Dimas Kanjeng dan Budaya Instan Masyarakat Indonesia

Rabu, 05 Oktober 2016 - 06:58 WIB
Dimas Kanjeng dan Budaya...
Dimas Kanjeng dan Budaya Instan Masyarakat Indonesia
A A A
BEBERAPA pihak, terutama psikolog maupun sosiolog, menganggap fenomena Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang saat ini banyak menjadi perbincangan publik adalah cermin budaya instan masyarakat Indonesia. Budaya instan ini lebih mengutamakan kecepatan dibandingkan proses yang mungkin terkesan lebih lama atau lambat.

Budaya yang tidak atau kurang menghargai proses atau bahkan tidak ingin menjalani proses. Budaya instan adalah budaya ingin cepat selesai, tidak harus menunggu lama dan tidak mau ribet. Dampaknya orang akan menjadi malas atau semakin malas.

Bukan hanya kasus Dimas Kanjeng yang menunjukkan betapa masyarakat kental dengan budaya instan. Kasus-kasus seperti Eyang Subur atau Gatot Brajamusti serta fenomena Ponari di Jawa Timur juga telah menunjukkan betapa masyarakat kita lebih dekat dengan budaya ini. Itu yang terungkap di media dan diketahui oleh publik. Selain itu, masih banyak praktik perdukunan atau banyak orang menyebut ”orang pintar” untuk mempersingkat atau bahkan menghilangkan proses guna meraih sesuatu.

Sebenarnya tidak perlu Dimas Kanjeng atau Eyang Subur (yang berbau klenik) untuk menunjukkan betapa masyarakat kita memiliki budaya instan yang kental. Kita bisa lihat kehidupan sosial sehari-hari yang tampak setiap hari. Persoalan antre saja masyarakat kita harus diarahkan.

Jika tidak ada yang mengarahkan masih banyak yang ingin menyerobot agar lebih cepat. Hal lain yaitu bagaimana kita berkendara di jalan. Menerobos lampu merah yang semestinya berhenti masih sering terjadi jika tidak ada petugas. Apalagi ketika dini hari tiba, seolah mereka bebas menerobos aturan berlalu lintas.

Dua contoh yang ada di depan mata kita setiap hari masih saja terjadi. Contoh-contoh lain adalah ingin mendapatkan hasil ujian bagus dengan menyontek, ingin kaya dengan korupsi, atau ingin cantik dengan operasi plastik.

Budaya instan juga berkaitan erat dengan perkembangan teknologi komunikasi yang saat ini tengah berkembang. Maraknya media sosial ataupun digital media membuat masyarakat akan lebih mudah dan cepat mendapatkan informasi. Bahkan saat ini kemungkinan telah terjadi inflasi informasi.

Semestinya itu mampu menumbuhkan pengetahuan kita jika masyarakat kita bisa memproses banyak informasi yang masuk menjadi sumber pengetahuan kita. Parahnya, masyarakat kita karena lebih cepat dan mudah mendapat informasi langsung membuat kesimpulan, tanpa mau menyaring (memproses) banyaknya informasi tersebut apakah fakta atau fiksi dan benar atau salah.

Apakah hanya dari masyarakat? Kebijakan pemerintah pun pernah justru menumbuhkan budaya instan. Bantuan langsung tunai (BLT), yaitu bantuan dengan memberikan uang tunai juga merupakan bentuk kebijakan instan dari pemerintah yang seolah justru mendorong budaya instan.

Belum lagi pemberian subsidi pada bidang-bidang konsumtif seperti bahan bakar minyak atau listrik bukan pada subsidi pendidikan atau kesehatan. Artinya, cermin budaya instan bukan hanya berasal dari masyarakat, pemerintahan pun setidaknya pernah mendorong adanya budaya instan.

Melihat hal-hal di atas, sepertinya budaya instan adalah hal yang negatif? Tidak sepenuhnya benar juga. Bahwa sisi positif dari budaya instan adalah bersifat efektif dan efisien.

Selain itu sisi positif lainnya adalah kita akan dididik untuk menghargai waktu. Hal lain adalah dengan budaya instan artinya diiringi dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan yang akan mempermudah kehidupan manusia.

Sisi negatifnya tentu sebagian sudah dipaparkan di atas. Namun ada hal lain bahwa budaya instan juga bisa memicu sifat malas karena tidak mau proses. Selain itu, sisi temperamental juga bisa muncul karena terkadang hasil yang diinginkan tidak segera terwujud. Budaya instan juga memunculkan karakter yang tidak mempunyai daya juang tinggi karena hanya terpaku pada hasil, bukan pada proses.

Untuk itu, kontrol diri dan kontrol sosial dengan melihat dampak dari sebuah tindakan juga harus disadari oleh semua masyarakat. Kasus Dimas Kanjeng atau yang lain semestinya bukan hanya dipahami soal penggandaan uang, namun bisa menjadi bahan mawas diri untuk kita kontrol diri dan kontrol sosial.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0787 seconds (0.1#10.140)