Memberantas Pungli, Seriuskah?
A
A
A
MEMBERANTAS pungutan liar (pungli), seriuskah? Itulah pertanyaan yang banyak dilontarkan masyarakat terkait dengan operasi tangkap tangan (OTT) di Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Selasa 11 Oktober 2016 lalu. Pertanyaan tersebut terasa sangat wajar disampaikan mengingat OTT menyangkut nilai uang yang tidak seberapa. Di sisi lain, eksposur atas penggerebekan tersebut sangat luar biasa.
Betapa tidak, dalam penggerebekan tersebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) langsung turun tangan, termasuk mendatangi TKP bersama Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian serta dua menteri Kabinet Kerja. Dalam catatan kasus penggerebekan pungli yang pernah ada, inilah kali pertama seorang presiden turun tangan langsung.
Kontan saja hal tersebut menimbulkan pertanyaan apakah hal tersebut benar-benar mengindikasikan keprihatinan mendalam atas kasus pungli tersebut, sekaligus menunjukkan keseriusannya untuk memberantas pungli di birokrasi? Atau kehadirannya pada kasus yang terbilang kecil tersebut hanya pengalihan isu. Nada sumbang ini mengemuka ke publik seiring dengan menggelindingnya kontroversi Ahok terkait Surah Al-Maidah 51.
Pertanyaan miring juga muncul terkait institusi yang melakukan penggerebekan, yakni kepolisian. Hal ini terkait dengan fakta rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum tersebut. Gambaran ini seperti terlihat dalam survei Indobarometer pada 2016 ini yang menemukan tingkat kepercayaan publik terhadap polisi hanya 56,65%. Bandingkan dengan tingkat kepercayaan terhadap KPK yang mencapai 82%.
Rendahnya kepercayaan tersebut harus diakui sebagai cermin perilaku anggota Polri selama ini yang dinilai masih kental berbau korupsi, termasuk korupsi ekstortif, yang salah satunya berbentuk pungli. Transparency International Indonesia (TII), misalnya, dalam survei yang dirilis 2016 ini menyebut polisi menempati posisi kedua sebagai instansi paling korup setelah Bea Cukai. Rendahnya persepsi publik terhadap polisi diakui Tito Karnavian saat menjadi calon kapolri.
Bagaimana lembaga yang tidak sepenuhnya bisa dipercaya bisa melakukan pemberantasan korupsi? Bagaimana lembaga yang selama ini masih korup bisa melakukan pemberantasan pungli? Jangan-jangan hasilnya nanti malah kongkalikong dan memunculkan jejaring pungli baru yang lebih sistematis. Jika ini yang terjadi, pungli malah semakin menggila, dan rakyat pun semakin teperdaya.
Niat pemerintah memberantas pungli memang harus diapresiasi dan didukung. Betapa tidak, pungli di negeri ini sudah begitu mendarah daging. Walaupun pungli sangat merugikan dan meningkatkan biaya ekonomi, masyarakat tidak mempunyai daya untuk menghindar, sehingga pungli pun sudah dianggap kelaziman.
Celakanya, pungli bukan hanya dilakukan kalangan birokrasi atau aparat yang memegang kuasa atas suatu kewenangan, tapi juga dilakukan kalangan masyarakat, baik secara individual maupun secara terorganisasi seperti ormas. Pungli juga bukan hanya dilakukan secara tertutup di kantor, tapi juga secara terbuka, termasuk di lakukan aparat kepolisian di jalan raya. Dengan kata lain, negeri ini benar-benar sudah menjadi negeri pungli.
Berangkat dari kondisi demikian, pemberantasan pungli merupakan pilihan urgen. Langkah pemerintah membentuk Satgas Saber Pungli untuk memberantas pungli langkah tepat. Tapi sekali lagi, jika kultur dan mental kepolisian masih seperti saat ini, apakah pemberantasan pungli sesungguhnya bisa diwujudkan? Apalagi di Satgas Saber Pungli, polisi menjadi penggawa utama.
Karena itu, Satgas Saber Pungli kali pertama bergerak di internal instansi kepolisian sendiri, yakni membersihkan pos-pos rawan pungli seperti penindakan pelanggaran lalu lintas, pengurusan surat-surat kendaraan bermotor, pengurusan kasus, dan sebagainya. Bahkan, kepolisian juga harus menyapu bersih pungli yang selama ini juga mewarnai rekrutmen, penempatan jabatan, dan lainnya.
Hal ini sekaligus menjadi momen tepat bagi Tito Karnavian untuk mengimplementasikan reformasi kepolisian yang tidak pernah bisa diwujudkan kapolri-kapolri sebelumnya. Langkah ini harus dilakukan secara sistematis dan masif, hingga akhir terwujud budaya baru kepolisian yang profesional dan bersih dari korup. Jika hal ini terwujud, barulah polisi memberantas pungli di instansi lainnya.
Betapa tidak, dalam penggerebekan tersebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) langsung turun tangan, termasuk mendatangi TKP bersama Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian serta dua menteri Kabinet Kerja. Dalam catatan kasus penggerebekan pungli yang pernah ada, inilah kali pertama seorang presiden turun tangan langsung.
Kontan saja hal tersebut menimbulkan pertanyaan apakah hal tersebut benar-benar mengindikasikan keprihatinan mendalam atas kasus pungli tersebut, sekaligus menunjukkan keseriusannya untuk memberantas pungli di birokrasi? Atau kehadirannya pada kasus yang terbilang kecil tersebut hanya pengalihan isu. Nada sumbang ini mengemuka ke publik seiring dengan menggelindingnya kontroversi Ahok terkait Surah Al-Maidah 51.
Pertanyaan miring juga muncul terkait institusi yang melakukan penggerebekan, yakni kepolisian. Hal ini terkait dengan fakta rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum tersebut. Gambaran ini seperti terlihat dalam survei Indobarometer pada 2016 ini yang menemukan tingkat kepercayaan publik terhadap polisi hanya 56,65%. Bandingkan dengan tingkat kepercayaan terhadap KPK yang mencapai 82%.
Rendahnya kepercayaan tersebut harus diakui sebagai cermin perilaku anggota Polri selama ini yang dinilai masih kental berbau korupsi, termasuk korupsi ekstortif, yang salah satunya berbentuk pungli. Transparency International Indonesia (TII), misalnya, dalam survei yang dirilis 2016 ini menyebut polisi menempati posisi kedua sebagai instansi paling korup setelah Bea Cukai. Rendahnya persepsi publik terhadap polisi diakui Tito Karnavian saat menjadi calon kapolri.
Bagaimana lembaga yang tidak sepenuhnya bisa dipercaya bisa melakukan pemberantasan korupsi? Bagaimana lembaga yang selama ini masih korup bisa melakukan pemberantasan pungli? Jangan-jangan hasilnya nanti malah kongkalikong dan memunculkan jejaring pungli baru yang lebih sistematis. Jika ini yang terjadi, pungli malah semakin menggila, dan rakyat pun semakin teperdaya.
Niat pemerintah memberantas pungli memang harus diapresiasi dan didukung. Betapa tidak, pungli di negeri ini sudah begitu mendarah daging. Walaupun pungli sangat merugikan dan meningkatkan biaya ekonomi, masyarakat tidak mempunyai daya untuk menghindar, sehingga pungli pun sudah dianggap kelaziman.
Celakanya, pungli bukan hanya dilakukan kalangan birokrasi atau aparat yang memegang kuasa atas suatu kewenangan, tapi juga dilakukan kalangan masyarakat, baik secara individual maupun secara terorganisasi seperti ormas. Pungli juga bukan hanya dilakukan secara tertutup di kantor, tapi juga secara terbuka, termasuk di lakukan aparat kepolisian di jalan raya. Dengan kata lain, negeri ini benar-benar sudah menjadi negeri pungli.
Berangkat dari kondisi demikian, pemberantasan pungli merupakan pilihan urgen. Langkah pemerintah membentuk Satgas Saber Pungli untuk memberantas pungli langkah tepat. Tapi sekali lagi, jika kultur dan mental kepolisian masih seperti saat ini, apakah pemberantasan pungli sesungguhnya bisa diwujudkan? Apalagi di Satgas Saber Pungli, polisi menjadi penggawa utama.
Karena itu, Satgas Saber Pungli kali pertama bergerak di internal instansi kepolisian sendiri, yakni membersihkan pos-pos rawan pungli seperti penindakan pelanggaran lalu lintas, pengurusan surat-surat kendaraan bermotor, pengurusan kasus, dan sebagainya. Bahkan, kepolisian juga harus menyapu bersih pungli yang selama ini juga mewarnai rekrutmen, penempatan jabatan, dan lainnya.
Hal ini sekaligus menjadi momen tepat bagi Tito Karnavian untuk mengimplementasikan reformasi kepolisian yang tidak pernah bisa diwujudkan kapolri-kapolri sebelumnya. Langkah ini harus dilakukan secara sistematis dan masif, hingga akhir terwujud budaya baru kepolisian yang profesional dan bersih dari korup. Jika hal ini terwujud, barulah polisi memberantas pungli di instansi lainnya.
(poe)