Migrasi Politik Militer?
A
A
A
Muradi
Direktur Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran
dan Ketua Pusat Studi Politik & Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran
KEPUTUSAN politik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden keenam Indonesia, dengan sejumlah pimpinan partai politik untuk mencalonkan Agus Harimurti Yudhoyono berpasangan dengan Sylviana Murni sebagai paket pasangan dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta patut dicermati. Agus yang memiliki karier militer cemerlang dengan mengintegrasikan tiga kualifikasi, yakni kualifikasi tempur, kualifikasi intelektual, dan kualifikasi jejaring politik, yang mana Agus adalah putra sulung SBY, presiden keenam Indonesia, memilih jalan politik daripada karier militer di TNI.
Tidak banyak perwira TNI yang memiliki tiga kualifikasi tersebut, terakhir adalah Prabowo Subianto, yang membedakannya, kualifikasi intelektual Prabowo, bukan dari bangku perkuliahan, tapi dari ayahnya, begawan ekonomi, Soemitro Djojohadikoesoemo. Publik menganggap Agus adalah perwira TNI berpangkat mayor yang digadang-gadang memiliki prospek karier masa depan yang bagus, bahkan diprediksi dapat melampaui karier SBY di kemiliteran. Hal ini pun ditegaskan Panglima TNI Gator Nurmatyo bahwa Agus memang disiapkan untuk meneruskan estafet kepemimpinan TNI masa depan.
Bukan kali ini saja perwira TNI menyeberang ke politik untuk mencoba peruntungan, hanya langkah Agus dinilai penuh dengan arahan dari orang tuanya dibandingkan secara mandiri memilih jalur politik. Pilihan Agus ke jalur politik di tengah kondusifitas TNI sebagai institusi yang makin profesional dinilai janggal oleh banyak pihak. Apalagi, sebagai pribadi, Agus dinilai sebagai perwira yang memiliki kualifikasi lengkap untuk menjadi pemimpin TNI masa datang. Dengan kualifikasi yang dimiliki, banyak pihak meyakini Agus akan menjadi pemimpin yang dapat membawa TNI lebih baik masa depan.
Mengacu pada karier kakeknya, Sarwo Edhie Wibowo, juga ayahnya, SBY. Agus seharusnya makin menegaskan tradisi militer di keluarganya. Jika pamannya, Pramono Edhie Wibowo, bisa mencapai jabatan kasad. Maka itu, banyak pihak meyakini, dengan kualifikasi Agus, bisa saja karier SBY dan pamannya tersebut dapat terlampaui.
Kendati demikian, langkah Agus ini sudah dilakukan dan secara faktual masuknya Agus sebagai salah satu kandidat dalam pilgub dinilai menjadi penegas bahwa SBY tengah mengikuti jejak sejumlah politisi lain yang telah membangun dinasti politiknya sendiri. Menjadi tidak penting menang atau kalah, namun kemunculan tersebut memperkuat keadaan bahwa tidak perlu menunggu lebih lama, SBY kemudian menegaskan Agus adalah penerus politik dari mantan presiden keenam tersebut.
Migrasi Politik
Tetapi, langkah Agus ini juga membangun dilema baru bagi penguatan TNI yang profesional. Dilema tersebut terletak pada penekanan bahwa karier di kemiliteran bisa saja tidak lagi menarik bagi putra-putra terbaik bangsa untuk berkarya dan mengabdi untuk kejayaan bangsa. Bila Agus kemudian menang dalam kontestasi politik di pemilihan gubernur (pilgub) Jakarta, diyakini banyak pihak bahwa akan terjadi migrasi politik besar-besaran yang membuat TNI dalam derajat tertentu kemudian kehilangan figur-figur terbaik masa depan yang memimpin TNI.
Sinyalemen tersebut ditegaskan Panglima TNI, yang salah satunya mengeluarkan telegram rahasia (TR) untuk memberikan peringatan bagi sejumlah perwiranya yang bisa jadi akan atau mulai tergoda dengan jejak militer di politik praktis. TR itu juga menjadi bagian dari penegas bahwa keputusan untuk berkontestasi dalam politik juga berarti memutuskan karier di TNI.
Hal ini memperkuat argumentasi dan penjelasan sebagaimana yang ditegaskan dalam UU No 34/ 2004 tentang TNI. Di sisi lain, partai politik juga dianggap gagal melakukan kaderisasi politik karena kemudian secara sadar melakukan langkah-langkah pragmatis dengan mengambil figur-figur di TNI untuk dicalonkan menjadi kepala daerah atau bahkan kepemimpinan nasional.
Pada fase tertentu dari transisi demokrasi, dan atau pada situasi di mana sistem demokrasi mulai mapan di suatu negara, akan terjadi migrasi politik militer ke politik praktis. Claude Welch (1992) membaginya ke dalam dua langkah. Pertama, langkah untuk membangun investasi politik setelah berkarier di kemiliteran dengan salah satunya melakukan komunikasi dengan sejumlah elite politik yang ada, dan atau membangun klik di internal militer untuk penguatan figur yang akan berkontestasi dalam sistem demokrasi. Hal ini telah dilakukan oleh ayah Agus, SBY, pada 2004 manakala melakukan manuver politik untuk kemudian memimpin Indonesia selama sepuluh tahun.
Langkah kedua dengan memilih pensiun dini dan ikut berkontestasi. Pada langkah ini tidak banyak perwira TNI yang relatif berhasil, salah satu yang dinilai berhasil adalah Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo, yang memilih mundur dari keanggotaan TNI saat berpangkat mayor dan ikut kontestasi politik.
Dua langkah tersebut, menurut Welch, yang menjadi alasan utama sejumlah perwira militer yang terjun ke politik adalah ketiadaan masa depan da-lam berkarier di militer. Di sisi lain juga Welch menekankan bahwa politisi sipil juga gagal memunculkan figur yang mumpuni, yang mampu membawa negara keluar dari himpitan krisis dan konflik. Tetapi, Welch juga mengungkapkan bahwa hal tersebut hanya terjadi di negara dengan demokrasi yang tidak berjalan dengan baik.
Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah demokrasi di Indonesia tidak berjalan dan tertata dengan baik? Sehingga, memunculkan asumsi bahwa fenomena Agus Yudhoyono dianggap sebagai titik tolak kemungkinan terjadi migrasi politik sejumlah perwira TNI ke politik praktis?
Hal tersebut perlu dicermati, mengingat secara faktual, demokrasi di Indonesia tengah mengarah kepada tingkat kematangan politik. Sementara di internal TNI pun secara realitas juga makin baik pengelolaan personel dan kariernya. Dengan kata lain, apa yang ditegaskan Welch tidak terjadi di Indonesia. Bahwa kemudian hal tersebut mengemuka saat Agus Yudhoyono memutuskan berhenti berkarier di TNI dan memilih jalur politik untuk meneruskan tradisi politik keluarganya adalah bagian dari episode yang tidak terekam dalam cakupan argumentasi Welch.
Perlu langkah konkret dan praktis yang dapat meyakinkan perwira TNI dan TNI sebagai institusi untuk tetap fokus dan tidak tergoda untuk mencoba peruntungan dalam politik. Penegasan bahwa pencalonan Agus adalah episode dari pembangunan dinasti politik SBY, bukan untuk menjadi inspirasi para perwira TNI untuk bermigrasi politik. Karena itu, langkah yang paling konkret dan efektif adalah memperkuat militer dengan mendorong sepenuhnya menjadi tentara profesional.
Penekanan ini penting untuk pemerintahan sipil demokratis untuk memperhatikan tiga hal ini. Pertama, visi politik negara yang dapat menjadi acuan bagi penatakelolaan institusi militernya. Kedua, memperkuat basis dan postur pertahanan yang disesuaikan dengan penguatan visi politik negara. Ketiga, peningkatan kesejahteraan prajurit.
Dengan penekanan tersebut, kekhawatiran akan terjadi migrasi politik militer ke politik praktis seharusnya tidak perlu terjadi. Kepentingan politik TNI semata-mata untuk memastikan Pancasila sebagai ideologi negara dan konstitusi UUD 1945, dengan tetap berkomitmen menjaga kebinekaan dalam bingkai NKRI sebagai bentuk dari implementasi politik kenegaraan TNI.
Direktur Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran
dan Ketua Pusat Studi Politik & Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran
KEPUTUSAN politik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden keenam Indonesia, dengan sejumlah pimpinan partai politik untuk mencalonkan Agus Harimurti Yudhoyono berpasangan dengan Sylviana Murni sebagai paket pasangan dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta patut dicermati. Agus yang memiliki karier militer cemerlang dengan mengintegrasikan tiga kualifikasi, yakni kualifikasi tempur, kualifikasi intelektual, dan kualifikasi jejaring politik, yang mana Agus adalah putra sulung SBY, presiden keenam Indonesia, memilih jalan politik daripada karier militer di TNI.
Tidak banyak perwira TNI yang memiliki tiga kualifikasi tersebut, terakhir adalah Prabowo Subianto, yang membedakannya, kualifikasi intelektual Prabowo, bukan dari bangku perkuliahan, tapi dari ayahnya, begawan ekonomi, Soemitro Djojohadikoesoemo. Publik menganggap Agus adalah perwira TNI berpangkat mayor yang digadang-gadang memiliki prospek karier masa depan yang bagus, bahkan diprediksi dapat melampaui karier SBY di kemiliteran. Hal ini pun ditegaskan Panglima TNI Gator Nurmatyo bahwa Agus memang disiapkan untuk meneruskan estafet kepemimpinan TNI masa depan.
Bukan kali ini saja perwira TNI menyeberang ke politik untuk mencoba peruntungan, hanya langkah Agus dinilai penuh dengan arahan dari orang tuanya dibandingkan secara mandiri memilih jalur politik. Pilihan Agus ke jalur politik di tengah kondusifitas TNI sebagai institusi yang makin profesional dinilai janggal oleh banyak pihak. Apalagi, sebagai pribadi, Agus dinilai sebagai perwira yang memiliki kualifikasi lengkap untuk menjadi pemimpin TNI masa datang. Dengan kualifikasi yang dimiliki, banyak pihak meyakini Agus akan menjadi pemimpin yang dapat membawa TNI lebih baik masa depan.
Mengacu pada karier kakeknya, Sarwo Edhie Wibowo, juga ayahnya, SBY. Agus seharusnya makin menegaskan tradisi militer di keluarganya. Jika pamannya, Pramono Edhie Wibowo, bisa mencapai jabatan kasad. Maka itu, banyak pihak meyakini, dengan kualifikasi Agus, bisa saja karier SBY dan pamannya tersebut dapat terlampaui.
Kendati demikian, langkah Agus ini sudah dilakukan dan secara faktual masuknya Agus sebagai salah satu kandidat dalam pilgub dinilai menjadi penegas bahwa SBY tengah mengikuti jejak sejumlah politisi lain yang telah membangun dinasti politiknya sendiri. Menjadi tidak penting menang atau kalah, namun kemunculan tersebut memperkuat keadaan bahwa tidak perlu menunggu lebih lama, SBY kemudian menegaskan Agus adalah penerus politik dari mantan presiden keenam tersebut.
Migrasi Politik
Tetapi, langkah Agus ini juga membangun dilema baru bagi penguatan TNI yang profesional. Dilema tersebut terletak pada penekanan bahwa karier di kemiliteran bisa saja tidak lagi menarik bagi putra-putra terbaik bangsa untuk berkarya dan mengabdi untuk kejayaan bangsa. Bila Agus kemudian menang dalam kontestasi politik di pemilihan gubernur (pilgub) Jakarta, diyakini banyak pihak bahwa akan terjadi migrasi politik besar-besaran yang membuat TNI dalam derajat tertentu kemudian kehilangan figur-figur terbaik masa depan yang memimpin TNI.
Sinyalemen tersebut ditegaskan Panglima TNI, yang salah satunya mengeluarkan telegram rahasia (TR) untuk memberikan peringatan bagi sejumlah perwiranya yang bisa jadi akan atau mulai tergoda dengan jejak militer di politik praktis. TR itu juga menjadi bagian dari penegas bahwa keputusan untuk berkontestasi dalam politik juga berarti memutuskan karier di TNI.
Hal ini memperkuat argumentasi dan penjelasan sebagaimana yang ditegaskan dalam UU No 34/ 2004 tentang TNI. Di sisi lain, partai politik juga dianggap gagal melakukan kaderisasi politik karena kemudian secara sadar melakukan langkah-langkah pragmatis dengan mengambil figur-figur di TNI untuk dicalonkan menjadi kepala daerah atau bahkan kepemimpinan nasional.
Pada fase tertentu dari transisi demokrasi, dan atau pada situasi di mana sistem demokrasi mulai mapan di suatu negara, akan terjadi migrasi politik militer ke politik praktis. Claude Welch (1992) membaginya ke dalam dua langkah. Pertama, langkah untuk membangun investasi politik setelah berkarier di kemiliteran dengan salah satunya melakukan komunikasi dengan sejumlah elite politik yang ada, dan atau membangun klik di internal militer untuk penguatan figur yang akan berkontestasi dalam sistem demokrasi. Hal ini telah dilakukan oleh ayah Agus, SBY, pada 2004 manakala melakukan manuver politik untuk kemudian memimpin Indonesia selama sepuluh tahun.
Langkah kedua dengan memilih pensiun dini dan ikut berkontestasi. Pada langkah ini tidak banyak perwira TNI yang relatif berhasil, salah satu yang dinilai berhasil adalah Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo, yang memilih mundur dari keanggotaan TNI saat berpangkat mayor dan ikut kontestasi politik.
Dua langkah tersebut, menurut Welch, yang menjadi alasan utama sejumlah perwira militer yang terjun ke politik adalah ketiadaan masa depan da-lam berkarier di militer. Di sisi lain juga Welch menekankan bahwa politisi sipil juga gagal memunculkan figur yang mumpuni, yang mampu membawa negara keluar dari himpitan krisis dan konflik. Tetapi, Welch juga mengungkapkan bahwa hal tersebut hanya terjadi di negara dengan demokrasi yang tidak berjalan dengan baik.
Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah demokrasi di Indonesia tidak berjalan dan tertata dengan baik? Sehingga, memunculkan asumsi bahwa fenomena Agus Yudhoyono dianggap sebagai titik tolak kemungkinan terjadi migrasi politik sejumlah perwira TNI ke politik praktis?
Hal tersebut perlu dicermati, mengingat secara faktual, demokrasi di Indonesia tengah mengarah kepada tingkat kematangan politik. Sementara di internal TNI pun secara realitas juga makin baik pengelolaan personel dan kariernya. Dengan kata lain, apa yang ditegaskan Welch tidak terjadi di Indonesia. Bahwa kemudian hal tersebut mengemuka saat Agus Yudhoyono memutuskan berhenti berkarier di TNI dan memilih jalur politik untuk meneruskan tradisi politik keluarganya adalah bagian dari episode yang tidak terekam dalam cakupan argumentasi Welch.
Perlu langkah konkret dan praktis yang dapat meyakinkan perwira TNI dan TNI sebagai institusi untuk tetap fokus dan tidak tergoda untuk mencoba peruntungan dalam politik. Penegasan bahwa pencalonan Agus adalah episode dari pembangunan dinasti politik SBY, bukan untuk menjadi inspirasi para perwira TNI untuk bermigrasi politik. Karena itu, langkah yang paling konkret dan efektif adalah memperkuat militer dengan mendorong sepenuhnya menjadi tentara profesional.
Penekanan ini penting untuk pemerintahan sipil demokratis untuk memperhatikan tiga hal ini. Pertama, visi politik negara yang dapat menjadi acuan bagi penatakelolaan institusi militernya. Kedua, memperkuat basis dan postur pertahanan yang disesuaikan dengan penguatan visi politik negara. Ketiga, peningkatan kesejahteraan prajurit.
Dengan penekanan tersebut, kekhawatiran akan terjadi migrasi politik militer ke politik praktis seharusnya tidak perlu terjadi. Kepentingan politik TNI semata-mata untuk memastikan Pancasila sebagai ideologi negara dan konstitusi UUD 1945, dengan tetap berkomitmen menjaga kebinekaan dalam bingkai NKRI sebagai bentuk dari implementasi politik kenegaraan TNI.
(poe)