Job Fair

Senin, 19 September 2016 - 07:23 WIB
Job Fair
Job Fair
A A A
Elfindri
Profesor Ekonomi SDM dan Direktur Center for Human and SDGs Unand

SEBUAH info diperoleh bahwa di kota provinsi saja, katakan Padang, jumlah pencari kerja tahun 2015 sebanyak 13.000 orang lebih. Sementara lowongan yang tersedia sebanyak 1.100 jenis pekerjaan. Masalah yang sama juga terlihat di kota metropolitan, Jakarta. Sedikit saja info lowongan kerja dibuka, maka dalam hitungan hari banyak pencari kerja yang datang. Mereka antre untuk ikut serta dalam seleksi kerja, bahkan mirip ujian masuk perguruan tinggi di Gelora Bung Karno, Senayan.

Kenyataan itu memperlihatkan bahwa kota-kota provinsi sekelas Padang, apalagi Kota Jakarta memang akan mengalami tekanan pasar kerja yang tinggi akibat urbanisasi. Jumlah lapangan kerja yang tersedia selalu akan lebih kecil daripada permintaan tenaga kerja.

Syukur-syukur permintaan kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan oleh dunia usaha dan atau pemerintahan tersedia di tingkat lokal. Jika saja jumlah dan kualifikasi tenaga kerja tidak tersedia, kendatipun lowongan pekerjaan ada, para pencari kerja yang sekarang ada tetap saja tidak akan mudah mendapatkan pekerjaan.

Lowongan pekerjaan yang tersedia sedikit itu tentu yang secara formal diumumkan oleh perusahaan yang sedang membutuhkan tenaga kerja. Lowongan itu merupakan pekerjaan formal, dengan kompensasi upah yang tersedia. Namun, lowongan pekerjaan tidak saja yang formal dimintakan oleh dunia usaha. Banyak juga perusahaan merekrut tenaga kerja dengan sistem tertutup. Perusahaan seperti ini lazim dikenal menganut crediantial system. Sistem yang diam-diam dibangun secara kekeluargaan dalam merekrut tenaga kerja.

Job Fair Tidak Cukup
Pertanyaan wartawan banyak yang dilontarkan seperti ini; bagaimana pandangan bapak dengan job fair yang dilakukan oleh pemerintah daerah?

Penulis hampir tiap tahun telah memberikan masukan dan pandangan dalam menyikapi ini. Upaya mempertemukan pencari kerja dengan penyedia pekerjaan adalah sesuatu yang positif dan dapat dimainkan oleh dinas tenaga kerja setempat yang lebih intensif lagi.

Di negara maju, proses pencarian pekerjaan dapat diajukan oleh pencari kerja dengan memasuki terlebih dahulu organisasi buruh, karena organisasi buruh berupaya mengidentifikasi keperluan, perjanjian pekerjaan, dan penempatan. Namun di negara kita, organisasi buruh belum berfungsi untuk memperjuangkan hak-hak tenaga kerja berupa kesempatan berusaha, upah dan sejenisnya, mengingat organisasi buruh lebih berorientasi kepada kepentingan politik.

Ada beberapa kesempatan besar di mana dalam job fair ini akan dapat terjalin berbagai sumber informasi yang sangat berguna. Akhir 2000-an, penulis pernah memberikan saran kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat ketika Gamawan Fauzi merintis sistem job fair untuk Sumatera Barat. Kegiatan job fair bisa dimanfaatkan untuk kepentingan identifikasi problem tentang ketenagakerjaan setempat. Ini perlu dilakukan mengingat data dan sumber informasi ketenagakerjaan masih terbatas tersedia.

Sewaktu mereka melamar, dengan menyiapkan instrumen isian singkat maka para pencari kerja dapat mengisi form yang dapat nantinya diolah untuk menemukan dan mengenali apa karakter stok tenaga kerja. Di antaranya informasi tentang latar belakang pencari kerja, pekerjaan apa yang mereka cari, bagaimana keterampilan mereka, dan termasuk soft skills yang mereka miliki.

Data seperti ini akan mempermudah pemerintah setempat untuk menganalisis lanjutan, dan kemudian ada proses yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk membekali para pencari kerja dengan berbagai bentuk penyiapan antara. Maka dari proses tamatan sampai mendapat pekerjaan terencana sebuah proses yang menyebabkan pencari kerja memang semakin siap untuk dapat memasuki dunia kerja.

Asumsi ketersediaan jumlah lowongan kerja sebenarnya sering juga tidak bisa terpenuhi, mengingat kualifikasi dan jenis pekerjaan yang dicari tidak tersedia pada pasar kerja. Para pencari kerja yang berpendidikan tamat SMP atau SMA dan sederajat sering tidak memiliki keterampilan. Mereka lebih banyak disiapkan kognitifnya di sekolah, dan memang belum disiapkan untuk secara mandiri di pasar kerja.

Ketika pengguna kerja inginkan pekerja berketerampilan, institusi yang menghasilkan/ menyediakan keterampilan juga tidak banyak berbuat apa-apa. Sekolah menengah kejuruan (SMK) saat ini memang sedang berbenah. Namun karena pesatnya perkembangan teknologi dan permintaan akan barang-barang dan jasa, perlu penyesuaian dalam menghasilkan keterampilan para pencari kerja.

Lembaga-lembaga kursus sangat logis telah banyak menghasilkan alumni dengan kursus singkat yang mereka tawarkan. Namun dalam perjalanan pekerja-pekerja yang ada pun mesti mendapatkan sertifikasi keahlian, agar mereka semakin lama semakin diakui oleh dunia pemakai.

Singkat kata, job fair dapat dibuat dalam rentangan tiap bulan, kemudian mereka yang mengisi form diolah sedemikian rupa, sehingga dinas tenaga kerja setempat dapat merencanakan bagaimana intervensi penyiapan tenaga kerja. Dalam sebuah laporan UNDP (United Nations Development Programme), di India dan Pakistan ditemukan hanya sepertiga dari pencari kerja yang memiliki keterampilan. Mereka pada umumnya belum memiliki soft skills yang cukup untuk masuk dunia kerja.

Libatkan Dunia Usaha
Dunia usaha yang ada di kota-kota, apa pun jenisnya, dapat memberikan sumbangan sosial dalam bentuk menyediakan tempat untuk proses magang bagi pencari kerja. Kita perlu menanamkan kepada pencari kerja bahwa mereka memang mesti menyadari apa yang diperlukan dunia usaha, dan apa yang mereka belum penuhi.

Konsep melibatkan dunia usaha tempat magang adalah salah satu yang mungkin bisa dilaksanakan. Ini memerlukan persiapan yang matang, sehingga balai latihan tenaga kerja yang ada tidak harus menunggu ada anggaran baru jalan, namun dengan aktif membuat terobosan agar para pencari kerja ada masa persiapan untuk memenuhi keterampilan mereka.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3724 seconds (0.1#10.140)