kuba juga memiliki sistem kesehatan yang telah membuat angka harapan hidup penduduknya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara Amerika Latin lain. Namun demikian, pelanggaran HAM dan penangkapan para aktivis politik yang menentang otoritas dan kekuasaannya membuat Fidel Castro dapat dikategorikan sebagai diktator.
Alih-alih menyebutnya sebagai diktator atau tokoh pembebasan, PM Justin Trudeau dan Amnesty Internasional menyebut Fidel Castro sebagai “polarizing figure” atau dalam terjemahan kasarnya adalah seseorang yang di satu sisi kontroversial, memicu perdebatan dan pembelahan di masyarakat namun di sisi lain menarik perhatian dan populer. Beberapa media massa pernah menyematkan istilah tersebut kepada tokoh seperti Margaret Thatcher, Dick Cheney, atau Bill Clinton. Istilah ini biasanya muncul dalam polling atau survei terkait dengan hubungan antara popularitas dan elektabilitas dalam pemilihan umum.
Namun demikian, bagi tokoh-tokoh pergerakan yang pernah bekerja sama atau dibantu oleh Kuba, seperti Nelson Mandela atau Yasser Arafat, Fidel Castro bukanlah sekadar tokoh yang kontroversial. Namun, Castro memang seorang yang tulus membantu masyarakat lain yang sedang terjajah. Contohnya, satu tahun setelah Mandela dibebaskan dari penjara yang telah ditinggalinya selama 27 tahun, ia ke Kuba untuk mengunjungi Fidel Castro pada 1991.
Sebelum kedua pemimpin itu memulai pembicaraan, Mandela mendahuluinya dengan pertanyaan tajam yang bernada kekecewaan. Ia berdiri berhadapan dengan Castro yang duduk di sofa dan bertanya dengan nada yang tinggi kapan Fidel Castro akan mengunjungi Afrika Selatan?
Mandela mengatakan bahwa seluruh pemimpin dari seluruh penjuru dunia sudah datang mengunjunginya (setelah ia dibebaskan), namun teman kami, Kuba, yang telah melatih masyarakat Afrika Selatan dan mendistribusikan sumber daya dalam perjuangan, belum sekalipun mengunjungi Afrika Selatan? Kapan, kapan Anda mau datang?
Pertanyaan tersebut menunjukkan arti penting Kuba dalam perjuangan masyarakat Afrika Selatan dalam membebaskan diri dari politik Apartheid yang memarjinalisasi masyarakat kulit hitam. Banyak negara yang dulunya diam atau membantu langsung rezim kulit putih di Afrika Selatan menindas masyarakat kulit hitam tiba-tiba berubah menjadi teman baik Mandela ketika ia bebas.
Negara-negara seperti Israel, Inggris, dan Prancis, termasuk Amerika Serikat (AS) yang menyediakan informasi intelijen CIA kepada rezim kulit putih Afrika Selatan untuk menangkap Mandela, tampak muncul sebagai “pembebas” masyarakat Afrika Selatan. Namun, Mandela ternyata lebih terkesan kepada Kuba yang hadir ketika perjuangan masyarakat Afrika Selatan mengalami masa-masa susah dan bukan pada saat senang.
Tidak banyak pemimpin negara, terutama dari negara maju, yang menyukai Fidel Castro. Beberapa pendapat menilai Fidel Castro sebagai seorang diktator yang memerintah dengan tangan besi, terutama dalam memberangus kebebasan sipil.
Di tangan Castro, beberapa kelompok penentangnya memang ditangkap dan dipenjara. Elizardo Sanchez, kepala Komisi Independen HAM Kuba (the Independent Cuban Commission on Human Rights and National Reconciliation) menyebut ada 167 tahanan politik pada 2010. Sebanyak 53 orang di antaranya dibebaskan pada 2015 sebagai bagian dari paket normalisasi hubungan dengan AS.
Donald Trump, presiden terpilih AS, telah mengancam melalui Twitter: Bila Kuba tidak bersedia memberi kesepakatan yang lebih baik bagi rakyat Kuba maka segenap rakyat Amerika dan Amerika keturunan Kuba akan membatalkan perjanjian (kerja sama) yang ada (antara Kuba dengan AS).
Reince Priebus, kepala Dewan Pimpinan Nasional Partai Republikan yang ditunjuk Trump sebagai calon kepala staf Gedung Putih, mengatakan bahwa perubahan yang harus terjadi di Kuba adalah penghapusan model represif dalam politik, kebebasan pasar, kebebasan beragama, dan pembebasan tahanan politik.
The Heritage Foundation yang membuat Indeks Kebebasan Ekonomi tahun 2016 menempatkan Kuba sebagai negara paling tertindas ekonominya dibandingkan dengan negara-negara lain. Kuba mendapat nilai 29,8% di bawah rata-rata negara-negara Amerika Latin sebesar 59,9%.
Kebebasan ekonomi di Kuba bahkan lebih rendah dari kebebasan ekonomi rata-rata dunia sebesar 60,7%. GDP Kuba hanya USD6.789 dan berada di bawah rata-rata GDP negara-negara Amerika Latin sebesar USD10.227 di tahun 2013.
Kritik menyasar kepada sistem sosialisme Kuba dalam perekonomiannya. Ekonomi pasar dibatasi sehingga tidak ada kreativitas dan kegiatan ekonomi lain selain pertanian, perkebunan, dan pariwisata.
Negara memiliki banyak beban karena harus menggaji tidak hanya pegawai negeri dan tentara, tetapi juga pekerjaan lain seperti dokter, perawat hingga tukang bangunan. Beberapa sektor sudah diliberalisasi (khususnya yang terkait dengan pariwisata seperti pemandu wisata, hotel, sopir taksi) untuk menyerap dolar dari turis yang datang. Namun, hal ini justru menimbulkan persoalan baru karena mereka yang menerima gaji dolar lebih tinggi kesejahteraannya daripada yang tidak.
Dari semua variabel, khususnya kebebasan hak sipil, yang digunakan untuk menggolongkan Fidel Castro sebagai diktator, pencapaian di bidang pendidikan dan kesehatan adalah kenyataan yang sebetulnya bertolak belakang dari sejarah para diktator di dunia ini. Mereka yang menolak Fidel Castro menganggap pencapaian pendidikan dan sistem kesehatan hanya alat untuk melegitimasi kekuasaannya. Castro harus mewujudkan itu karena bila tidak maka ia akan kehilangan popularitasnya.
Pada kenyataannya, pendidikan dan sistem kesehatan bukanlah “sekadar” program. Apabila Castro memang memiliki ambisi berkuasa maka ia tentu tidak ingin warganya menjadi terdidik. Dalam sejarah pembebasan dari penjajahan, pendidikan adalah alat untuk melawan kolonialisme sehingga kebodohan enggan diberantas demi melanggengkan kekuasaan.
PBB mencatat bahwa Kuba adalah yang terbaik dalam hal investasi di bidang pendidikan. Dengan 13% alokasi pendapatan negara untuk pendidikan, UNESCO mengatakan bahwa Kuba mengalokasikan jauh lebih banyak anggaran untuk pendidikan dibandingkan Amerika Serikat (2%) atau Inggris (4%).
Besarnya alokasi anggaran salah satunya karena pemerintah Kuba memberi subsidi 100% agar seluruh warga bisa bersekolah gratis hingga universitas. Hal ini kontras perbedaannya dengan negara diktator lain seperti Korea Utara di mana sekolah adalah eksklusif bagi kalangan tertentu dan para lulusannya sepenuhnya bekerja untuk rezim berkuasa.
Di Kuba, tidak hanya perempuan boleh bersekolah, tingkat capaian nilai matematika dan bahasa dari Kuba menurut UNESCO terbilang di atas rata-rata lulusan di Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Bank Dunia dalam laporan 2014 bahkan mengakui bahwa sistem pendidikan di Kuba adalah yang terbaik di Amerika Latin dan Karibia karena para dosennya yang berkualitas tinggi.
Tak heran jika Kuba mencetak para ahli yang mengabdi ke seluruh dunia seperti dokter dengan reputasi sangat baik. Dengan mutu manusianya, Kuba kemudian rajin mengirim dokter-dokternya untuk membantu kegiatan kemanusiaan di berbagai negara yang kesusahan seperti saat wabah ebola di Sierra Leone. Dalam hal layanan kesehatan, rakyat Kuba boleh gembira karena pemerintah memberi akses gratis air minum yang aman dan sanitasi.
Kematian Castro adalah pengingat bagi negara-negara berkembang tentang makna solidaritas yang melebihi sekadar kerja sama perdagangan. Pada saat Castro menyejahterakan warganya lewat pendidikan dan kesehatan, ia tidak hanya memikirkan Kuba yang sejahtera dan bisa bersaing dengan negara yang ideologinya bertentangan dengan Kuba, tetapi ia juga memikirkan negara-negara lain yang masih menderita.
Kuba bersedia memberi dengan cuma-cuma. Nilai-nilai inilah yang terasa minim hari ini dan mungkin dengan kepergian Castro kita diingatkan kembali akan pentingnya solidaritas macam itu.
Pengamat Hubungan Internasional
Co-founder, Paramadina Graduate School of Diplomacy
PADA akhir masa hidupnya, Fidel Castro––mantan presiden Kuba yang baru saja berpulang, masih menggugah dunia untuk memperdebatkan tentang apakah ia dapat disebut sebagai pejuang pembebasan atau seorang diktator. Di satu sisi, Fidel Castro membatasi hak-hak kebebasan sipil seperti kebebasan berbicara atau mengorganisir diri dalam organisasi politik, namun di sisi lain ia telah membawa Kuba unggul dalam bidang pendidikan dan kesehatan.
Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau menggambarkan Fidel Castro sebagai tokoh revolusioner dan orator legendaris yang “memberi perbaikan signifikan pada pendidikan dan kesehatan di negerinya”. Pernyataan Justin Trudeau tersebut kemudian dikritik oleh Maxime Bernie, lawan politiknya yang menyatakan bahwa seharusnya Trudeau menggambarkan Fidel Castro sebagai “diktator brutal yang membunuh dan memenjarakan begitu banyak orang Kuba, sementara sisa warganya dibiarkan miskin karena ideologi komunisnya yang ngawur”. Karena komentarnya itu, Justin Trudeau dikabarkan mengalami tekanan politik yang dikhawatirkan merusak citranya sebagai tokoh liberal.
Amnesty Internasional, sebuah organisasi pemantau hak asasi manusia (HAM), juga mengakui bahwa di bawah kepemimpinan Castro, masyarakat Kuba telah terbebas dari buta huruf. Kuba juga memiliki sistem kesehatan yang telah membuat angka harapan hidup penduduknya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara Amerika Latin lain. Namun demikian, pelanggaran HAM dan penangkapan para aktivis politik yang menentang otoritas dan kekuasaannya membuat Fidel Castro dapat dikategorikan sebagai diktator.
Alih-alih menyebutnya sebagai diktator atau tokoh pembebasan, PM Justin Trudeau dan Amnesty Internasional menyebut Fidel Castro sebagai “polarizing figure” atau dalam terjemahan kasarnya adalah seseorang yang di satu sisi kontroversial, memicu perdebatan dan pembelahan di masyarakat namun di sisi lain menarik perhatian dan populer. Beberapa media massa pernah menyematkan istilah tersebut kepada tokoh seperti Margaret Thatcher, Dick Cheney, atau Bill Clinton. Istilah ini biasanya muncul dalam polling atau survei terkait dengan hubungan antara popularitas dan elektabilitas dalam pemilihan umum.
Namun demikian, bagi tokoh-tokoh pergerakan yang pernah bekerja sama atau dibantu oleh Kuba, seperti Nelson Mandela atau Yasser Arafat, Fidel Castro bukanlah sekadar tokoh yang kontroversial. Namun, Castro memang seorang yang tulus membantu masyarakat lain yang sedang terjajah. Contohnya, satu tahun setelah Mandela dibebaskan dari penjara yang telah ditinggalinya selama 27 tahun, ia ke Kuba untuk mengunjungi Fidel Castro pada 1991.
Sebelum kedua pemimpin itu memulai pembicaraan, Mandela mendahuluinya dengan pertanyaan tajam yang bernada kekecewaan. Ia berdiri berhadapan dengan Castro yang duduk di sofa dan bertanya dengan nada yang tinggi kapan Fidel Castro akan mengunjungi Afrika Selatan?
Mandela mengatakan bahwa seluruh pemimpin dari seluruh penjuru dunia sudah datang mengunjunginya (setelah ia dibebaskan), namun teman kami, Kuba, yang telah melatih masyarakat Afrika Selatan dan mendistribusikan sumber daya dalam perjuangan, belum sekalipun mengunjungi Afrika Selatan? Kapan, kapan Anda mau datang?
Pertanyaan tersebut menunjukkan arti penting Kuba dalam perjuangan masyarakat Afrika Selatan dalam membebaskan diri dari politik Apartheid yang memarjinalisasi masyarakat kulit hitam. Banyak negara yang dulunya diam atau membantu langsung rezim kulit putih di Afrika Selatan menindas masyarakat kulit hitam tiba-tiba berubah menjadi teman baik Mandela ketika ia bebas.
Negara-negara seperti Israel, Inggris, dan Prancis, termasuk Amerika Serikat (AS) yang menyediakan informasi intelijen CIA kepada rezim kulit putih Afrika Selatan untuk menangkap Mandela, tampak muncul sebagai “pembebas” masyarakat Afrika Selatan. Namun, Mandela ternyata lebih terkesan kepada Kuba yang hadir ketika perjuangan masyarakat Afrika Selatan mengalami masa-masa susah dan bukan pada saat senang.
Tidak banyak pemimpin negara, terutama dari negara maju, yang menyukai Fidel Castro. Beberapa pendapat menilai Fidel Castro sebagai seorang diktator yang memerintah dengan tangan besi, terutama dalam memberangus kebebasan sipil.
Di tangan Castro, beberapa kelompok penentangnya memang ditangkap dan dipenjara. Elizardo Sanchez, kepala Komisi Independen HAM Kuba (the Independent Cuban Commission on Human Rights and National Reconciliation) menyebut ada 167 tahanan politik pada 2010. Sebanyak 53 orang di antaranya dibebaskan pada 2015 sebagai bagian dari paket normalisasi hubungan dengan AS.
Donald Trump, presiden terpilih AS, telah mengancam melalui Twitter: Bila Kuba tidak bersedia memberi kesepakatan yang lebih baik bagi rakyat Kuba maka segenap rakyat Amerika dan Amerika keturunan Kuba akan membatalkan perjanjian (kerja sama) yang ada (antara Kuba dengan AS).
Reince Priebus, kepala Dewan Pimpinan Nasional Partai Republikan yang ditunjuk Trump sebagai calon kepala staf Gedung Putih, mengatakan bahwa perubahan yang harus terjadi di Kuba adalah penghapusan model represif dalam politik, kebebasan pasar, kebebasan beragama, dan pembebasan tahanan politik.
The Heritage Foundation yang membuat Indeks Kebebasan Ekonomi tahun 2016 menempatkan Kuba sebagai negara paling tertindas ekonominya dibandingkan dengan negara-negara lain. Kuba mendapat nilai 29,8% di bawah rata-rata negara-negara Amerika Latin sebesar 59,9%.
Kebebasan ekonomi di Kuba bahkan lebih rendah dari kebebasan ekonomi rata-rata dunia sebesar 60,7%. GDP Kuba hanya USD6.789 dan berada di bawah rata-rata GDP negara-negara Amerika Latin sebesar USD10.227 di tahun 2013.
Kritik menyasar kepada sistem sosialisme Kuba dalam perekonomiannya. Ekonomi pasar dibatasi sehingga tidak ada kreativitas dan kegiatan ekonomi lain selain pertanian, perkebunan, dan pariwisata.
Negara memiliki banyak beban karena harus menggaji tidak hanya pegawai negeri dan tentara, tetapi juga pekerjaan lain seperti dokter, perawat hingga tukang bangunan. Beberapa sektor sudah diliberalisasi (khususnya yang terkait dengan pariwisata seperti pemandu wisata, hotel, sopir taksi) untuk menyerap dolar dari turis yang datang. Namun, hal ini justru menimbulkan persoalan baru karena mereka yang menerima gaji dolar lebih tinggi kesejahteraannya daripada yang tidak.
Dari semua variabel, khususnya kebebasan hak sipil, yang digunakan untuk menggolongkan Fidel Castro sebagai diktator, pencapaian di bidang pendidikan dan kesehatan adalah kenyataan yang sebetulnya bertolak belakang dari sejarah para diktator di dunia ini. Mereka yang menolak Fidel Castro menganggap pencapaian pendidikan dan sistem kesehatan hanya alat untuk melegitimasi kekuasaannya. Castro harus mewujudkan itu karena bila tidak maka ia akan kehilangan popularitasnya.
Pada kenyataannya, pendidikan dan sistem kesehatan bukanlah “sekadar” program. Apabila Castro memang memiliki ambisi berkuasa maka ia tentu tidak ingin warganya menjadi terdidik. Dalam sejarah pembebasan dari penjajahan, pendidikan adalah alat untuk melawan kolonialisme sehingga kebodohan enggan diberantas demi melanggengkan kekuasaan.
PBB mencatat bahwa Kuba adalah yang terbaik dalam hal investasi di bidang pendidikan. Dengan 13% alokasi pendapatan negara untuk pendidikan, UNESCO mengatakan bahwa Kuba mengalokasikan jauh lebih banyak anggaran untuk pendidikan dibandingkan Amerika Serikat (2%) atau Inggris (4%).
Besarnya alokasi anggaran salah satunya karena pemerintah Kuba memberi subsidi 100% agar seluruh warga bisa bersekolah gratis hingga universitas. Hal ini kontras perbedaannya dengan negara diktator lain seperti Korea Utara di mana sekolah adalah eksklusif bagi kalangan tertentu dan para lulusannya sepenuhnya bekerja untuk rezim berkuasa.
Di Kuba, tidak hanya perempuan boleh bersekolah, tingkat capaian nilai matematika dan bahasa dari Kuba menurut UNESCO terbilang di atas rata-rata lulusan di Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Bank Dunia dalam laporan 2014 bahkan mengakui bahwa sistem pendidikan di Kuba adalah yang terbaik di Amerika Latin dan Karibia karena para dosennya yang berkualitas tinggi.
Tak heran jika Kuba mencetak para ahli yang mengabdi ke seluruh dunia seperti dokter dengan reputasi sangat baik. Dengan mutu manusianya, Kuba kemudian rajin mengirim dokter-dokternya untuk membantu kegiatan kemanusiaan di berbagai negara yang kesusahan seperti saat wabah ebola di Sierra Leone. Dalam hal layanan kesehatan, rakyat Kuba boleh gembira karena pemerintah memberi akses gratis air minum yang aman dan sanitasi.
Kematian Castro adalah pengingat bagi negara-negara berkembang tentang makna solidaritas yang melebihi sekadar kerja sama perdagangan. Pada saat Castro menyejahterakan warganya lewat pendidikan dan kesehatan, ia tidak hanya memikirkan Kuba yang sejahtera dan bisa bersaing dengan negara yang ideologinya bertentangan dengan Kuba, tetapi ia juga memikirkan negara-negara lain yang masih menderita.
Kuba bersedia memberi dengan cuma-cuma. Nilai-nilai inilah yang terasa minim hari ini dan mungkin dengan kepergian Castro kita diingatkan kembali akan pentingnya solidaritas macam itu.
(poe)