Pelajaran Kearifan dari Kasus Ahok
A
A
A
Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana FTIK
UIN Syarief Hidayatullah dan UMJ
ISLAM merupakan agama paling toleran dan cinta damai karena visi pembumian Islam adalah mewujudkan rahmat (kasih sayang) bagi semua di alam raya (rahmatan li al-alamin). Kendati demikian, Islam sering difitnah sebagai agama teror dan terorisme. Padahal, teror bisa dilakukan siapa saja, termasuk oleh negara terhadap rakyatnya atau teror negara terhadap negara lain. Karena itu, Islam menolak dan melarang umatnya melakukan kekerasan dan terorisme atas nama apa pun, lebih-lebih atas nama agama.
Selain itu, Islam dan umat Islam di seantero dunia, tidak terkecuali di Indonesia, juga sering diperlakukan secara tidak adil. Sudah tidak terhitung jumlahnya, berapa kali Nabi Muhammad SAW dihina, dinistai, dan dicaci maki. Alquran dirobek dan dibakar oleh mereka yang membenci Islam.
Umat Islam masih sabar dan bisa menahan diri. Bahkan, boleh jadi masih bisa memaafkan karena ketika Nabi SAW dilempari batu oleh penduduk Thaif saat hendak berdakwah, beliau tidak marah, tidak emosi, dan tidak pula membalas dendam. Ketika ditawari malaikat Jibril untuk ”membumihanguskan” Thaif dengan melongsorkan Gunung Thaif, Nabi SAW menolak, bahkan mendoakan: ”Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku karena mereka memang tidak memahami (Islam)”.
Kasus dugaan penistaan kitab suci agama Islam yang dilakukan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) secara moral keagamaan sesungguhnya sudah selesai dengan permohonan maaf dari Ahok. Namun, masalah hukumnya memang tidak bisa diselesaikan dengan hanya minta maaf.
Proses hukum penista agama (Islam) tetap harus diproses demi tegaknya keadilan hukum. Dalam konteks ini, aparat penegak hukum, kepolisian, wabil khusus Presiden Jokowi, harus bersikap arif, bijak, dan adil.
Yang menyulut ”kemarahan dan kegeraman” publik, khususnya umat Islam, adalah lambannya penanganan kasus penistaan agama yang diduga dilakukan Ahok. Suara dan aspirasi umat Islam seolah diabaikan, tidak direspons positif, bahkan cenderung dianggap seperti ”anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu”.
Publik bertanya, ada apa sesungguhnya dengan Ahok dan di belakang Ahok? Apakah Ahok itu kebal hukum? Apakah demi membela seorang Ahok, semua kepentingan negara dan republik ini harus dikorbankan? Mengapa hingga detik ini Presiden RI sama sekali tidak merespons kasus Ahok?
Kekuasaan dan Keadilan
Kasus Ahok ini merupakan ujian berat penegakan keadilan hukum di Indonesia. Rakyat, khususnya umat Islam, sudah sangat sabar menunggu aparat penegak hukum bersikap objektif, fair, jujur, dan adil menangani dan memproses kasus hukumnya.
Publik banyak bertanya, apakah Ahok dan Jokowi sedang ”main mata” dan ”saling sandera” terkait masalah hukum? Kasus Ahok ini bisa menjadi seperti ”bola liar” yang berpotensi menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan kehidupan masyarakat dan bangsa. Jika kasus ini tidak ditangani secara objektif, jujur, adil, dan transparan, tidak tertutup kemungkinan ”bola liar” ini menjadi ”bom waktu” yang mengancam masa depan persatuan, kesatuan, dan keharmonisan bangsa.
Sesungguhnya kasus Ahok itu tidaklah sulit untuk diselesaikan selama pemimpin bangsa dan aparat penegak hukum bersungguh-sungguh menunjukkan political will dan law inforcement yang jujur, adil, dan transparan. Sudah banyak laporan masyarakat yang dialamatkan kepada Kepolisian RI, mengapa tidak segera ditindaklanjuti?
Diyakini bahwa jika Ahok segera dipanggil oleh Bareskrim untuk dimintai keterangan sebagai terlapor, lalu diproses hukumnya, dan dinyatakan sebagai tersangka karena melanggar undang-undang tentang penistaan agama, dapat dipastikan ”luka umat Islam” yang belum mendapatkan keadilan sedikit terobati.
Jika kasus ini terus dibiarkan dengan mengulur-ulur waktu, pengalihan isu, dan pencitraan palsu, dikhawatirkan ”bom waktu” itu akan meledak. Ledakan kemarahan publik atas ketidakadilan dalam penegakan hukum itu boleh jadi dampak dan ongkos sosialnya jauh lebih dahsyat daripada peristiwa Mei 1998?
Apakah demi seorang Ahok, Presiden akan membiarkan negeri ini mundur ke belakang dan menjadi ”pemantik Indonesia Spring ”, sebagaimana Arab Spring yang mengerikan dan meluluhlantakkan sendi-sendi pembangunan peradaban?
Menurut Ibn Taimiyah, negara dan kehidupan bangsa itu akan aman, damai, dan penuh toleransi jika kebenaran dan keadilan (hukum) ditegakkan. Kekuasaan yang diberikan oleh rakyat melalui proses demokrasi itu sejatinya merupakan mandat untuk menegakkan keadilan.
Jika mandat rakyat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan diabaikan oleh pemegang kekuasaan (pemerintah dan aparat penegak hukum), dampak dari pengabaian dan ketidakhadiran negara dalam penegakan kebenaran dan keadilan hukum itu akan sangat mengancam ketertiban dan keamanan negara dan bangsa.
Sebab itu, kekuasaan (negara) harus hadir dan tampil terdepan dalam penegakan kebenaran dan keadilan hukum. Pemimpin negeri ini harus bersinergi membangun dan menegakkan kebenaran dan keadilan hukum tanpa tebang pilih dan tanpa pandang bulu.
Sila kelima Pancasila dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, tidak ada manusia kebal hukum di negeri ini, lebih-lebih pejabat publik yang seharusnya menjadi teladan masyarakat, tetapi malah menghina dan menista bukan hanya ulama, tetapi juga kitab suci umat Islam. Menghina dan menista kitab suci sesungguhnya identik dengan menghina dan menista Allah dan Rasul-Nya.
Pelajaran Kearifan
Diakui bahwa kasus Ahok ini sarat pelajaran kearifan yang penting dijadikan sebagai bahan refleksi bersama. Pertama, kekuasaan yang diberi mandat oleh rakyat harus berani menegakkan kebenaran dan keadilan hukum terhadap siapa pun yang melakukan pelanggaran hukum di negeri ini.
Jangan ada dusta di antara pemimpin dan penegak hukum. Supremasi hukum harus benar-benar ditegakkan, tidak dipermainkan, apalagi ”diperjualbelikan dan diintervensi” pihak asing dan aseng. Jika keadilan tidak ditegakkan terhadap kasus Ahok ini, berarti lonceng kematian keadilan hukum sudah dibunyikan.
Kedua, kemaslahatan (kepentingan) bangsa dan negara harus diutamakan daripada ”membela” dan ”melindungi” seseorang yang diduga bersalah dan melanggar hukum. Suara dan aspirasi keadilan hukum dari masyarakat harus didengar dan direspons secara positif karena negara ini didirikan antara lain untuk menegakkan keadilan demi terwujudnya ketertiban, keamanan, kedamaian, kesatuan, dan persatuan bangsa.
Ketiga, penegakan keadilan hukum secara objektif, jujur, adil, dan transparan adalah jalan perdamaian dan keadaban. Yakinlah, umat Islam Indonesia sudah memaafkan Ahok secara moral, tapi mereka hanya menuntut agar kasusnya diproses secara hukum dengan seadil-adilnya dan sejujur-jujurnya, tidak pandang bulu dan tebang pilih. Karena, kasus Ahok ini bukan hanya melukai hati umat Islam, khususnya para ulama, tapi juga telah menista kitab suci, Allah, dan Rasul-Nya.
Keempat, hikmah dari kasus Ahok juga ”menyadarkan” umat Islam untuk membaca dan terus membaca Alquran. Kesadaran back to Alquran itu hendaknya menjadi momentum strategis dan titik balik untuk meningkatkan pemahaman, penghayatan, pemaknaan, dan pengamalan nilai-nilai Alquran oleh umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kelima, kasus Ahok juga menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi pejabat publik dan pemimpin negeri ini, betapa pentingnya menjaga ucapan, perkataan, kebijakan, dan komunikasi publik yang santun dan berkeadaban.
Bangsa ini ditakdirkan Allah SWT sangat majemuk (plural) sehingga kesantunan dan keadaban pemimpin dalam bertutur kata dan mengambil kebijakan haruslah senantiasa mempertimbangkan kearifan publik dan nasional.
Tanpa kesantunan, keadaban, dan kearifan, pemimpin tidak akan pernah menjadi pelayan bagi rakyat yang dipimpinnya, tapi hanya akan sibuk pencitraan, pengembalian ”modal finansial” pencalonannya, pembagian ”kue-kue kekuasaan” kepada pendukung dan mitra koalisinya, bahkan boleh jadi sibuk mengabdi untuk kepentingan ”cukong-cukong” pemodal yang mendanai kampanyenya.
Dosen Pascasarjana FTIK
UIN Syarief Hidayatullah dan UMJ
ISLAM merupakan agama paling toleran dan cinta damai karena visi pembumian Islam adalah mewujudkan rahmat (kasih sayang) bagi semua di alam raya (rahmatan li al-alamin). Kendati demikian, Islam sering difitnah sebagai agama teror dan terorisme. Padahal, teror bisa dilakukan siapa saja, termasuk oleh negara terhadap rakyatnya atau teror negara terhadap negara lain. Karena itu, Islam menolak dan melarang umatnya melakukan kekerasan dan terorisme atas nama apa pun, lebih-lebih atas nama agama.
Selain itu, Islam dan umat Islam di seantero dunia, tidak terkecuali di Indonesia, juga sering diperlakukan secara tidak adil. Sudah tidak terhitung jumlahnya, berapa kali Nabi Muhammad SAW dihina, dinistai, dan dicaci maki. Alquran dirobek dan dibakar oleh mereka yang membenci Islam.
Umat Islam masih sabar dan bisa menahan diri. Bahkan, boleh jadi masih bisa memaafkan karena ketika Nabi SAW dilempari batu oleh penduduk Thaif saat hendak berdakwah, beliau tidak marah, tidak emosi, dan tidak pula membalas dendam. Ketika ditawari malaikat Jibril untuk ”membumihanguskan” Thaif dengan melongsorkan Gunung Thaif, Nabi SAW menolak, bahkan mendoakan: ”Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku karena mereka memang tidak memahami (Islam)”.
Kasus dugaan penistaan kitab suci agama Islam yang dilakukan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) secara moral keagamaan sesungguhnya sudah selesai dengan permohonan maaf dari Ahok. Namun, masalah hukumnya memang tidak bisa diselesaikan dengan hanya minta maaf.
Proses hukum penista agama (Islam) tetap harus diproses demi tegaknya keadilan hukum. Dalam konteks ini, aparat penegak hukum, kepolisian, wabil khusus Presiden Jokowi, harus bersikap arif, bijak, dan adil.
Yang menyulut ”kemarahan dan kegeraman” publik, khususnya umat Islam, adalah lambannya penanganan kasus penistaan agama yang diduga dilakukan Ahok. Suara dan aspirasi umat Islam seolah diabaikan, tidak direspons positif, bahkan cenderung dianggap seperti ”anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu”.
Publik bertanya, ada apa sesungguhnya dengan Ahok dan di belakang Ahok? Apakah Ahok itu kebal hukum? Apakah demi membela seorang Ahok, semua kepentingan negara dan republik ini harus dikorbankan? Mengapa hingga detik ini Presiden RI sama sekali tidak merespons kasus Ahok?
Kekuasaan dan Keadilan
Kasus Ahok ini merupakan ujian berat penegakan keadilan hukum di Indonesia. Rakyat, khususnya umat Islam, sudah sangat sabar menunggu aparat penegak hukum bersikap objektif, fair, jujur, dan adil menangani dan memproses kasus hukumnya.
Publik banyak bertanya, apakah Ahok dan Jokowi sedang ”main mata” dan ”saling sandera” terkait masalah hukum? Kasus Ahok ini bisa menjadi seperti ”bola liar” yang berpotensi menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan kehidupan masyarakat dan bangsa. Jika kasus ini tidak ditangani secara objektif, jujur, adil, dan transparan, tidak tertutup kemungkinan ”bola liar” ini menjadi ”bom waktu” yang mengancam masa depan persatuan, kesatuan, dan keharmonisan bangsa.
Sesungguhnya kasus Ahok itu tidaklah sulit untuk diselesaikan selama pemimpin bangsa dan aparat penegak hukum bersungguh-sungguh menunjukkan political will dan law inforcement yang jujur, adil, dan transparan. Sudah banyak laporan masyarakat yang dialamatkan kepada Kepolisian RI, mengapa tidak segera ditindaklanjuti?
Diyakini bahwa jika Ahok segera dipanggil oleh Bareskrim untuk dimintai keterangan sebagai terlapor, lalu diproses hukumnya, dan dinyatakan sebagai tersangka karena melanggar undang-undang tentang penistaan agama, dapat dipastikan ”luka umat Islam” yang belum mendapatkan keadilan sedikit terobati.
Jika kasus ini terus dibiarkan dengan mengulur-ulur waktu, pengalihan isu, dan pencitraan palsu, dikhawatirkan ”bom waktu” itu akan meledak. Ledakan kemarahan publik atas ketidakadilan dalam penegakan hukum itu boleh jadi dampak dan ongkos sosialnya jauh lebih dahsyat daripada peristiwa Mei 1998?
Apakah demi seorang Ahok, Presiden akan membiarkan negeri ini mundur ke belakang dan menjadi ”pemantik Indonesia Spring ”, sebagaimana Arab Spring yang mengerikan dan meluluhlantakkan sendi-sendi pembangunan peradaban?
Menurut Ibn Taimiyah, negara dan kehidupan bangsa itu akan aman, damai, dan penuh toleransi jika kebenaran dan keadilan (hukum) ditegakkan. Kekuasaan yang diberikan oleh rakyat melalui proses demokrasi itu sejatinya merupakan mandat untuk menegakkan keadilan.
Jika mandat rakyat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan diabaikan oleh pemegang kekuasaan (pemerintah dan aparat penegak hukum), dampak dari pengabaian dan ketidakhadiran negara dalam penegakan kebenaran dan keadilan hukum itu akan sangat mengancam ketertiban dan keamanan negara dan bangsa.
Sebab itu, kekuasaan (negara) harus hadir dan tampil terdepan dalam penegakan kebenaran dan keadilan hukum. Pemimpin negeri ini harus bersinergi membangun dan menegakkan kebenaran dan keadilan hukum tanpa tebang pilih dan tanpa pandang bulu.
Sila kelima Pancasila dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, tidak ada manusia kebal hukum di negeri ini, lebih-lebih pejabat publik yang seharusnya menjadi teladan masyarakat, tetapi malah menghina dan menista bukan hanya ulama, tetapi juga kitab suci umat Islam. Menghina dan menista kitab suci sesungguhnya identik dengan menghina dan menista Allah dan Rasul-Nya.
Pelajaran Kearifan
Diakui bahwa kasus Ahok ini sarat pelajaran kearifan yang penting dijadikan sebagai bahan refleksi bersama. Pertama, kekuasaan yang diberi mandat oleh rakyat harus berani menegakkan kebenaran dan keadilan hukum terhadap siapa pun yang melakukan pelanggaran hukum di negeri ini.
Jangan ada dusta di antara pemimpin dan penegak hukum. Supremasi hukum harus benar-benar ditegakkan, tidak dipermainkan, apalagi ”diperjualbelikan dan diintervensi” pihak asing dan aseng. Jika keadilan tidak ditegakkan terhadap kasus Ahok ini, berarti lonceng kematian keadilan hukum sudah dibunyikan.
Kedua, kemaslahatan (kepentingan) bangsa dan negara harus diutamakan daripada ”membela” dan ”melindungi” seseorang yang diduga bersalah dan melanggar hukum. Suara dan aspirasi keadilan hukum dari masyarakat harus didengar dan direspons secara positif karena negara ini didirikan antara lain untuk menegakkan keadilan demi terwujudnya ketertiban, keamanan, kedamaian, kesatuan, dan persatuan bangsa.
Ketiga, penegakan keadilan hukum secara objektif, jujur, adil, dan transparan adalah jalan perdamaian dan keadaban. Yakinlah, umat Islam Indonesia sudah memaafkan Ahok secara moral, tapi mereka hanya menuntut agar kasusnya diproses secara hukum dengan seadil-adilnya dan sejujur-jujurnya, tidak pandang bulu dan tebang pilih. Karena, kasus Ahok ini bukan hanya melukai hati umat Islam, khususnya para ulama, tapi juga telah menista kitab suci, Allah, dan Rasul-Nya.
Keempat, hikmah dari kasus Ahok juga ”menyadarkan” umat Islam untuk membaca dan terus membaca Alquran. Kesadaran back to Alquran itu hendaknya menjadi momentum strategis dan titik balik untuk meningkatkan pemahaman, penghayatan, pemaknaan, dan pengamalan nilai-nilai Alquran oleh umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kelima, kasus Ahok juga menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi pejabat publik dan pemimpin negeri ini, betapa pentingnya menjaga ucapan, perkataan, kebijakan, dan komunikasi publik yang santun dan berkeadaban.
Bangsa ini ditakdirkan Allah SWT sangat majemuk (plural) sehingga kesantunan dan keadaban pemimpin dalam bertutur kata dan mengambil kebijakan haruslah senantiasa mempertimbangkan kearifan publik dan nasional.
Tanpa kesantunan, keadaban, dan kearifan, pemimpin tidak akan pernah menjadi pelayan bagi rakyat yang dipimpinnya, tapi hanya akan sibuk pencitraan, pengembalian ”modal finansial” pencalonannya, pembagian ”kue-kue kekuasaan” kepada pendukung dan mitra koalisinya, bahkan boleh jadi sibuk mengabdi untuk kepentingan ”cukong-cukong” pemodal yang mendanai kampanyenya.
(poe)