104 tahun Muhammadiyah dan Tugas Beratnya
A
A
A
Fahmi Syahirul Alim
Kader Muda Muhammadiyah, Program Manager ICIP
ADA dua ormas Islam yang dikunjungi kantor pusatnya oleh Presiden Jokowi pasca aksi besar-besaran yang dilakukan umat muslim pada 4 November 2016, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Aksi besar dan masif tersebut terkait dengan dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Muhammadiyah dan NU langsung dikunjungi oleh Presiden Jokowi beberapa hari setelah aksi 411, mengisyaratkan bahwa kedua ormas tersebut adalah episentrum dan representasi genuine dari Islam Indonesia.
Ada beberapa faktor yang menjadikan Muhammadiyah dan NU sebagai ormas Islam yang paling pertama dikunjungi dan dimintai pandangannya oleh Presiden Jokowi terkait kasus dugaan penistaan agama yang menyeret Ahok sebagai tersangka.
Pertama, Muhammadiyah dan NU tidak terlibat secara resmi dalam aksi besar tersebut. Hal ini menandakan Muhammadiyah dan NU menjaga jarak agar tidak ditunggangi oleh pihak-pihak yang memanfaatkan momentum aksi besar tersebut untuk kepentingan politik praktis Pilkada DKI, walaupun kedua ormas tersebut mengeluarkan sikap resmi terkait dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok.
Kedua, Muhammadiyah dan NU adalah kekuatan terbesar civil society di negeri ini dan sudah lama berkeringat merawat kebinekaan dan mencerdaskan bangsa dari sebelum kemerdekaan NKRI hingga saat ini dengan berbagai gerakan nyata dan sumbangsih pemikiran yang bernas untuk kemajuan bangsa. Dari mulai universitas, sekolah hingga pesantren-pesantren di pelosok negeri.
Ketiga, Muhammadiyah dan NU bukan sekadar ormas atau bahkan gerakan kagetan yang hanya merespons satu isu dan setelah itu tenggelam. Keduanya merupakan pilar bangsa dan tenda bangsa, konsisten menaungi semua golongan tanpa melihat SARA. Sebagai contoh betapa banyak sekolah dan kampus Muhammadiyah di kawasan Indonesia bagian timur yang mayoritas siswa dan mahasiswanya bukan muslim dan Muhammadiyah tidak alergi dengan hal itu.
Karena kekhasan itulah, tak heran banyak peneliti internasional yang menarik perhatiannya terhadap gerakan Muhammadiyah. Seperti Merle Ricklefs, Mitsuo Nakamura, Robert Hefner, meminjam istilah intelektual produktif Muhammadiyah Dr Najib Burhani, mereka adalah Muhammadiyanist dari luar negeri ( Burhani 30:2016)
Dugaan kasus penistaan yang dilakukan oleh Ahok adalah salah satu peristiwa yang menguras energi bangsa ini, betapa percakapan di media sosial hampir semua membahas kasus ini. Saling gunjing, caci maki bahkan berujung fitnah hampir terjadi setiap hari. Padahal masih banyak persoalan dan tantangan bangsa yang harus segera diselesaikan dengan cepat, tepat, dan dengan semangat kerja sama yang baik antaranak bangsa.
Bukan malah energi anak bangsa habis tanpa karya yang berarti, semua perhatian terpusat ke kasus Ahok yang membuat kita malah terkotak-kotak bersikukuh dengan argumen masing-masing. Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim As’ari (pendiri Muhammadiyah dan NU) tentu sangat sedih jika melihat anak bangsa ini terpecah belah dan habis energinya hanya gara-gara kasus Ahok. Seperti kata Din Syamsuddin "Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelangga. Jangan karena satu orang, harmoni bangsa terganggu."
Milad Muhammadiyah ke-104 (18 November 1912-18 November 2016) ini harus dijadikan momentum untuk refleksi secara mendalam menuju langkah dan gerak ke depan, terutama untuk Angkatan Muda Muhammadiyah yang menjadi penerus, pelopor, dan pelangsung gerakan Muhammadiyah ke depan sehingga menjadi bagian penentu arah bangsa.
Dalam menyikapi fenomena dewasa ini, serta tantangan-tantangan berat ke depan, perlu kejernihan hati dan pikiran dalam bersikap dan bergerak.
Meminjam pesan Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2015-2020, Dr Haedar Nashir, jangan sampai kita terjebak pada dunia Simulacra. Dunia simulasi rumit, bahkan dari luar terlihat gemerlap. Dengan kultur baru masyarakat cyber.
Menurut Pak Haedar, dunia simulasi makin mendominasi habitus publik, dunia simulasi yang sarat rekayasa, meski boleh jadi digerakkan oleh segelintir pihak, tetapi kehadirannya dikonstruksi meluas sehingga menjadi realitas umum. Mereka yang menentangnya dianggap ketinggalan dan siap dilindas dan di-bully tanpa ampun.
Kehidupan yang minus makna akan tampak perkasa tetapi di dalamnya ringkih. Dari luar seolah digdaya, di dalamnya ringkih. Inilah dunia mata' al-ghurur, sebagaimana digambarkan Tuhan dalam Alquran (Haedar, 2016).
Tugas Berat ke Depan
Setelah Ahok dijadikan tersangka oleh penegak hukum, hendaknya semua pihak menghormati proses hukum dan menghormati apa pun hasilnya. Karena kita negara hukum, dan sebagai warga negara yang baik adalah menaati hukum dan UUD yang berlaku. Dan, mari kita fokus untuk menghadapi tantangan besar yang dihadapi bangsa ini.
Ada dua hal mendesak yang harus disikapi oleh Muhammadiyah dalam usianya yang ke-104 tahun ini. Pertama, tantangan bonus demografi yang semakin berat dan dekat di tengah masih maraknya radikalisme dan kekerasan di kalangan anak muda. Contoh mutakhir, pelaku penyerangan pos polisi di Kota Tangerang, pelakunya masih usia 22 tahun. Sultan Azizah tanpa pikir panjang menyerang dan menusuk polisi yang sedang berjaga.
Pun dengan pelaku bom di Samarinda yang menewaskan satu balita tak berdosa. Pelakunya, Juhanda, 32 tahun, seorang residivis teroris yang pernah melakukan teror bom buku di markas JIL pada 2011. Itu artinya saat kali pertama dia melakukan teror adalah pada usia 27 tahun.
Kedua pelaku teror di atas usianya masuk dalam kategori usia produktif. Kejadian teror bom di Samarinda juga menurut berbagai pihak merupakan kegagalan pemerintah dalam menjalankan program deradikalisasi pada para narapidana teroris.
Sebagai ormas Islam yang berhaluan moderat dengan puluhan ribu amal usaha yang bergerak di pendidikan, Muhammadiyah punya peran besar dalam menentukan dan mengoptimalkan bonus demografi, jangan sampai bonus demografi malah menjadi musibah daripada menjadi berkah untuk bangsa ini.
Kedua, Muhammadiyah dalam percaturan politik global. Dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat ada kekhawatiran muncul kembali Islamophobia di negara-negara Barat. Pascaperistiwa 911, betapa Islam dan umat muslim terpojok dan ditakuti oleh sebagian masyarakat Barat.
Lagi-lagi bangsa ini bersyukur memiliki NU dan Muhammadiyah yang selalu siap ketika negara membutuhkan. Para tokoh NU dan Muhammadiyah diminta oleh pemerintah melalui Kemenlu untuk menyampaikan Islam yang sesungguhnya, Islam yang damai. Islam yang rahmatan lil alamin.
Diplomasi Publik yang dilakukan para tokoh Muhammadiyah dan NU di tataran internasional terbukti membuahkan hasil, sehingga Indonesia dikenal sebagai pelopor Islam moderat dan dijadikan rujukan oleh dunia sebagai bangsa yang berhasil memadukan Islam dan demokrasi.
Dua tantangan di atas akan sukar diatasi jika tidak ada sinergi yang baik di antara anak bangsa. Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam tertua yang dimiliki bangsa ini diharapkan dapat menjadi pionir dalam menuntaskan persoalan-persoalan yang mengancam keutuhan bangsa.
Milad ke-104 tahun Muhammadiyah adalah momentum untuk menyikapi tantangan dan tugas berat ke depan juga sebagai bukti nyata bahwa Muhammadiyah tak henti menyinari dan membantu negeri. Selamat Milad Muhammadiyah!
Kader Muda Muhammadiyah, Program Manager ICIP
ADA dua ormas Islam yang dikunjungi kantor pusatnya oleh Presiden Jokowi pasca aksi besar-besaran yang dilakukan umat muslim pada 4 November 2016, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Aksi besar dan masif tersebut terkait dengan dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Muhammadiyah dan NU langsung dikunjungi oleh Presiden Jokowi beberapa hari setelah aksi 411, mengisyaratkan bahwa kedua ormas tersebut adalah episentrum dan representasi genuine dari Islam Indonesia.
Ada beberapa faktor yang menjadikan Muhammadiyah dan NU sebagai ormas Islam yang paling pertama dikunjungi dan dimintai pandangannya oleh Presiden Jokowi terkait kasus dugaan penistaan agama yang menyeret Ahok sebagai tersangka.
Pertama, Muhammadiyah dan NU tidak terlibat secara resmi dalam aksi besar tersebut. Hal ini menandakan Muhammadiyah dan NU menjaga jarak agar tidak ditunggangi oleh pihak-pihak yang memanfaatkan momentum aksi besar tersebut untuk kepentingan politik praktis Pilkada DKI, walaupun kedua ormas tersebut mengeluarkan sikap resmi terkait dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok.
Kedua, Muhammadiyah dan NU adalah kekuatan terbesar civil society di negeri ini dan sudah lama berkeringat merawat kebinekaan dan mencerdaskan bangsa dari sebelum kemerdekaan NKRI hingga saat ini dengan berbagai gerakan nyata dan sumbangsih pemikiran yang bernas untuk kemajuan bangsa. Dari mulai universitas, sekolah hingga pesantren-pesantren di pelosok negeri.
Ketiga, Muhammadiyah dan NU bukan sekadar ormas atau bahkan gerakan kagetan yang hanya merespons satu isu dan setelah itu tenggelam. Keduanya merupakan pilar bangsa dan tenda bangsa, konsisten menaungi semua golongan tanpa melihat SARA. Sebagai contoh betapa banyak sekolah dan kampus Muhammadiyah di kawasan Indonesia bagian timur yang mayoritas siswa dan mahasiswanya bukan muslim dan Muhammadiyah tidak alergi dengan hal itu.
Karena kekhasan itulah, tak heran banyak peneliti internasional yang menarik perhatiannya terhadap gerakan Muhammadiyah. Seperti Merle Ricklefs, Mitsuo Nakamura, Robert Hefner, meminjam istilah intelektual produktif Muhammadiyah Dr Najib Burhani, mereka adalah Muhammadiyanist dari luar negeri ( Burhani 30:2016)
Dugaan kasus penistaan yang dilakukan oleh Ahok adalah salah satu peristiwa yang menguras energi bangsa ini, betapa percakapan di media sosial hampir semua membahas kasus ini. Saling gunjing, caci maki bahkan berujung fitnah hampir terjadi setiap hari. Padahal masih banyak persoalan dan tantangan bangsa yang harus segera diselesaikan dengan cepat, tepat, dan dengan semangat kerja sama yang baik antaranak bangsa.
Bukan malah energi anak bangsa habis tanpa karya yang berarti, semua perhatian terpusat ke kasus Ahok yang membuat kita malah terkotak-kotak bersikukuh dengan argumen masing-masing. Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim As’ari (pendiri Muhammadiyah dan NU) tentu sangat sedih jika melihat anak bangsa ini terpecah belah dan habis energinya hanya gara-gara kasus Ahok. Seperti kata Din Syamsuddin "Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelangga. Jangan karena satu orang, harmoni bangsa terganggu."
Milad Muhammadiyah ke-104 (18 November 1912-18 November 2016) ini harus dijadikan momentum untuk refleksi secara mendalam menuju langkah dan gerak ke depan, terutama untuk Angkatan Muda Muhammadiyah yang menjadi penerus, pelopor, dan pelangsung gerakan Muhammadiyah ke depan sehingga menjadi bagian penentu arah bangsa.
Dalam menyikapi fenomena dewasa ini, serta tantangan-tantangan berat ke depan, perlu kejernihan hati dan pikiran dalam bersikap dan bergerak.
Meminjam pesan Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2015-2020, Dr Haedar Nashir, jangan sampai kita terjebak pada dunia Simulacra. Dunia simulasi rumit, bahkan dari luar terlihat gemerlap. Dengan kultur baru masyarakat cyber.
Menurut Pak Haedar, dunia simulasi makin mendominasi habitus publik, dunia simulasi yang sarat rekayasa, meski boleh jadi digerakkan oleh segelintir pihak, tetapi kehadirannya dikonstruksi meluas sehingga menjadi realitas umum. Mereka yang menentangnya dianggap ketinggalan dan siap dilindas dan di-bully tanpa ampun.
Kehidupan yang minus makna akan tampak perkasa tetapi di dalamnya ringkih. Dari luar seolah digdaya, di dalamnya ringkih. Inilah dunia mata' al-ghurur, sebagaimana digambarkan Tuhan dalam Alquran (Haedar, 2016).
Tugas Berat ke Depan
Setelah Ahok dijadikan tersangka oleh penegak hukum, hendaknya semua pihak menghormati proses hukum dan menghormati apa pun hasilnya. Karena kita negara hukum, dan sebagai warga negara yang baik adalah menaati hukum dan UUD yang berlaku. Dan, mari kita fokus untuk menghadapi tantangan besar yang dihadapi bangsa ini.
Ada dua hal mendesak yang harus disikapi oleh Muhammadiyah dalam usianya yang ke-104 tahun ini. Pertama, tantangan bonus demografi yang semakin berat dan dekat di tengah masih maraknya radikalisme dan kekerasan di kalangan anak muda. Contoh mutakhir, pelaku penyerangan pos polisi di Kota Tangerang, pelakunya masih usia 22 tahun. Sultan Azizah tanpa pikir panjang menyerang dan menusuk polisi yang sedang berjaga.
Pun dengan pelaku bom di Samarinda yang menewaskan satu balita tak berdosa. Pelakunya, Juhanda, 32 tahun, seorang residivis teroris yang pernah melakukan teror bom buku di markas JIL pada 2011. Itu artinya saat kali pertama dia melakukan teror adalah pada usia 27 tahun.
Kedua pelaku teror di atas usianya masuk dalam kategori usia produktif. Kejadian teror bom di Samarinda juga menurut berbagai pihak merupakan kegagalan pemerintah dalam menjalankan program deradikalisasi pada para narapidana teroris.
Sebagai ormas Islam yang berhaluan moderat dengan puluhan ribu amal usaha yang bergerak di pendidikan, Muhammadiyah punya peran besar dalam menentukan dan mengoptimalkan bonus demografi, jangan sampai bonus demografi malah menjadi musibah daripada menjadi berkah untuk bangsa ini.
Kedua, Muhammadiyah dalam percaturan politik global. Dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat ada kekhawatiran muncul kembali Islamophobia di negara-negara Barat. Pascaperistiwa 911, betapa Islam dan umat muslim terpojok dan ditakuti oleh sebagian masyarakat Barat.
Lagi-lagi bangsa ini bersyukur memiliki NU dan Muhammadiyah yang selalu siap ketika negara membutuhkan. Para tokoh NU dan Muhammadiyah diminta oleh pemerintah melalui Kemenlu untuk menyampaikan Islam yang sesungguhnya, Islam yang damai. Islam yang rahmatan lil alamin.
Diplomasi Publik yang dilakukan para tokoh Muhammadiyah dan NU di tataran internasional terbukti membuahkan hasil, sehingga Indonesia dikenal sebagai pelopor Islam moderat dan dijadikan rujukan oleh dunia sebagai bangsa yang berhasil memadukan Islam dan demokrasi.
Dua tantangan di atas akan sukar diatasi jika tidak ada sinergi yang baik di antara anak bangsa. Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam tertua yang dimiliki bangsa ini diharapkan dapat menjadi pionir dalam menuntaskan persoalan-persoalan yang mengancam keutuhan bangsa.
Milad ke-104 tahun Muhammadiyah adalah momentum untuk menyikapi tantangan dan tugas berat ke depan juga sebagai bukti nyata bahwa Muhammadiyah tak henti menyinari dan membantu negeri. Selamat Milad Muhammadiyah!
(poe)