Operasi Pemberantasan Pungli

Rabu, 19 Oktober 2016 - 08:38 WIB
Operasi Pemberantasan Pungli
Operasi Pemberantasan Pungli
A A A
Marwan Mas
Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas Bosowa, Makassar

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan Kapolri, Jenderal Polisi Tito Karnavian, untuk melakukan operasi pemberantasan pungutan-liar (OPP) atau juga disebut suap dalam UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi). Tidak menunggu waktu lama Polri berhasil melaksanakan perintah itu dengan operasi tangkap tangan (OTT).

Sasaran pertama pejabat di Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang bertugas di pelayanan terpadu satu atap, Selasa 11 Oktober 2016. Sejumlah uang suap ditemukan dan disita sebagai barang bukti. Modusnya, pegawai Kemenhub meminta sejumlah uang kepada warga masyarakat yang mengurus perizinan agar dipercepat penyelesaiannya. Padahal, pengurusan perizinan itu tidak dibebani biaya, tetapi dimanfaatkan sebagai pundi-pundi mendapatkan uang tidak sah.

Hal yang menarik dari OTT itu karena Presiden Jokowi menerima laporan dari Kapolri saat sedang melakukan rapat kabinet membahas reformasi birokrasi dan operasi pungli di jajaran pemerintahan, khususnya pada pelayanan publik. Presiden langsung ke tempat kejadian perkara bersama Kapolri untuk menyaksikan proses penggeledahan di Gedung Kemenhub. Malah Presiden memerintahkan agar pelaku pungli dipecat dan dibawa ke pengadilan untuk diperiksa dan dijatuhi pidana penjara.

Langkah cepat Polri melaksanakan perintah langsung Presiden patut diapresiasi karena perilaku korup dengan berbagai modus semakin marak yang butuh tindakan cepat. Beragam cara dilakukan oleh oknum penyelenggara negara dan pegawai negeri sipil (PNS) untuk mendapatkan uang tambahan tidak halal. Hanya dengan langkah konkret, strategis, dan cepat yang mampu mengungkap kelihaian para koruptor saat mengakali uang negara atau menyalahgunakan kewenangan yang diberikan.

Koordinasi yang Baik
Cepatnya Polri membongkar pungli karena ada koordinasi yang baik antara Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Kapolri. Menteri Perhubungan meminta Polri melakukan penangkapan, tetapi sebelumnya Kemenhub melakukan penelitian intern dan meminta agar para pegawainya tidak yang melakukan pungli. Ternyata dalam penelitian berhasil diendus adanya pungli dalam proses penerbitan perizinan kapal laut nelayan kecil.

Hal yang mengejutkan pada OTT ialah ditemukan "rekening" yang berisi uang Rp1 miliar. Rekening itu diduga sebagai tempat penampungan dana hasil pungli yang diperkirakan sudah berlangsung lama.

Realitas itu mengonfirmasi bahwa kekuasaan yang dimiliki sangat dekat dengan keinginan untuk korup. Kendati sudah ratusan penyelenggara negara dan PNS, baik pejabat di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif ditangkap karena korupsi, tetapi tidak ada pengaruhnya.

Pencegahan dan penindakan tegas yang dilakukan selama ini belum mampu menimbulkan rasa takut bagi calon koruptor yang antre di berbagai institusi negara dan kementerian, agar tidak melakukan korupsi atau memungut pungli saat memberikan pelayanan kepada masyarakat. Korupsi seharusnya bukan hanya dipersepsi menangkap pejabat negara, anggota DPR dan kepala daerah, melainkan juga memelihara kekuasaan agar tidak disalahgunakan.

Tidak menutup kemungkinan praktik pungli di Kemenhub barulah contoh awal, tetapi juga dilakukan di kementerian lain dalam menangani berbagai proyek infrastruktur. Semua terjadi karena "kekuasaan" untuk mengeluarkan kebijakan, keputusan, dan perizinan yang tidak transparan dan tidak diikuti pengawasan yang ketat.

Kekuasaan yang diamanatkan seharusnya dijalankan dengan baik. Bukan hanya profesional, melainkan dibentengi oleh integritas moral yang tinggi.

Kenapa dibutuhkan integritas? Karena ada ungkapan Lord Acton, seorang pemikir Inggris yang dalam kenyataan banyak dipraktikkan di Indonesia. Lord Acton menyebut "power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely", bahwa kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang absolut (mutlak) korupsinya juga besar. Para pejabat negara yang diberi kekuasaan mestinya memiliki integritas moral yang tinggi dalam mengelola kewenangan yang diberikan.

Sudah jadi rahasia umum dalam memenangkan proyek yang dibiayai negara, lobi-lobi antara pejabat berwenang dengan oknum pengusaha hitam menjadi penentu keluarnya kebijakan dan perizinan. Kewenangan dibisniskan sebagai bancakan korupsi dalam mengeluarkan perizinan pada berbagai level. Lebih celaka, karena pejabat negara bersangkutan memahami betul yang dilakukan itu merugikan keuangan negara.

Pencegahan dengan Pembuktian Terbalik
Tidak terutup kemungkinan maraknya korupsi akan dianggap biasa saja jika tidak ada formula baru dalam pencegahan. Selama ini sering dituding pada rendahnya hukuman yang dijatuhkan yang tidak menimbulkan efek jera dan rasa takut bagi calon koruptor yang antre di berbagai institusi negara.

Itu sebabnya ada wacana yang kembali digulirkan, meskipun sudah cukup lama saya gaungkan di berbagai tulisan saya tentang pentingnya menerapkan "sanksi sosial" bagi koruptor.

Ternyata wacana itu disambut positif Presiden Jokowi, karena sanksi penjara, denda, dan hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti terhadap uang negara yang dikorup tidak membawa dampak terhadap menurunnya perilaku korup. Sanksi sosial diberikan kepada terpidana korupsi (koruptor) dengan melakukan kerja sosial sebagai tukang sapu dan pembersih WC di kantor tempat dia melakukan korupsi. Tujuannya agar ada rasa malu bagi terpidana sekaligus menimbulkan rasa takut bagi yang lain.

Selain sanksi sosial, juga perlu memformulasi ulang penerapan pembuktian terbalik yang selama ini hanya dikenakan pada gratifikasi dan harta benda yang belum didakwakan yang diketahui setelah pemeriksaan sidang pengadilan. Formulasi baru pembuktian terbalik yang saya maksud dilakukan sebagai ”upaya pencegahan” pada Pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (PHKPN) kepada KPK sebelum dilantik. Caranya, setiap tahun KPK diberi kewenangan meminta kepada semua penyelenggara negara yang telah melaporkan harta kekayaannya untuk membuktikan terhadap pertambahan hartanya, apakah diperoleh secara sah atau tidak.

Apabila harta kekayaan yang bertambah selama satu tahun menjabat tidak mampu dibuktikan perolehannya secara sah, kelebihan harta yang tidak sah itu ”disita” untuk negara. Tetapi tidak perlu diproses hukum, karena gagasan ini terkait pada "upaya pencegahan", bukan pada ranah "penindakan" yang nantinya berujung pada proses pemeriksaan di pengadilan. Jika kemudian melakukan korupsi, maka dihukum seberat-beratnya disertai sanksi sosial.

Sebab, selama ini, PHKPN tidak memiliki pengaruh signifikan dalam mencegah dan membangkitkan kejujuran para pejabat negara. KPK tidak diberi kewenangan mempersoalkan pertambahan harta kekayaan pejabat negara setiap tahun, termasuk pada akhir masa jabatannya. PHKPN hanya sekadar memenuhi proses administrasi yang tidak berdampak positif pada upaya pemberantasan korupsi.

Kita berharap agar OPP disebar sampai ke daerah provinsi seperti perintah Kapolri agar semua kepala polda membentuk satgas OPP. Betapa tidak, pungli lebih kasar modusnya dibandingkan suap sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf-e UU Korupsi. PNS atau penyelenggara negara secara melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangannya "memaksa" seseorang memberikan sesuatu. Dalam pungli biasanya ada unsur "paksaan", sedangkan suap ada kesepakatan antara pemberi dan penerima suap seperti dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 12 huruf-a dan huruf b UU Korupsi.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7887 seconds (0.1#10.140)