Hukum Persidangan Melawan Hukum Alam
A
A
A
Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi Forensik,
The University of Melbourne
JONATHAN Levav dari Columbia University penasaran akan sebuah pertanyaan: Kapankah waktu terbaik bagi narapidana untuk mengajukan pembebasan bersyarat? Berdasarkan studinya, Levav menyimpulkan bahwa pagi hari dan pascarehat adalah waktu yang paling jitu. Penjelasan atas simpulan tersebut sangat sederhana, yaitu gula darah.
Pagi hari (setelah sarapan) dan pascaistirahat, manusia memiliki pasokan gula darah pada kadar yang memadai. Dihubungkan ke hakim, gula darah menghasilkan energi bagi mereka untuk mencermati satu per satu berkas terkait permohonan pembebasan bersyarat yang diajukan masing-masing terpidana. Berdasarkan cermatan itulah hakim percaya diri untuk mengabulkan permohonan terpidana.
Selain waktu-waktu di atas, akibat kadar gula darah yang menurun, hakim tidak lagi cukup bertenaga untuk melakukan pengamatan dengan keseriusan setara. Akibat itu, daripada menjatuhkan putusan yang berisiko, sebagai langkah aman, hakim cenderung menolak permohonan pembebasan bersyarat narapidana.
Studi Levav pada 2011 tersebut relevan dengan persidangan untuk mengungkap penyebab tewasnya mendiang Mirna di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sejak sesi persidangan menghadirkan saksi dan ahli dari pihak penasihat hukum, persidangan bahkan berlangsung hingga tengah malam.
Kiranya tidak berlebihan untuk menyebut persidangan dengan terdakwa Jessica tersebut sebagai tantangan dahsyat terhadap kondisi manusia. Di tengah waktu kerja yang terbatas dan berbekal stamina manusia yang juga terbatas, para penegak hukum di ruang persidangan justru harus menyimak dan memproses berbagai informasi kompleks yang lalu-lalang dalam kuantitas besar. Itu semua berlangsung pada jam-jam ketika tuntutan tubuh untuk merehatkan diri sudah menjadi panggilan alam yang kodrati. Tambahan lagi, kasus tewasnya Mirna bukan satu-satunya berkas perkara yang harus ditangani baik oleh jaksa, penasihat hukum, maupun hakim pada periode waktu yang sama. Waktu dan tenaga para penegak hukum tersebut terbagi-bagi ke seluruh berkas yang menjadi tanggung jawab mereka.
Tidak bisa dikesampingkan adalah tingginya perhatian publik terhadap jalannya persidangan. Liputan media massa juga menambah masif tekanan yang menyembur ke ruang persidangan.
Beralasan untuk menduga kuat, kombinasi unsur-unsur di atas mendesak kesiapan fisik dan psikis seluruh pihak ke ambang yang sesungguhnya tidak lagi optimal bagi bekerjanya proses kognitif manusia. Dalam kondisi sedemikian rupa, sebagai bentuk adaptasi, otak manusia niscaya akan mencari cara kerja yang paling efisien. Persoalannya, efisiensi tidak serta-merta beriringan dengan akurasi. Sebaliknya, ketika efisiensi meninggi, akurasi justru menjadi tumbalnya. Manifestasinya misalnya kesulitan seluruh pihak untuk menerima rentetan informasi yang tidak linear. Padahal, sebagaimana fenomena lazim dalam dunia ilmu pengetahuan, data maupun teori bisa kontras satu sama lain. Akibat dari penolakan otak terhadap ihwal yang dianggap tidak sebangun tersebut, hakim kehilangan kesabarannya sehingga terlontarlah hardikan semisal, “Tidak ada ‘tapi’!”
Hardikan itu dilakukan hakim guna memaksa ahli untuk melinearkan substansi paparannya yang sesungguhnya rumit. Ahli bisa saja jeri (takut) menerima bentakan hakim sehingga memutuskan untuk mengiyakan kehendak hakim. Sepintas, interaksi sedemikian rupa mempertontonkan “kewibawaan” hakim dalam mengatur jalan persidangan. Hakim seakan berhasil mendorong ahli untuk lebih fokus saat mengelaborasi pemikirannya. Padahal, alih-alih membuat persoalan lebih terang-benderang, penyederhanaan berlebihan tersebut membuat sekian banyak realitas keilmuan tertutupi dan itu mempertaruhkan simpulan akhir hakim sendiri.
Begitu pula, seiring otak yang mencari mekanisme kerja paling efisien, energi yang menyusut drastis membuat kendali emosi bisa pupus. Perwujudannya antara lain adalah tindak-tanduk impulsif berupa tutur kata yang sejatinya tidak pantas meluncur dari meja para wakil Tuhan, “Kalau [racun] tidak masuk lewat mulut, memang[-nya bisa] lewat pantat?”
Manajemen sidang yang semestinya diperagakan oleh ketua majelis hakim, tak pelak, ikut mengendur. Riuh-rendah tepuk tangan maupun cemoohan dari pengunjung persidangan terabaikan. Peringatan ketua majelis hakim agar audiens tertib hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Terbukti, tak lama kemudian kegaduhan yang sama muncul kembali. Namun, karena kepekaan hakim sudah menurun, hakim pun tidak lagi merasa terganggu olehnya. Begitu terus dari waktu ke waktu.
Saksi maupun ahli tak luput terkena imbas dari manajemen sidang yang tidak lagi sepenuhnya berada dalam kendali ketua majelis hakim. Betapapun jaksa maupun penasihat hukum biasa mempraktikkan siasat untuk meruntuhkan candor dan credibility saksi dan ahli yang berseberangan, hakim seharusnya mengambil tindakan selekasnya guna melindungi saksi dan ahli tersebut dari perlakuan-perlakuan yang bernuansa peyoratif bahkan abusive.
Langkah melindungi ahli, secara spesifik, harus dilakukan agar ia tetap bisa memberikan perspektif nonhukum kepada para penegak hukum di ruang persidangan. Ahli yang tidak lagi mampu menoleransi intimidasi yang ia alami dikhawatirkan akan terlihat dari luar sebagai sosok yang tak kredibel. Dengan begitu, sekali lagi, sesuai prinsip efisiensi kerja otak manusia, berbagai informasi dari ahli yang sesungguhnya penting bagi pengungkapan kasus justru malah disepelekan dan diabaikan semata-mata karena bahasa tubuh dan lisan ahli tidak lagi tampak meyakinkan.
Terlihat pada deskripsi di atas, proses mental jalan pintas yang rawan bias pun ternyata sangat mungkin terjadi di ruang persidangan. Para profesional di bidang hukum yang diasumsikan sebagai manusia-manusia (paling) rasional, teristimewa hakim, tetap tidak imun terhadap kerentanan proses berpikir tersebut. Dan, itu berisiko pada gagalnya masing-masing profesional tersebut memahami informasi yang saling mereka pertukarkan. Pada titik hilir, bisa dinalar, putusan yudisial yang adil akan jauh dari harapan.
Abai KEPPH?
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) memuat sejumlah butir tentang keharusan bagi hakim untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Namun, berdasarkan uraian di atas, patut didiskusikan, apakah menyelenggarakan persidangan hingga tengah malam dapat dimaklumi sebagai bentuk ketaatan hakim terhadap KEPPH? Wallahualam.
Alumnus Psikologi Forensik,
The University of Melbourne
JONATHAN Levav dari Columbia University penasaran akan sebuah pertanyaan: Kapankah waktu terbaik bagi narapidana untuk mengajukan pembebasan bersyarat? Berdasarkan studinya, Levav menyimpulkan bahwa pagi hari dan pascarehat adalah waktu yang paling jitu. Penjelasan atas simpulan tersebut sangat sederhana, yaitu gula darah.
Pagi hari (setelah sarapan) dan pascaistirahat, manusia memiliki pasokan gula darah pada kadar yang memadai. Dihubungkan ke hakim, gula darah menghasilkan energi bagi mereka untuk mencermati satu per satu berkas terkait permohonan pembebasan bersyarat yang diajukan masing-masing terpidana. Berdasarkan cermatan itulah hakim percaya diri untuk mengabulkan permohonan terpidana.
Selain waktu-waktu di atas, akibat kadar gula darah yang menurun, hakim tidak lagi cukup bertenaga untuk melakukan pengamatan dengan keseriusan setara. Akibat itu, daripada menjatuhkan putusan yang berisiko, sebagai langkah aman, hakim cenderung menolak permohonan pembebasan bersyarat narapidana.
Studi Levav pada 2011 tersebut relevan dengan persidangan untuk mengungkap penyebab tewasnya mendiang Mirna di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sejak sesi persidangan menghadirkan saksi dan ahli dari pihak penasihat hukum, persidangan bahkan berlangsung hingga tengah malam.
Kiranya tidak berlebihan untuk menyebut persidangan dengan terdakwa Jessica tersebut sebagai tantangan dahsyat terhadap kondisi manusia. Di tengah waktu kerja yang terbatas dan berbekal stamina manusia yang juga terbatas, para penegak hukum di ruang persidangan justru harus menyimak dan memproses berbagai informasi kompleks yang lalu-lalang dalam kuantitas besar. Itu semua berlangsung pada jam-jam ketika tuntutan tubuh untuk merehatkan diri sudah menjadi panggilan alam yang kodrati. Tambahan lagi, kasus tewasnya Mirna bukan satu-satunya berkas perkara yang harus ditangani baik oleh jaksa, penasihat hukum, maupun hakim pada periode waktu yang sama. Waktu dan tenaga para penegak hukum tersebut terbagi-bagi ke seluruh berkas yang menjadi tanggung jawab mereka.
Tidak bisa dikesampingkan adalah tingginya perhatian publik terhadap jalannya persidangan. Liputan media massa juga menambah masif tekanan yang menyembur ke ruang persidangan.
Beralasan untuk menduga kuat, kombinasi unsur-unsur di atas mendesak kesiapan fisik dan psikis seluruh pihak ke ambang yang sesungguhnya tidak lagi optimal bagi bekerjanya proses kognitif manusia. Dalam kondisi sedemikian rupa, sebagai bentuk adaptasi, otak manusia niscaya akan mencari cara kerja yang paling efisien. Persoalannya, efisiensi tidak serta-merta beriringan dengan akurasi. Sebaliknya, ketika efisiensi meninggi, akurasi justru menjadi tumbalnya. Manifestasinya misalnya kesulitan seluruh pihak untuk menerima rentetan informasi yang tidak linear. Padahal, sebagaimana fenomena lazim dalam dunia ilmu pengetahuan, data maupun teori bisa kontras satu sama lain. Akibat dari penolakan otak terhadap ihwal yang dianggap tidak sebangun tersebut, hakim kehilangan kesabarannya sehingga terlontarlah hardikan semisal, “Tidak ada ‘tapi’!”
Hardikan itu dilakukan hakim guna memaksa ahli untuk melinearkan substansi paparannya yang sesungguhnya rumit. Ahli bisa saja jeri (takut) menerima bentakan hakim sehingga memutuskan untuk mengiyakan kehendak hakim. Sepintas, interaksi sedemikian rupa mempertontonkan “kewibawaan” hakim dalam mengatur jalan persidangan. Hakim seakan berhasil mendorong ahli untuk lebih fokus saat mengelaborasi pemikirannya. Padahal, alih-alih membuat persoalan lebih terang-benderang, penyederhanaan berlebihan tersebut membuat sekian banyak realitas keilmuan tertutupi dan itu mempertaruhkan simpulan akhir hakim sendiri.
Begitu pula, seiring otak yang mencari mekanisme kerja paling efisien, energi yang menyusut drastis membuat kendali emosi bisa pupus. Perwujudannya antara lain adalah tindak-tanduk impulsif berupa tutur kata yang sejatinya tidak pantas meluncur dari meja para wakil Tuhan, “Kalau [racun] tidak masuk lewat mulut, memang[-nya bisa] lewat pantat?”
Manajemen sidang yang semestinya diperagakan oleh ketua majelis hakim, tak pelak, ikut mengendur. Riuh-rendah tepuk tangan maupun cemoohan dari pengunjung persidangan terabaikan. Peringatan ketua majelis hakim agar audiens tertib hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Terbukti, tak lama kemudian kegaduhan yang sama muncul kembali. Namun, karena kepekaan hakim sudah menurun, hakim pun tidak lagi merasa terganggu olehnya. Begitu terus dari waktu ke waktu.
Saksi maupun ahli tak luput terkena imbas dari manajemen sidang yang tidak lagi sepenuhnya berada dalam kendali ketua majelis hakim. Betapapun jaksa maupun penasihat hukum biasa mempraktikkan siasat untuk meruntuhkan candor dan credibility saksi dan ahli yang berseberangan, hakim seharusnya mengambil tindakan selekasnya guna melindungi saksi dan ahli tersebut dari perlakuan-perlakuan yang bernuansa peyoratif bahkan abusive.
Langkah melindungi ahli, secara spesifik, harus dilakukan agar ia tetap bisa memberikan perspektif nonhukum kepada para penegak hukum di ruang persidangan. Ahli yang tidak lagi mampu menoleransi intimidasi yang ia alami dikhawatirkan akan terlihat dari luar sebagai sosok yang tak kredibel. Dengan begitu, sekali lagi, sesuai prinsip efisiensi kerja otak manusia, berbagai informasi dari ahli yang sesungguhnya penting bagi pengungkapan kasus justru malah disepelekan dan diabaikan semata-mata karena bahasa tubuh dan lisan ahli tidak lagi tampak meyakinkan.
Terlihat pada deskripsi di atas, proses mental jalan pintas yang rawan bias pun ternyata sangat mungkin terjadi di ruang persidangan. Para profesional di bidang hukum yang diasumsikan sebagai manusia-manusia (paling) rasional, teristimewa hakim, tetap tidak imun terhadap kerentanan proses berpikir tersebut. Dan, itu berisiko pada gagalnya masing-masing profesional tersebut memahami informasi yang saling mereka pertukarkan. Pada titik hilir, bisa dinalar, putusan yudisial yang adil akan jauh dari harapan.
Abai KEPPH?
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) memuat sejumlah butir tentang keharusan bagi hakim untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Namun, berdasarkan uraian di atas, patut didiskusikan, apakah menyelenggarakan persidangan hingga tengah malam dapat dimaklumi sebagai bentuk ketaatan hakim terhadap KEPPH? Wallahualam.
(poe)