Ekonomi dalam Pusaran Kelembagaan

Senin, 24 Oktober 2016 - 10:31 WIB
Ekonomi dalam Pusaran...
Ekonomi dalam Pusaran Kelembagaan
A A A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

PEKAN lalu genap dua tahun negara kita dipimpin duet Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Mari kita telaah bagaimana hasil-hasil pembangunan dari sisi kebijakan ekonomi?

Secara makroekonomi, kinerja beberapa indikator dalam posisi cukup meyakinkan. Kita mulai dari topik kurs rupiah yang untuk sementara ini semakin stabil pada kisaran Rp12.000-13.000/dolar Amerika Serikat (AS). Di awal masa pemerintahan, memang nilai tukar rupiah sempat anjlok.

Sepanjang dua tahun ini, nilai tukar kita tercatat melemah sebesar 7,96%. Kita sempat memasuki periode terburuk pada akhir September 2015 saat nilai tukar rupiah menyentuh angka Rp14.728/dolar AS. Ketika itu spekulasi mengenai rencana kenaikan suku bunga dari The Fed (Bank Sentral AS) menemui puncaknya dan memaksa banyak investor terbawa arus ketidakastian finansial global.

Belum lagi dengan pengaruh depresiasi yuan sebagai konsekuensi hubungan ekonomi antara Indonesia-Tiongkok yang akhir-akhir ini semakin erat. Pada 20 Oktober 2016, saat peringatan dua tahun masa jabatan Presiden Jokowi, nilai tukar kita sudah agak mendinganhingga berada pada kisaran Rp12.999/dolar AS. Penguatan ini didukung membaiknya iklim investasi global dan nasional, serta aliran dana repatriasi hasil program tax amnesty.

Catatan positif berikutnya hadir dari pengendalian harga konsumen yang diindikasikan dari capaian tingkat inflasi yang cukup stabil. Badan Pusat Statistik (BPS, 2016) mencatat tahun lalu tingkat inflasi kita terkendali di rata-rata angka 3,35%.

Pada tahun ini capaian tingkat inflasi malah lebih rendah lagi. Kalau dihitung rata-rata sejak Januari hingga September, inflasi kita berada pada posisi 1,97%. Di Agustus bahkan sempat terjadi deflasi 0,02%.

Dalam pandangan Bank Indonesia (BI), rendahnya tingkat inflasi lebih disebabkan karena titik ekuilibrium yang baik antara tingkat permintaan dan penawaran pada beberapa komoditas strategis. Keseimbangan yang terjaga dengan baik inilah yang berdampak sangat positif terhadap stabilitas inflasi.

Dari sisi kebijakan fiskal, meskipun banyak diwarnai kontroversi dan penyesuaian perencanaan target yang berulang-ulang, kita tetap perlu mengapresiasi kinerja positif pemerintah dalam mengendalikan defisit fiskal hingga konsisten di bawah batas rasio 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Capaian ini tentu bukan prestasi "kacangan" bagi negara yang tengah ambisius dalam mereformasi indikator-indikator pembangunan.

Apalagi realisasi penerimaan negara (terutama dari pajak) tetap konsisten terus meningkat di tengah guncangan perekonomian global yang mendorong setoran pajak menjadi seret. Tahun lalu boleh dibilang kita dipaksa harus mafhum karena keseimbangan fiskal kita "diselamatkan" oleh utang. Tetapi tahun ini kita boleh sedikit berbangga karena tax amnesty menyelamatkan wajah pemerintah dari ancaman defisit fiskal yang nyaris tidak terkendali.

Hasil-hasil tersebut, sebenarnya dipandang masih cukup debatable. Misalnya soal inflasi rendah, Menteri Keuangan justru memandang fenomena ini sebagai penurunan daya beli masyarakat.

Apalagi dengan posisi pertumbuhan ekonomi yang kemarin menembus angka 5%, seharusnya hal tersebut berimplikasi positif terhadap penguatan daya beli masyarakat. Sama halnya dengan posisi defisit fiskal yang dibayar melalui kebijakan utang luar negeri, hal ini akan berpengaruh terhadap kestabilan politik dalam negeri dan ketahanan domestik terhadap tekanan politik luar negeri.

Memang dengan posisi sebagai negara small open economy membuat kita serba sulit untuk tampil dominan mengendalikan dampak rembetan dari perekonomian global. Apalagi beberapa sektor strategis (seperti pertanian dan industri) kinerjanya sangat bergantung pada distribusi bahan baku, bahan penolong, dan/atau barang konsumsi dari negara lain (impor).

Kalau ditelusuri lebih dalam, masih ada akar-akar permasalahan yang sifatnya sangat saling mengintervensi. Efek pelemahan nilai tukar rupiah kemarin sempat membuat para pelaku industri pada posisi serba tertekan karena harga bahan baku, bahan penolong, dan barang modal yang harganya tengah melambung tinggi.

Produktivitas industri menjadi ikut terganggu dan pengusaha berada pada posisi yang sangat dilematis, karena tuntutan efisiensi akan memaksa mereka melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kejadian inilah yang membuat efek domino terhadap indikator-indikator lainnya, seperti kemiskinan dan ketimpangan yang sempat tidak cukup terkendali hingga terjadi peningkatan dalam kurun waktu akhir 2014 hingga pertengahan 2015.

Setelah perekonomian mulai stabil, angka kemiskinan dan tingkat ketimpangan perlahan-lahan mulai tereduksi. Hal yang menarik di sini terjadinya penurunan ketimpangan bukan disebabkan karena membaiknya pendapatan dan pengeluaran masyarakat kategori menengah bawah, tetapi justru didorong oleh masyarakat menengah ke atas yang tengah menahan konsumsinya karena masih enggan berspekulasi terhadap kinerja ekonomi di masa mendatang.

Jadi persoalan ketimpangan dan kemiskinan masih belum benar-benar tuntas dari akar permasalahannya. Bisa dikatakan bahwa kita tidak benar-benar dapat "menikmati" capaian inflasi yang sedang rendah ini.

Daya dukung dari sisi kelembagaan yang terkait dengan kebijakan investasi memberikan andil tersendiri terhadap keruwetan yang terjadi pada sektor ekonomi produktif. Dalam setahun terakhir pemerintah sudah merilis 13 Paket Kebijakan Ekonomi yang hampir semuanya berisi target deregulasi dan penyederhanaan proses birokrasi. Namun hasilnya masih belum mendekati kata "signifikan", karena pada praktiknya daya saing perekonomian kita justru sedang melemah dari tahun-tahun sebelumnya.

Lembaga internasional seperti World Economic Forum (WEF) merilis penurunan peringkat daya saing Indonesia dari sebelumnya di posisi ke-37 dunia merosot menjadi peringkat 41 dunia untuk masa berlaku tahun 2016-2017. Hal yang lebih mengagetkan, kontribusi terbesar yang menyebabkan daya saing kita melemah justru kebijakan-kebijakan yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah dalam proses renovasi, seperti pada indeks persepsi korupsi, faktor inefisiensi birokrasi pemerintah, serta rendahnya kualitas infrastruktur.

Survei serupa juga dilakukan lembaga International Institute for Management Development (IMD, 2016) yang menyebutkan posisi daya saing Indonesia turun dari peringkat ke-42 menjadi peringkat 48 dunia. Faktor-faktor terbesarnya disebabkan juga karena kinerja perekonomian yang sedang lemah, rendahnya efektivitas pemerintahan, efektivitas bisnis, dan persoalan infrastruktur yang banyak jadi penghambat investasi.

Hasil ini tentu sangat mengecewakan bagi kita semua yang sedang berupaya menanamkan optimisme terhadap proyeksi pembangunan ekonomi untuk beberapa waktu ke depan. Bagi penulis, ada beberapa hal-hal mendasar yang perlu dibenahi.

Yang pertama, perlu ada reformasi besar-besaran di tubuh pemerintah dalam layanan perizinan investasi. Substansi dari penyusunan paket-paket kebijakan kemarin tampaknya belum mampu diterjemahkan dengan baik oleh institusi vertikal setingkat kementerian dan/ataustruktur hierarki di bawahnya termasuk peran dari pemerintah daerah.

Faktor SDM di lingkungan pemerintah yang terbatas sangat mungkin berandil dalam lambatnya penyesuaian perubahan kelembagaan yang dituntut berjalan sangat cepat. Kalau ini tidak segera dituntaskan, yang dikhawatirkan berikutnya adalah posisi kita semakin tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain yang sedang berlomba-lomba menawarkan berbagai insentif untuk kemudahan berinvestasi.

Kedua, pemerintah perlu mengkaji ulang mengenai sistem manajemen fiskalnya agar setiap rupiah yang dikeluarkan memiliki nilai tambah yang optimal. Untuk saat ini yang paling disorot adalah isu birokrasi yang terkait dengan size organisasi, kualitas SDM, reward and punishment (payment system), dan sistem pensiun.

Anggaran untuk belanja pegawai sangat menyedot sebagian besar anggaran belanja pemerintah terutama di tataran daerah. Kita seringkali mendengar pembahasan mengenai bagaimana mengatur komposisi belanja pemerintah yang ideal antara belanja pegawai dan belanja pembangunan yang bersifat produktif, namun belum ada rencana tindakan revolusioner yang dapat melegitimasi perubahan struktur belanja agar lebih didominasi untuk kebutuhan belanja nonpegawai.

Beberapa wacana yang tergolong menarik antara lain seputar efisiensi jumlah pegawai serta perubahan sistem pensiun dari sebelumnya model pay as you go menjadi fully funded untuk lebih menghemat belanja pegawai. Presiden Jokowi sudah berkonsultasi dengan beberapa kementerian yang terkait dengan pengelolaan SDM di lingkungan pemerintah, dan menyimpulkan bahwa punggawa birokrasi kita memang sedang "obesitas" sehingga kemampuan berlarinya relatif lambat.

Kita membutuhkan sekarang bagaimana agar SDM di pemerintahan didorong untuk meningkatkan kapasitasnya, dimulai dengan pembagian wewenang yang bersandar pada prinsip the right man in the right place, dan menekankan pentingnya reward and punishment agar proses birokrasinya bisa dikelola lebih profesional.

Kalau memang wacana perubahan kelembagaan ini bisa mendorong efisiensi anggaran belanja pegawai, maka pemerintah di era Presiden Jokowi dapat kita anggap benar-benar mampu mengejawantahkan jargon "Revolusi Mental".

Penghematan dari belanja pegawai dapat dialihkan untuk kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih sesuai dengan program-program prioritas, dan disini sekali lagi penulis menekankan bagaimana pentingnya peran dari Bappenas agar lebih dipertegas perannya sebagai pusat segala perencanaan kebijakan yang akan dikelola oleh instansi-instansi lainnya.

Posisi cash flow APBN perlu terus dijaga agar program-program strategis seperti kemiskinan, pengembangan UKMK, dan optimalisasi BPJS sebagai buffer perlu di dalamnya dapat terus dijaga kesinambungannya, selain tentunya pemerintah harus terus menjaga momentum agar pembangunan infrastruktur tetap berjalan secara progresif.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0876 seconds (0.1#10.140)