Merpati Masih Dilirik
A
A
A
PARA mantan karyawan dan karyawan PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) kumpul bareng. Apakah sebuah pertanda maskapai domestik yang pernah merajai langit di Indonesia timur bakal terbang lagi?
Ternyata jauh dari dugaan, para mantan karyawan dan karyawan maskapai yang akrab dijuluki ekor kuning diundang manajemen perseroan untuk diarahkan membuka usaha. Pertemuan yang berlangsung di kantor pusat MNA itu lebih fokus membicarakan bagaimana meraih peluang usaha melalui pembinaan dan pembiayaan yang difasilitasi PT Permodalan Nasional Madani (PMN) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI). PMN siap menyalurkan kredit dengan bunga 1,39% per bulan, sedangkan bank pelat merah BRI menawarkan kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga sekitar 9% per tahun.
Bagaimana seandainya maskapai pelat merah itu bisa terbang lagi, apakah ada opsi dari karyawan yang sudah menerima pesangon bisa bergabung kembali? Opsi untuk kembalinya karyawan sama sekali belum terbayangkan oleh pemerintah ataupun karyawan itu sendiri. Yang pasti, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tiada henti berpikir bagaimana caranya menerbangkan kembali Merpati yang “patah sayap” sejak Februari 2014.
Semangat Deputi Kementerian BUMN Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Aloysius Kiik Ro tak pernah padam untuk membuat Merpati mengangkasa lagi. Sekarang tinggal menunggu keputusan para wakil rakyat di Senayan menyalakan lampu hijau untuk membuka pintu para investor yang berminat.
Memang, opsi paling ideal bagaimana caranya Merpati bisa beroperasi kembali ketimbang melikuidasinya. Kabarnya, meski maskapai tersebut memiliki utang jauh lebih besar daripada aset, namun tetap diminati sejumlah investor asing ataupun lokal.
Selain jalur penerbangan yang potensial dihidupkan lagi juga sejumlah aset yang masih produktif, di antaranya Merpati Maintenance Facility (MMF) dan Merpati Training Centre (MTC). Saat ini PT Garuda Maintenance Facility (GMF), anak usaha dari PT Garuda Indonesia Tbk yang bergerak di bidang perawatan pesawat, sedang menjajaki untuk bermitra dengan MMF. Kalau kerja sama tersebut terwujud, pihak manajemen GMF optimistis meraih target pendapatan yang dipatok sebesar USD370 juta atau sekitar Rp4,8 triliun hingga penutupan tahun ini atau pendapatan meningkat sekitar 26% dari tahun lalu.
Manajemen GMF menilai potensi dari MMF tidak bisa dianggap kecil yang selama ini menyasar pesawat jenis turbo propeler. Jumlah pesawat yang beredar di Indonesia hampir separuhnya adalah pesawat jenis turbo propeler dengan nilai perawatan mencapai sebesar USD1 miliar.
Kapasitas bengkel pesawat di dalam negeri hanya mampu mengisi pangsa pasar tersebut sekitar 50% saja. Sementara GMF sendiri selama ini hanya menangani pesawat jenis turbo jet. Namun, soal skema kerja sama antara MMF dan GMF masih dalam penyusunan business plan. Jadi, masih ada aset Merpati yang bisa mencetak uang.
Lalu, bagaimana skema membuat Merpati mengudara lagi? Kementerian BUMN sudah menyiapkan sebuah skema privatisasi agar maskapai perintis itu bisa beroperasi kembali pada tahun depan. Meski tak gampang meyakinkan investor mengambil alih perusahaan mati, pemerintah tetap yakin bahwa ada sisi bisnis menguntungkan yang tetap bisa diraih investor dengan mengacu pada pertumbuhan penumpang penerbangan domestik yang sangat potensial.
Selain itu, aset Merpati di antaranya MMF dan MTC masih bisa menjadi kontributor peningkatan pendapatan perusahaan. Untuk menerbangkan Merpati, sikap pemerintah sudah tegas dan siap menjadi pemegang saham minoritas hingga 5% sekalipun. Saham pemerintah terdilusi 95% tak masalah, yang penting Merpati beroperasi lagi.
Masalah privatisasi sekarang bukan pada investor siap atau tidak siap membiaya Merpati. Sebelum deal dengan investor bagaimana menuntaskan prasyarat privatisasi di Komite Tim Privatisasi (KTP) dan tentu restu dari DPR. Jadi, Kementerian BUMN tak bisa asal menawarkan kepada investor sebelum ada lampu hijau dari KTP yang diamini DPR.
Kalaupun KTP dan DPR setuju melepas Merpati, pasti prosesnya akan panjang sebab dalam aturan investor asing hanya bisa menguasai 49% saham perusahaan penerbangan domestik. Tentu aturan kepemilikan saham itu tak mengecualikan Merpati, kecuali kalau pemerintah dan DPR merevisi khusus aturan tersebut demi Merpati agar mengudara lagi.
Ternyata jauh dari dugaan, para mantan karyawan dan karyawan maskapai yang akrab dijuluki ekor kuning diundang manajemen perseroan untuk diarahkan membuka usaha. Pertemuan yang berlangsung di kantor pusat MNA itu lebih fokus membicarakan bagaimana meraih peluang usaha melalui pembinaan dan pembiayaan yang difasilitasi PT Permodalan Nasional Madani (PMN) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI). PMN siap menyalurkan kredit dengan bunga 1,39% per bulan, sedangkan bank pelat merah BRI menawarkan kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga sekitar 9% per tahun.
Bagaimana seandainya maskapai pelat merah itu bisa terbang lagi, apakah ada opsi dari karyawan yang sudah menerima pesangon bisa bergabung kembali? Opsi untuk kembalinya karyawan sama sekali belum terbayangkan oleh pemerintah ataupun karyawan itu sendiri. Yang pasti, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tiada henti berpikir bagaimana caranya menerbangkan kembali Merpati yang “patah sayap” sejak Februari 2014.
Semangat Deputi Kementerian BUMN Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Aloysius Kiik Ro tak pernah padam untuk membuat Merpati mengangkasa lagi. Sekarang tinggal menunggu keputusan para wakil rakyat di Senayan menyalakan lampu hijau untuk membuka pintu para investor yang berminat.
Memang, opsi paling ideal bagaimana caranya Merpati bisa beroperasi kembali ketimbang melikuidasinya. Kabarnya, meski maskapai tersebut memiliki utang jauh lebih besar daripada aset, namun tetap diminati sejumlah investor asing ataupun lokal.
Selain jalur penerbangan yang potensial dihidupkan lagi juga sejumlah aset yang masih produktif, di antaranya Merpati Maintenance Facility (MMF) dan Merpati Training Centre (MTC). Saat ini PT Garuda Maintenance Facility (GMF), anak usaha dari PT Garuda Indonesia Tbk yang bergerak di bidang perawatan pesawat, sedang menjajaki untuk bermitra dengan MMF. Kalau kerja sama tersebut terwujud, pihak manajemen GMF optimistis meraih target pendapatan yang dipatok sebesar USD370 juta atau sekitar Rp4,8 triliun hingga penutupan tahun ini atau pendapatan meningkat sekitar 26% dari tahun lalu.
Manajemen GMF menilai potensi dari MMF tidak bisa dianggap kecil yang selama ini menyasar pesawat jenis turbo propeler. Jumlah pesawat yang beredar di Indonesia hampir separuhnya adalah pesawat jenis turbo propeler dengan nilai perawatan mencapai sebesar USD1 miliar.
Kapasitas bengkel pesawat di dalam negeri hanya mampu mengisi pangsa pasar tersebut sekitar 50% saja. Sementara GMF sendiri selama ini hanya menangani pesawat jenis turbo jet. Namun, soal skema kerja sama antara MMF dan GMF masih dalam penyusunan business plan. Jadi, masih ada aset Merpati yang bisa mencetak uang.
Lalu, bagaimana skema membuat Merpati mengudara lagi? Kementerian BUMN sudah menyiapkan sebuah skema privatisasi agar maskapai perintis itu bisa beroperasi kembali pada tahun depan. Meski tak gampang meyakinkan investor mengambil alih perusahaan mati, pemerintah tetap yakin bahwa ada sisi bisnis menguntungkan yang tetap bisa diraih investor dengan mengacu pada pertumbuhan penumpang penerbangan domestik yang sangat potensial.
Selain itu, aset Merpati di antaranya MMF dan MTC masih bisa menjadi kontributor peningkatan pendapatan perusahaan. Untuk menerbangkan Merpati, sikap pemerintah sudah tegas dan siap menjadi pemegang saham minoritas hingga 5% sekalipun. Saham pemerintah terdilusi 95% tak masalah, yang penting Merpati beroperasi lagi.
Masalah privatisasi sekarang bukan pada investor siap atau tidak siap membiaya Merpati. Sebelum deal dengan investor bagaimana menuntaskan prasyarat privatisasi di Komite Tim Privatisasi (KTP) dan tentu restu dari DPR. Jadi, Kementerian BUMN tak bisa asal menawarkan kepada investor sebelum ada lampu hijau dari KTP yang diamini DPR.
Kalaupun KTP dan DPR setuju melepas Merpati, pasti prosesnya akan panjang sebab dalam aturan investor asing hanya bisa menguasai 49% saham perusahaan penerbangan domestik. Tentu aturan kepemilikan saham itu tak mengecualikan Merpati, kecuali kalau pemerintah dan DPR merevisi khusus aturan tersebut demi Merpati agar mengudara lagi.
(poe)