Pertarungan Dikotomis Pilkada DKI

Senin, 03 Oktober 2016 - 08:44 WIB
Pertarungan Dikotomis...
Pertarungan Dikotomis Pilkada DKI
A A A
TIDAK akan ada yang heran jika rangkaian Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta akan panas dengan level perseteruan yang tinggi. Sudah dari jauh-jauh hari seperti tercipta prakondisi yang akhirnya mencapai titik yang kita lihat ini. Namun bukan tidak mungkin tensi akan terus meninggi ke level membahayakan jika para kandidat terus membuat pertarungan politik ini menjadi pertarungan dikotomis.

Dalam pertarungan model ini rakyat pemilih dibelah dengan garis demarkasi yang sangat kentara secara dikotomis. Akibatnya rakyat yang ada di posisi mendukung satu kandidat akan merasa berseberangan secara diametral dengan rakyat yang mendukung kandidat yang lain.

Mungkin akan banyak yang merujuk ke politik Amerika Serikat yang selama ini memang acap kali menjadi kiblat politik Indonesia. Tren yang terjadi di Amerika Serikat umumnya menular ke Indonesia.

Di sana terjadi pembelahan dikotomis antara kaum Republikan dan kaum Demokrat. Namun harus kita ingat pembelahan itu relatif bersifat ideologis. Sekalipun kadang Demokrat dan Republik punya kesamaan kebijakan, perbedaan garis besar kebijakan antarkeduanya cukup jelas.

Berbeda dengan di Jakarta. Ketiga pasang kandidat punya pendekatan yang mirip, solusi yang mirip, bahkan sudut pandang yang relatif seragam. Lalu kenapa pemilih harus dibelah?

Pembelahan di Jakarta terasa sekali antara pendukung petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan nonpendukung Ahok. Kelompok yang terakhir ini sering kali disederhanakan dengan sebutan anti-Ahok, sebutan yang mendegradasi pilihan politik masyarakat karena tidak setuju dan tidak memilih bukan berarti anti.

Sayangnya para pasangan kandidat dan tim kampanye dari ketiga kandidat sangat mendukung ”perang” pilkada yang dikotomis ini. Para pendukung Anies-Sandiaga serta Agus-Sylviana banyak yang meneriakkan slogan anti-Ahok. Begitu juga sebaliknya tim Ahok menyudutkan kelompok yang tak setuju Ahok dengan sebutan anti-Ahok, bahkan sebutan haters.

Bahkan ada yang mengatakan bahwa pendukung garis keras Ahok umumnya adalah para orang tua yang memiliki dendam masa lalu. Dalam hal ini segregasi dalam pilkada sangat kental terasa seperti dikesankan pendukung salah satu calon adalah para orang tua, sementara pendukung calon lain adalah anak muda yang diasosiasikan dengan hal positif. Seolah-olah suatu hal memalukan jika ada kelompok anak muda yang ada di seberang Ahok.

Langkah yang melakukan pembelahan dikotomis dengan membagi antara yang baik dan yang buruk ini adalah hal yang tidak elok dilakukan dalam politik. Ini bahkan bisa dikatakan lebih buruk jika dibandingkan dengan pembelahan dikotomis yang terjadi saat ada ketegangan antara Ahok yang ada pada cabang kekuasaan eksekutif di Jakarta dengan DPRD pada cabang legislatif di Jakarta yang disebut sebagai begal anggaran.

Lucunya lagi, DPRD yang saat itu secara keseluruhan oleh Ahok dan pendukungnya digambarkan sebagai begal anggaran rupanya sekarang ketuanya Prasetyo Edi Marsudi yang berasal dari PDIP dipilih menjadi Ketua Tim Pemenangan Ahok-Djarot. Dengan kenyataan seperti itu, lalu kenapa Ahok dan pendukungnya melihat politik secara hitam putih yang kontraproduktif untuk pendewasaan politik Indonesia?

Semua pihak yang tidak sependapat dengan Ahok secara serta-merta oleh para pendukungnya diasosiasikan sebagai pendukung DPRD yang disebut sebagai begal anggaran. Padahal dalam politik kita tidak bisa melihatnya secara dikotomis seperti itu.

Bisa jadi dalam konteks di atas banyak yang tidak setuju dengan pola DPRD, tetapi mereka mengingatkan Ahok bahwa Indonesia sudah lama meninggalkan konsep executive heavy karena trauma korupsi pada masa Orde Baru. Banyak orang yang mengingatkan akan adagium power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.

Semoga ketiga kandidat dan para pendukungnya bisa sadar bahwa pilkada itu adalah sarana mencari pemimpin yang mumpuni, bukan sarana untuk memecah belah bangsa.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0868 seconds (0.1#10.140)