Aktualisasi Nilai Kepahlawanan

Kamis, 10 November 2016 - 13:42 WIB
Aktualisasi Nilai Kepahlawanan
Aktualisasi Nilai Kepahlawanan
A A A
Benny Susetyo PR
Budayawan

Setiap tanggal 10 November bangsa Indonesia merayakan Hari Pahlawan yang selalu dikenang dan diwujudkan dalam perayaan upacara kebangsaan. Ritus perayaan kepahlawanan dimaknai bukan sekadar penghargaan akan jasa dan pengorban pahlawan.

Nilai kepahlawanan bersumber dari jiwa pengorbanan bagi tumpah darahnya. Kepahlawanan tidak lepas dari jiwa pengorbanan yang secara simbolik dimaknai sebagai pemberian total jiwa raganya untuk bangsa dan negara. Kepahlawanan tidak bisa lepas dari nilai-nilai kecintaan kepada bangsanya. ”Pahlawan” adalah sebuah kata benda. Secara etimologi kata ”pahlawan” berasal dari bahasa Sanskerta ”phala” yang bermakna hasil atau buah.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Pahlawan adalah seseorang yang berpahala yang perbuatannya berhasil bagi kepentingan orang banyak. Perbuatannya memiliki pengaruh terhadap tingkah laku orang lain, karena dinilai mulia dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat bangsa atau umat manusia.

Dalam bahasa Inggris pahlawan disebut ”hero” yang diberi arti satu sosok legendaris dalam mitologi yang dikaruniai kekuatan yang luar biasa, keberanian dan kemampuan, serta diakui sebagai keturunan dewa. Pahlawan adalah sosok yang selalu membela kebenaran dan membela keadilan.

Aktualisasi kepahlawanan dalam konteks kekinian adalah membatinkan nilai Pancasila dalam sikap perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara. Persoalan mendasar saat ini adalah hilangnya keutamaan cinta dalam diri pejabat publik, karena mereka tidak selesai dengan dirinya sendiri.

Sebagai pemimpin mereka harus mampu keluar dari lingkaran kepedulian akan cinta diri. Pemimpin yang telah selesai dengan dirinya akan mampu mengaktualisasikan dirinya menjadi pribadi yang memberikan totalitas dalam pelayanan.

Masalahnya, pejabat publik kita mengalami disorientasi ketika berkuasa. Kekuasaan semata-mata hanya mencari kepuasan diri dan memperkaya dirinya. Pejabat publik dengan mental seperti itu akan menjadi benalu negara.

Beberapa kasus pejabat publik melakukan korupsi, menggunakan narkoba, hidup mewah dalam pesta-pora adalah cermin kusam dari kehilangan moralitas pejabat publik. Mereka tidak lagi setia kepada nilai-nilai keutamaan yang seharusnya menjadi acuan. Orientasi mereka semata-mata mencari kekuasaan. Inilah penyakit bangsa yang sudah terlalu parah.

Penyakit ini memandang kekuasaan politik sebagai ”tuhan”’ atau ”agama”. Ketika ”agama kekuasaan” ini dibela sehidup semati, ia membuat orang lupa diri dan tidak sadar diri akan kendali kekuasaannya.

Apakah kita bisa menghindari bisikan nurani, bahwa memimpin dalam keadaan ”kotor’’ sama saja dengan mengotori yang dipimpin. Apakah di negeri ini perilaku politik kita sudah tidak bisa lagi memberi tempat bagi hari nurani? Pertanyaan ini mungkin membosankan.

Terlalu sering kita mendengar kekesalan rakyat terhadap perilaku para politisi dan pejabat kita dalam berpolitik menyimpang. Namun, bagaimana caranya kita bisa mengingatkan mereka yang selalu lupa dan nyaris ”lupa ingatan” menjadi tuna keutamaan ini? Nilai-nilai kepahlawanan teraktualisasikan bila pejabat publik dan masyarakat menghayati keutamaan hidup sebenarnya.

Hal itu tecermin dari mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam sikap merawat keindonesiaan dengan tidak berperilaku korup dan manipulatif. Pancasila dibatinkan dalam sikap hidup menjadi manusia Indonesia yang jujur, bekerja keras, tidak percaya hal yang sikapnya gaib dan meninggalkan budaya kekerasan. Aktualisasi kepahlawanan lebih konkret menciptakan manusia Indonesia visioner dan mampu menciptakan peluang ekonomi kreatif dan inovatif.

Ke depan nilai-nilai kepahlawanan harus dikonstruksi ulang. Kini kita membutuhkan makna kepahlawanan yang lebih luas dan dalam. Pahlawan bukan sekadar mitos ”bambu runcing”, melainkan mereka yang terus-menerus menemukan kreativitas dalam memberikan nilai tambah bagi kehidupan masyarakat. Pahlawan adalah mereka yang bisa menciptakan lapangan kerja bagi jutaan orang.

Pahlawan adalah pejabat publik yang bisa memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang murah. Mereka-mereka inilah yang seharusnya kita sebut pahlawan. Mereka adalah sosok yang bermanfaat bagi warga bangsanya. Mereka inilah yang layak disebut pejuang sejati karena adanya mereka untuk memperjuangkan kesejahteraan, kemanusiaan, dan keadilan.

Dekonstruksi kepahlawanan dengan demikian perlu dipikirkan kembali untuk menemukan makna terdalam apa yang dimaksudkan dengan pahlawan itu. Tak cukup mengheningkan cipta? Mungkin ”cukup”. Tetapi arti mengheningkan cipta bukan bagaimana kepala tertunduk belaka. Artinya, meneladani sikap baik pahlawan, mengabdi kepada kemanusiaan, membela yang lemah dan tertindas, dan membela hak yang dirampas.

Tentu tak cukup menghormati mereka hanya dengan mengheningkan cipta berulang-ulang tanpa mengaktualkan sikap dan laku hidup. ”Sebuah bangsa besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya.” Kita mempercayainya.

Namun, makna ungkapan ini bagi kita sering terlalu datar dan sering diartikan bahwa penghormatan adalah rutinitas formal saja. Apa yang ada dipikiran Bung Tomo kala itu adalah untuk menegakkan harkat dan martabat kebangsaan dengan mengorbankan seluruh jiwa raga.

Bung Tomo tak hanya membela Surabaya. Dia membela kehormatan bangsa yang dipermainkan. Harga diri dan martabat kebangsaan sering tergadaikan oleh kepentingan pragmatis individual. Sudah jarang laku kepahlawanan dan heroisme yang termanifestasikan untuk membela kebangsaan. Kebangsaan yang bermartabat, yang diperoleh dengan pengorbanan luar biasa, kini mulai digerogoti oleh sikap dan perilaku yang sering bertentangan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0648 seconds (0.1#10.140)