Berbeda Keyakinan dalam Pilkada
A
A
A
KATA keyakinan biasanya digunakan untuk suatu hal yang bersifat ilahiah dan transenden. Namun dalam banyak hal yang bersifat keduniawian dan imanen, banyak juga yang sudah dikategorikan masuk dalam hal keyakinan.
Dalam konteks ini sepertinya pilihan satu individu dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan presiden (pilpres) sudah masuk level keyakinan. Berbeda halnya dengan pilihan dalam pemilihan anggota legislatif (pileg), sepertinya keyakinan di dalamnya ada pada level yang sangat rendah.
Ketika seseorang sudah yakin terhadap suatu hal, perdebatan menjadi hal yang tak perlu. Apalagi perdebatan yang berusaha menegasikan keyakinan pihak lain. Keyakinan itu bisa berubah bukan karena diserang secara kasar, tetapi bila didekati dengan lembut.
Keyakinan selalu bicara mengenai seperangkat paradigma sehingga keyakinan sering kali sudah tidak begitu memedulikan detail-detail hal yang diyakininya. Dalam kesadaran situasi inilah seharusnya kita memandang berbagai perdebatan dalam kehidupan sehari-hari mengenai pilkada atau pilpres. Jangan sampai kita memaksakan keyakinan ke orang lain dengan kondisi bahwa keyakinan yang kita miliki pasti betul dan keyakinan orang lain pasti salah.
Pola pendekatan seperti itu pasti akan mendatangkan ketegangan. Kita bisa lihat misalnya dalam Pilkada DKI Jakarta sebagai contoh kasus sesama teman bisa berdebat hebat mendukung calon kesayangannya dan menjelek-jelekkan calon lawannya. Di berbagai media sosial dan layanan pesan instan pun perdebatan tak kunjung habis. Bahkan sering berujung pada permusuhan.
Tentunya kita tidak ingin ada permusuhan terjadi hanya karena urusan pilkada. Untuk itu kita perlu memperhatikan beberapa hal dalam urusan pilkada dan keyakinan ini.
Pertama, jangan memaksakan kebenaran. Sekeras apa pun kita memaksakan pandangan mengenai calon lain, para pendukungnya akan defensif dan membela habis-habisan calon yang didukungnya. Justru pendekatan yang lebih baik kalau memang ingin tetap mengubah keyakinan pendukung calon lawan adalah dengan cara persuasif.
Kedua, akui kekurangan. Dengan selalu mengedepankan segala kelebihan calon yang didukung tetapi menegasikan kekurangan yang ada, itu justru akan membuat pendukung lawan makin defensif. Calon dalam pilkada bukanlah pahlawan super yang tak memiliki kekurangan.
Ketiga, maknai perbedaan. Kini banyak sekali orang di Indonesia yang sudah bicara keberagaman (pluralitas), bahkan sampai pada tataran memaksakan pluralisme itu sendiri, tapi nyata-nyatanya ketika ada orang yang berpikir sesuai dengan pola pikir kelompoknya diserang habis-habisan karena dianggap tidak pluralis. Padahal berpikir berbeda dan menentukan pilihan dengan cara yang berbeda adalah konsekuensi dari pluralisme.
Ingatlah bahwa sedari awal para pendiri bangsa setuju akan keberagaman bangsa ini. Dengan demikian kesetujuan akan keberagaman itu adalah kesetujuan untuk memperbolehkan semua warga negara Indonesia berpandangan akan suatu hal dan masalah selama tidak bertentangan dengan konstitusi.
Keempat, sangat banyak hal lain yang memerlukan perhatian kita. Saat ini dengan begitu eratnya telepon seluler dalam genggaman dan begitu mudahnya akses internet, maka perdebatan di dunia maya akhirnya menyeruak dalam segala segi kehidupan kita.
Perdebatan pilkada bahkan masuk ke kamar tidur ketika kita akan beristirahat dan menyita energi, padahal di saat yang bersamaan kita memerlukan istirahat yang baik setelah seharian beraktivitas. Atau perdebatan mengenai pilkada masuk di tengah waktu kerja produktif kita, bahkan kita ikut berdebat dengan lawan debat yang pada dasarnya sudah sedari awal menentukan pilihannya. Lalu apalagi yang paling tepat untuk menggambarkan bahwa perdebatan kita itu muspra atau sia-sia belaka?
Dengan kesadaran bahwa pilkada ini berbicara keyakinan pilihan, maka pendekatan yang keras tak akan berhasil. Mari menggunakan pendekatan yang lembut dalam pilkada ini.
Dalam konteks ini sepertinya pilihan satu individu dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan presiden (pilpres) sudah masuk level keyakinan. Berbeda halnya dengan pilihan dalam pemilihan anggota legislatif (pileg), sepertinya keyakinan di dalamnya ada pada level yang sangat rendah.
Ketika seseorang sudah yakin terhadap suatu hal, perdebatan menjadi hal yang tak perlu. Apalagi perdebatan yang berusaha menegasikan keyakinan pihak lain. Keyakinan itu bisa berubah bukan karena diserang secara kasar, tetapi bila didekati dengan lembut.
Keyakinan selalu bicara mengenai seperangkat paradigma sehingga keyakinan sering kali sudah tidak begitu memedulikan detail-detail hal yang diyakininya. Dalam kesadaran situasi inilah seharusnya kita memandang berbagai perdebatan dalam kehidupan sehari-hari mengenai pilkada atau pilpres. Jangan sampai kita memaksakan keyakinan ke orang lain dengan kondisi bahwa keyakinan yang kita miliki pasti betul dan keyakinan orang lain pasti salah.
Pola pendekatan seperti itu pasti akan mendatangkan ketegangan. Kita bisa lihat misalnya dalam Pilkada DKI Jakarta sebagai contoh kasus sesama teman bisa berdebat hebat mendukung calon kesayangannya dan menjelek-jelekkan calon lawannya. Di berbagai media sosial dan layanan pesan instan pun perdebatan tak kunjung habis. Bahkan sering berujung pada permusuhan.
Tentunya kita tidak ingin ada permusuhan terjadi hanya karena urusan pilkada. Untuk itu kita perlu memperhatikan beberapa hal dalam urusan pilkada dan keyakinan ini.
Pertama, jangan memaksakan kebenaran. Sekeras apa pun kita memaksakan pandangan mengenai calon lain, para pendukungnya akan defensif dan membela habis-habisan calon yang didukungnya. Justru pendekatan yang lebih baik kalau memang ingin tetap mengubah keyakinan pendukung calon lawan adalah dengan cara persuasif.
Kedua, akui kekurangan. Dengan selalu mengedepankan segala kelebihan calon yang didukung tetapi menegasikan kekurangan yang ada, itu justru akan membuat pendukung lawan makin defensif. Calon dalam pilkada bukanlah pahlawan super yang tak memiliki kekurangan.
Ketiga, maknai perbedaan. Kini banyak sekali orang di Indonesia yang sudah bicara keberagaman (pluralitas), bahkan sampai pada tataran memaksakan pluralisme itu sendiri, tapi nyata-nyatanya ketika ada orang yang berpikir sesuai dengan pola pikir kelompoknya diserang habis-habisan karena dianggap tidak pluralis. Padahal berpikir berbeda dan menentukan pilihan dengan cara yang berbeda adalah konsekuensi dari pluralisme.
Ingatlah bahwa sedari awal para pendiri bangsa setuju akan keberagaman bangsa ini. Dengan demikian kesetujuan akan keberagaman itu adalah kesetujuan untuk memperbolehkan semua warga negara Indonesia berpandangan akan suatu hal dan masalah selama tidak bertentangan dengan konstitusi.
Keempat, sangat banyak hal lain yang memerlukan perhatian kita. Saat ini dengan begitu eratnya telepon seluler dalam genggaman dan begitu mudahnya akses internet, maka perdebatan di dunia maya akhirnya menyeruak dalam segala segi kehidupan kita.
Perdebatan pilkada bahkan masuk ke kamar tidur ketika kita akan beristirahat dan menyita energi, padahal di saat yang bersamaan kita memerlukan istirahat yang baik setelah seharian beraktivitas. Atau perdebatan mengenai pilkada masuk di tengah waktu kerja produktif kita, bahkan kita ikut berdebat dengan lawan debat yang pada dasarnya sudah sedari awal menentukan pilihannya. Lalu apalagi yang paling tepat untuk menggambarkan bahwa perdebatan kita itu muspra atau sia-sia belaka?
Dengan kesadaran bahwa pilkada ini berbicara keyakinan pilihan, maka pendekatan yang keras tak akan berhasil. Mari menggunakan pendekatan yang lembut dalam pilkada ini.
(poe)