Ahok, Penistaan dan Pemaafan
A
A
A
JM Muslimin
Dosen Sosiologi Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
GONJANG-ganjing akibat ucapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) belumlah reda. Seperti yang terlihat dalam aksi unjuk rasa di berbagai belahan kota Indonesia, umat Islam menunjukkan sikap dan keprihatinannya. Di Jakarta yang merupakan episentrum dari denyut nadi politik nasional, luapan massa itu begitu menyeruak dan menggema, khususnya dalam aksi demo 4 November.
Mereka merasa terpanggil untuk menyatakan sikap dan ketersinggungannya. Di sisi lain, publik khawatir, cemas dan waspada karena gelombang demonstrasi begitu masif dan membahana. Beruntung, tidak ada insiden yang dikhawatirkan banyak orang tersebut. Demonstrasi berjalan relatif damai, meski sempat disusul oleh letupan vandalisme dan kekerasan. Khususnya di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara.
Suka atau tidak, dilihat dari materinya, ucapan Ahok di Pulau Seribu memang kontroversial dan potensial untuk memecah harmonitas sosial. Ia merujuk kepada Alquran (surah al-Maidah, 51) untuk menyimpulkan larangan memilih pemimpin nonmuslim.
Dalam ucapannya, Ahok menyampaikan,ayat tersebut dipakai untuk mengelabui (menipu) masyarakat. Sontak, kalimat tersebut menyulut emosi dan mengingatkan adanya pasal tentang penistaan agama.
Legalitas dan High Context
Rezim kebebasan beragama di Indonesia adalah rezim kebebasan terikat (gebonden vrijheid). Artinya, keyakinan untuk menghayati, meyakini dan meresapi kerohanian sebagai perasaan keagamaan internal-personal, sepenuhnya dijamin undang-undang. Karena hal itu merupakan aspek internal kebebasan, hak yang tidak dapat dicabut.
Namun, menyatakan atau berbuat sesuatu yang bersinggungan dengan konteks keagamaan atau bersumberkan dari nilai keagamaan di dalam keterkaitannya dengan relasi sosial, tidaklah berpangkal pada kebebasan mutlak.
Oleh karena itu, meski pernah dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), Undang-Undang (UU) Nomor 5/1969 atau yang dikenal dengan UU Nomor 1/PNPS/1965 masih dinyatakan berlaku, di mana Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/1965 tersebut berbunyi: ”Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.
Personifikasi Ahok sekarang ini bukanlah manusia biasa. Selain yang bersangkutan adalah gubernur petahana, Ahok juga calon gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta. Proses pencalonannya pun berlangsung sedemikian rupa dramatis, dengan tarik ulur politik yang atraktif, sekaligus akrobatik. Kontestasi dan kompetisinya pun sangat menantang dan sarat dengan teka teki silang. Maka, tidak dimungkiri, konteks kasus ini adalah konteks yang tinggi.
Adalah hak Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menyatakan pendapat dan pernyataan keagamaannya, seperti juga hak publik untuk mengkritisi pernyataan Ahok dengan aneka cara, termasuk dengan aksi unjuk rasa masif 4 November lalu. Tetapi cepat atau lambat namun pasti, sekarang persoalannya semakin meruncing dan melebar.
Tidak mustahil akan merembet dan lari ke mana-mana. Maka sudah saatnya dipikirkan bahwa menjadi hak publik juga untuk merasakan ketenteraman dan kedamaian dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berbineka.
Mungkin saat ini saatnya semua pihak duduk bersama kembali: andaikan penistaan itu secara formal maupun materiil terbukti atau tidak terbukti, yang jelas perasaan keagamaan masyarakat Islam sudah terluka. Aksi dan unjuk rasa adalah aspirasi dan bukti nyatanya. Apalagi sampai demonstrasi berakhir, Presiden Jokowi belum menunjukkan inovasi dan kepiawaiannya untuk meredakan situasi dan merangkul semua anak negeri.
Walau demikian, tidaklah semua terlambat. Semua pihak ada baiknya untuk berkepala dingin dan lapang dada: Ahok dengan elegan dapat bersafari untuk bersilaturahim dengan ulama serta menyatakan penyesalannya dengan (kembali) meminta maaf, sementara ulama dapat menerimanya dengan tangan terbuka. Seraya (semuanya) menekankan perlunya sikap kehati-hatian ekstra dalam hal berdimensi dan berpotensi konflik horizontal.
Publik masih tetap berharap Presiden Jokowi dapat benar-benar dan nyata sebagai pemimpin. Bukan hanya sebagai presiden.
MUI sudah melakukan kanalisasi aspirasi. Umat sudah menyampaikan bisikan nurani. Di atas semua, rakyat ingin harmoni agar negara yang dihuni oleh banyak penduduk muslim ini dapat terus menjalankan agenda demokrasi. Sesuatu yang langka di banyak negeri.
Dunia sudah mengapresiasi. Demokrasi yang tidak terdistorsi. Demokrasi yang berdimensi nilai ilahi. Kita tetap meyakini, interaksi simbolik yang positif antarelite dapat meredam situasi dan menabalkan harapan untuk kebersamaan.
Dosen Sosiologi Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
GONJANG-ganjing akibat ucapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) belumlah reda. Seperti yang terlihat dalam aksi unjuk rasa di berbagai belahan kota Indonesia, umat Islam menunjukkan sikap dan keprihatinannya. Di Jakarta yang merupakan episentrum dari denyut nadi politik nasional, luapan massa itu begitu menyeruak dan menggema, khususnya dalam aksi demo 4 November.
Mereka merasa terpanggil untuk menyatakan sikap dan ketersinggungannya. Di sisi lain, publik khawatir, cemas dan waspada karena gelombang demonstrasi begitu masif dan membahana. Beruntung, tidak ada insiden yang dikhawatirkan banyak orang tersebut. Demonstrasi berjalan relatif damai, meski sempat disusul oleh letupan vandalisme dan kekerasan. Khususnya di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara.
Suka atau tidak, dilihat dari materinya, ucapan Ahok di Pulau Seribu memang kontroversial dan potensial untuk memecah harmonitas sosial. Ia merujuk kepada Alquran (surah al-Maidah, 51) untuk menyimpulkan larangan memilih pemimpin nonmuslim.
Dalam ucapannya, Ahok menyampaikan,ayat tersebut dipakai untuk mengelabui (menipu) masyarakat. Sontak, kalimat tersebut menyulut emosi dan mengingatkan adanya pasal tentang penistaan agama.
Legalitas dan High Context
Rezim kebebasan beragama di Indonesia adalah rezim kebebasan terikat (gebonden vrijheid). Artinya, keyakinan untuk menghayati, meyakini dan meresapi kerohanian sebagai perasaan keagamaan internal-personal, sepenuhnya dijamin undang-undang. Karena hal itu merupakan aspek internal kebebasan, hak yang tidak dapat dicabut.
Namun, menyatakan atau berbuat sesuatu yang bersinggungan dengan konteks keagamaan atau bersumberkan dari nilai keagamaan di dalam keterkaitannya dengan relasi sosial, tidaklah berpangkal pada kebebasan mutlak.
Oleh karena itu, meski pernah dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), Undang-Undang (UU) Nomor 5/1969 atau yang dikenal dengan UU Nomor 1/PNPS/1965 masih dinyatakan berlaku, di mana Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/1965 tersebut berbunyi: ”Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.
Personifikasi Ahok sekarang ini bukanlah manusia biasa. Selain yang bersangkutan adalah gubernur petahana, Ahok juga calon gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta. Proses pencalonannya pun berlangsung sedemikian rupa dramatis, dengan tarik ulur politik yang atraktif, sekaligus akrobatik. Kontestasi dan kompetisinya pun sangat menantang dan sarat dengan teka teki silang. Maka, tidak dimungkiri, konteks kasus ini adalah konteks yang tinggi.
Adalah hak Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menyatakan pendapat dan pernyataan keagamaannya, seperti juga hak publik untuk mengkritisi pernyataan Ahok dengan aneka cara, termasuk dengan aksi unjuk rasa masif 4 November lalu. Tetapi cepat atau lambat namun pasti, sekarang persoalannya semakin meruncing dan melebar.
Tidak mustahil akan merembet dan lari ke mana-mana. Maka sudah saatnya dipikirkan bahwa menjadi hak publik juga untuk merasakan ketenteraman dan kedamaian dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berbineka.
Mungkin saat ini saatnya semua pihak duduk bersama kembali: andaikan penistaan itu secara formal maupun materiil terbukti atau tidak terbukti, yang jelas perasaan keagamaan masyarakat Islam sudah terluka. Aksi dan unjuk rasa adalah aspirasi dan bukti nyatanya. Apalagi sampai demonstrasi berakhir, Presiden Jokowi belum menunjukkan inovasi dan kepiawaiannya untuk meredakan situasi dan merangkul semua anak negeri.
Walau demikian, tidaklah semua terlambat. Semua pihak ada baiknya untuk berkepala dingin dan lapang dada: Ahok dengan elegan dapat bersafari untuk bersilaturahim dengan ulama serta menyatakan penyesalannya dengan (kembali) meminta maaf, sementara ulama dapat menerimanya dengan tangan terbuka. Seraya (semuanya) menekankan perlunya sikap kehati-hatian ekstra dalam hal berdimensi dan berpotensi konflik horizontal.
Publik masih tetap berharap Presiden Jokowi dapat benar-benar dan nyata sebagai pemimpin. Bukan hanya sebagai presiden.
MUI sudah melakukan kanalisasi aspirasi. Umat sudah menyampaikan bisikan nurani. Di atas semua, rakyat ingin harmoni agar negara yang dihuni oleh banyak penduduk muslim ini dapat terus menjalankan agenda demokrasi. Sesuatu yang langka di banyak negeri.
Dunia sudah mengapresiasi. Demokrasi yang tidak terdistorsi. Demokrasi yang berdimensi nilai ilahi. Kita tetap meyakini, interaksi simbolik yang positif antarelite dapat meredam situasi dan menabalkan harapan untuk kebersamaan.
(poe)