Selamat Jalan 'Eyang Mas' Ito

Rabu, 16 November 2016 - 08:45 WIB
Selamat Jalan Eyang Mas Ito
Selamat Jalan 'Eyang Mas' Ito
A A A
Kombes Pol Novian Pratana
Asisten Sarlito Wirawan Sarwono di PTIK sejak 1995

SAAT membaca berita wafatnya Prof Dr Sarlito Wirawan Sarwono (yang akrab dipanggil Mas Ito), Senin 14 November 2016 malam pukul 22.18 WIB, langsung terngiang pembicaraan bersama Mas Ito sehingga saya menjadi asisten beliau untuk mata kuliah Psikologi Sosial di PTIK. Kebetulan saat mendengar berita duka ini, saya sedang di Semarang.

Saat itu di pertengahan tahun 1994, saya mulai menyelesaikan skripsi. Sebagai dosen idola mahasiswa Fakultas Psikologi UI, Mas Ito tentu sangat sibuk karena banyak membimbing mahasiswa strata 1 dan 2 menyelesaikan skripsi dan tesis.

Sambil berjalan menaiki tangga di Gedung C menuju lantai 3–tempat Jurusan Psikologi Sosial–terjadilah pembicaraan tersebut. ”Maaf Mas, saya ingin Mas Ito menjadi pembimbing skripsi saya”. ”Kenapa saya?” jawab beliau. ”Karena skripsi saya tentang polisi dan saya tahu Mas Ito banyak bergelut di kepolisian”. ”Mengapa kamu ambil skripsi tentang polisi?” ”Karena saya polisi, Mas,” jawab saya mantap.

Saya lulusan Pendidikan Pasukan Sukarela (Dikpasuk ABRI) Agustus 1993. Program dari ABRI yang merekrut calon sarjana perguruan tinggi negeri untuk mendapat sarjana di keilmuan tertentu. Dengan persyaratan minimal telah menempuh 110 SKS dari 150 SKS, dididik di Kodikal Surabaya selama lima bulan, lulus menyandang pangkat letda pol, dapat gaji dan tunjangan kuliah, terus langsung balik ke kampus menyelesaikan kuliah.

Setelah itu Mas Ito menjawab: ”Gitu ya.” ”Oke, terus kamu mau enggak jadi asisten saya di PTIK”. Langsung saya jawab: ”Siap mau.”

Saat itu saya sangat yakin Mas Ito tidak mengenal saya dengan baik. Mungkin mendengar nama saya baru saat itu setelah ada pembicaraan singkat di ruangannya.

Mas Ito tidak pernah menanyakan soal indeks prestasi (IP), prestasi, dan sebagainya hingga Mas Ito mengangkat saya menjadi asisten beliau di PTIK. Saya baru mengetahui jawabannya ketika berjalan semobil bersama beliau karena satu keperluan.

Saat itu pangkat saya ajun komisaris polisi setingkat kapten (AKP) pada 2004. Sambil menyetir saya ditanya. ”Pangkat kamu apa sekarang?” ”Siap, AKP Mas.” ”Wah, hebat dong ! Enggak berasa ya udah cukup lama, kamu jadi asisten saya. Bisa kan ?” ”Siap Mas, bisa Mas.” Beliau langsung menimpali yang membuat saya mengerti dan paham: ”Itu karena kamu mau Pak Novian. Ketika kita ‘mau’, kita akan mudah memahami dan melaksanakan sesuatu yang asing bagi kita”.

Sejak saat itu terjawab sudah mengapa beliau tidak menanyakan latar belakang, IP, dan prestasi saya. Di perbincangan selama perjalanan itu juga saya mengetahui bagaimana Mas Ito sangat sayang dengan keluarga.

Maaf ya Mas Anto, Mbak Anti, dan Mas Dimas (ketiganya anak Mas Ito), saya menceritakan ini. Saat itu Mas Ito menceritakan tentang Mas Anto yang baru menikah. ”Saat masih kecil, saya sering mengajak anak-anak saya jalan-jalan dan makan-makan di tempat enak dan bagus seperti di hotel. Mampu enggak ya anak saya seperti itu?” Saya hanya diam dan menganggap Mas Ito sedang ”katarsis.”

Pembicaraan saya terakhir dengan Mas Ito terjadi pada Kamis (3/11) sore saat saya diminta mengisi kuliah akhir Psikologi Sosial mahasiswa PTIK angkatan 72 karena beliau berhalangan hadir. Beliau mengatakan akan ke Singapura.

Awalnya saya diberi tahu oleh Dewa Bintamur, yunior saya di Fakultas Psikologi UI yang juga asisten beliau di PTIK, bahwa Mas Ito meminta saya mengisi kuliah akhir tersebut. Baru kali ini saya mengisi kuliah akhir karena biasanya setiap perkuliahan Mas Ito yang mengawali dan mengakhiri. Tidak lama kemudian saya ditelepon (sekali lagi saya ditelepon) beliau memberitahukan garis besar yang harus saya sampaikan.

”Kamu buat slide -nya terus kamu e-mail ke saya. Mudah-mudahan slide-nya dapat digunakan untuk kuliah angkatan selanjutnya.” Itulah kepercayaan Mas Ito kepada saya.

Saat ini saya mengaku salah Mas. Saya tidak mengirimkan e-mail ke Mas Ito. Tidak tahu Mas, mengapa saya berat sekali untuk mengirimkannya, padahal saya merasa Mas Ito pasti sangat setuju dengan slide saya. Baru kali ini Mas, saya tidak mengikuti perintah Mas Ito.

Saya menuliskan ”saya ditelepon” dua kali karena inilah yang diajarkan Mas Ito. Sesibuk apa pun seorang Mas Ito kalau saya ”SMS” atau ”saya telepon”, pasti dibalas.

Walaupun pernah sudah hari kedua Mas Ito baru membalas (karena saya bingung kok telepon saya tidak dibalas). Beliau biasanya mengatakan, ”Kamu telepon, maaf saya sedang tidak enak badan. Perintah? (istilah yang biasa digunakan di kepolisian)”. Pada 12 Maret 2016 (memorinya ada di ponsel), saya SMS beliau meminta nomor ponsel Prof Dr Ronny Nitibaskara dan langsung dibalas. Tidak bertanya untuk apa dan lain sebagainya. Itulah Mas Ito yang saya kenal.

Saya berkeinginan untuk melanjutkan S-3 dan berusaha mendaftar pada Mei 2016 lalu. Saya sudah menemui Prof Ronny Nitibaskara dan mendapatkan rekomendasi beliau.

Prof Ronny Nitibaskara ”agak” kurang setuju dengan studi pilihan saya. Saya diminta untuk menunggu sampai program studi yang perlu saya dalami dibuka di UI karena beliau dan Mas Ito yang menggagasnya. Setelah selesai menemui Prof Ronny, saya menghubungi Mas Ito dan menceritakan hasil pembicaraan dengan Prof Ronny. ”Nanti saya kabari, apa sih yang enggak saya bantu untuk Pak Novian,” kata Mas Ito.

Terima kasih Mas Ito dan Prof Ronny. Begitu banyak kenangan saya dengan Mas Ito. Mas Ito mengajarkan tentang kejujuran, profesional (menepati janji), dan menghargai orang lain.

Saat bimbingan skripsi dulu Mas Ito selalu tepat waktu dan sesuai janji. Setiap minggu saya menghadap untuk bimbingan tidak pernah ”kesal” akibat menunggu kehadiran Mas Ito. Pernah Mas Ito terlambat karena macet di Lenteng Agung, Mas Ito menelepon stafnya untuk memberi tahu saya agar menunggu.

Mas Ito dosen yang update tentang teknologi telekomunikasi dan dosen Fakultas Psikologi pertama yang membawa ponsel karena mempunyai ponsel ”batu bata” dan mempunyai telepon di mobil. Saat bimbingan, Mas Ito sempat pergi ke Belanda dan ketika pulang memberi saya oleh-oleh majalah berbahasa Inggris yang isinya berkaitan dengan skripsi saya.

Pernah suatu ketika saat selesai bimbingan Mas Ito mengajak saya mendampingi beliau memberikan pelatihan di daerah Puncak. ”Habis ini kamu ada kerjaan enggak?” ”Siap tidak ada Mas.” ”Oke kamu ikut saya.” Pergilah saya bersama Mas Ito dengan mobil Mas Ito yang dikemudikannya sendiri.

Sesampai di vila di daerah Puncak, Mas Ito langsung mengajar. Di sana sudah ada rekan Mas Ito, Ibu Amy, dan bersama saya membantu kelancaran pelaksanaan pelatihan.

Setelah Mas Ito selesai mengajar, beliau meminta Ibu Amy memberikan honor kepada saya agar digunakan untuk membeli pakaian ganti dan perlengkapan mandi karena saya tidak membawa persiapan menginap sama sekali. Honor yang diberikan sangat besar bagi saya sebagai anak kos saat itu. Saya dapat membeli perlengkapan menginap dan ketika pulang keesokan harinya, saya masih mengantongi uang ratusan ribu.

Akhirnya saya teringat dengan omongan Mas Ito ketika akan punya cucu. ”Nanti mau dipanggil apa Mas?” tanya saya. ”Eyang Mas,” jawab Mas Ito pasti dan sambil tertawa.

Selamat jalan Eyang Mas Ito. Semoga seluruh amal ibadah Mas Ito diterima Allah SWT untuk dijadikan bekal Mas Ito menuju surga yang abadi. *
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7178 seconds (0.1#10.140)