Prajurit atau Preman
A
A
A
NODA hitam memercik wajah Indonesia jelang peringatan HUT ke-71 RI. Ironisnya, sang pelaku adalah oknum prajurit TNI, dalam hal ini dari TNI AU Lanud Suwondo, Medan, Sumatera Utara. Mereka merusak kebahagiaan dan kebersamaan dengan melakukan anarkisme dan kekerasan, yang selayaknya tidak pernah prajurit TNI lakukan.
Dalam insiden yang terjadi Senin (15/8), puluhan oknum TNI AU Lanud Suwondo memamerkan keberingasannya dengan menembaki dengan peluru karet, menggebuki, menendang, dan menginjak-injak warga Sari Rejo yang menolak lahannya dipatoki secara sepihak untuk pembangunan rusunawa. Akibatnya, delapan warga mengalami luka tembak dan lainnya.
Bukan hanya itu. Tiga wartawan yang tengah melakukan tugas jurnalistik Array Argus (Tribun Medan), Andri Syafrin (iNews TV ), Teguh Panjaitan (Metro TV ) juga menjadi korban. Dari ketiga wartawan tersebut, kondisi Array paling memprihatinkan. Dia dipukul beramai-ramai layaknya pencuri ayam, digebuk dengan balok kayu, dan ditendang hingga tersungkur.
Para oknum prajurit TNI AU Lanud Suwondo seperti kesetanan. Aksi yang mereka tunjukkan bisa disaksikan publik secara luas dan menjadi viral, karena aksi mereka tertangkap kamera CCTV. Selain melakukan anarkisme dan kekerasan, mereka juga memasuki masjid tanpa melepas sepatu dan ada dua prajurit menendang dan memukul sebuah kotak amal yang berada di pinggir jalan. Sungguh memalukan.
Walaupun mereka berseragam, sejatinya para oknum TNI AU Lanud Suwondo bukanlah prajurit, karena perilaku dan tindakan yang mereka tunjukkan sama sekali tidak mencerminkan jati diri mereka sebagai prajurit TNI seperti tercantum dalam UU No 34 Tahun 2004. Sebaliknya, mereka justru membuka boroknya sebagai preman berseragam. Preman yang bertindak atas naluri menang-menangan tanpa nurani dan aturan.
Jika merasa sebagai prajurit, jati diri sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional sudah merasuk dalam sanubari mereka. Tapi faktanya, mereka yang sejatinya tentara rakyat dan berasal dari rakyat justru melukai rakyat sendiri. Mereka seolah berkuasa atas rakyat sehingga bebas bertindak semena-mena.
Jika sebagai prajurit, mereka semestinya menunjukkan jati dirinya sebagai tentara profesional yang menghormati supremasi hukum. Mereka sudah sewajibnya menghargai proses hukum atas tanah sengketa yang sudah berlangsung dan dimenangkan masyarakat di tingkat Mahkamah Agung pada 1995, bukan main serobot dan patok. Sudah sewajarnya jika masyarakat bereaksi dengan melakukan perlawanan karena tanah adalah hidup dan mati mereka.
Jika prajurit, mereka semestinya memahami dan menghargai tugas jurnalistik para wartawan yang telah dilindungi hukum, dalam hal ini UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sebaliknya, para oknum prajurit tidak hanya menghambat tugas jurnalistik, tapi juga melukai para wartawan secara fisik dan mengancam membunuh. Bahkan, kekerasan terhadap wartawan beberapa tahun sebelumnya sudah pernah dilakukan oknum prajurit di kesatuan yang sama.
Anarkisme dan kekerasan oleh oknum prajurit TNI tentu harus dihentikan. Hal ini salah satunya bisa dilakukan dengan memberikan efek jera kepada oknum yang melakukan anarkisme dan kekerasan. Komandan Lanud Suwondo, Kolonel Arifien, juga harus bertanggung jawab karena mengendalikan anak buahnya. Kalangan pers meminta Panglima TNI Gatot Nurmantyo mencopotnya.
Panglima TNI juga perlu kembali membina prajurit TNI secara keseluruhan, karena faktanya jati diri TNI belum sepenuhnya mendarah daging dalam jiwa setiap prajurit TNI. Jika demikian adanya, mereka sangat rentan tersulut untuk melakukan perbuatan tindakan yang sama saat menghadapi kasus sengketa dengan masyarakat maupun berhadapan dengan media.
Di sisi lain, TNI AU juga Kementerian Pertahanan, semestinya berbesar hati karena tanah yang disengketakan sudah dimenangkan masyarakat berdasarkan Keputusan MA No: 229 K/Pdt/1991 pada tanggal 28 Mei 1995. Dengan demikian, masyarakatlah pemilih sah lahan seluas 260 hektare, yang merupakan bagian dari tanah seluas 591,3 ha yang diklaim milik Departemen Pertahanan TNI AU Lanud Medan.
Jika Kementerian Pertahanan atau TNI AU, terutama Lanud Suwondo, menghendaki tanah tersebut untuk kepentingan pertahanan, sebaiknya diselesaikan dengan kekeluargaan dan membayar ganti rugi sewajarnya. Sebaliknya, bukan dengan main serobot dan main patok.
Dalam insiden yang terjadi Senin (15/8), puluhan oknum TNI AU Lanud Suwondo memamerkan keberingasannya dengan menembaki dengan peluru karet, menggebuki, menendang, dan menginjak-injak warga Sari Rejo yang menolak lahannya dipatoki secara sepihak untuk pembangunan rusunawa. Akibatnya, delapan warga mengalami luka tembak dan lainnya.
Bukan hanya itu. Tiga wartawan yang tengah melakukan tugas jurnalistik Array Argus (Tribun Medan), Andri Syafrin (iNews TV ), Teguh Panjaitan (Metro TV ) juga menjadi korban. Dari ketiga wartawan tersebut, kondisi Array paling memprihatinkan. Dia dipukul beramai-ramai layaknya pencuri ayam, digebuk dengan balok kayu, dan ditendang hingga tersungkur.
Para oknum prajurit TNI AU Lanud Suwondo seperti kesetanan. Aksi yang mereka tunjukkan bisa disaksikan publik secara luas dan menjadi viral, karena aksi mereka tertangkap kamera CCTV. Selain melakukan anarkisme dan kekerasan, mereka juga memasuki masjid tanpa melepas sepatu dan ada dua prajurit menendang dan memukul sebuah kotak amal yang berada di pinggir jalan. Sungguh memalukan.
Walaupun mereka berseragam, sejatinya para oknum TNI AU Lanud Suwondo bukanlah prajurit, karena perilaku dan tindakan yang mereka tunjukkan sama sekali tidak mencerminkan jati diri mereka sebagai prajurit TNI seperti tercantum dalam UU No 34 Tahun 2004. Sebaliknya, mereka justru membuka boroknya sebagai preman berseragam. Preman yang bertindak atas naluri menang-menangan tanpa nurani dan aturan.
Jika merasa sebagai prajurit, jati diri sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional sudah merasuk dalam sanubari mereka. Tapi faktanya, mereka yang sejatinya tentara rakyat dan berasal dari rakyat justru melukai rakyat sendiri. Mereka seolah berkuasa atas rakyat sehingga bebas bertindak semena-mena.
Jika sebagai prajurit, mereka semestinya menunjukkan jati dirinya sebagai tentara profesional yang menghormati supremasi hukum. Mereka sudah sewajibnya menghargai proses hukum atas tanah sengketa yang sudah berlangsung dan dimenangkan masyarakat di tingkat Mahkamah Agung pada 1995, bukan main serobot dan patok. Sudah sewajarnya jika masyarakat bereaksi dengan melakukan perlawanan karena tanah adalah hidup dan mati mereka.
Jika prajurit, mereka semestinya memahami dan menghargai tugas jurnalistik para wartawan yang telah dilindungi hukum, dalam hal ini UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sebaliknya, para oknum prajurit tidak hanya menghambat tugas jurnalistik, tapi juga melukai para wartawan secara fisik dan mengancam membunuh. Bahkan, kekerasan terhadap wartawan beberapa tahun sebelumnya sudah pernah dilakukan oknum prajurit di kesatuan yang sama.
Anarkisme dan kekerasan oleh oknum prajurit TNI tentu harus dihentikan. Hal ini salah satunya bisa dilakukan dengan memberikan efek jera kepada oknum yang melakukan anarkisme dan kekerasan. Komandan Lanud Suwondo, Kolonel Arifien, juga harus bertanggung jawab karena mengendalikan anak buahnya. Kalangan pers meminta Panglima TNI Gatot Nurmantyo mencopotnya.
Panglima TNI juga perlu kembali membina prajurit TNI secara keseluruhan, karena faktanya jati diri TNI belum sepenuhnya mendarah daging dalam jiwa setiap prajurit TNI. Jika demikian adanya, mereka sangat rentan tersulut untuk melakukan perbuatan tindakan yang sama saat menghadapi kasus sengketa dengan masyarakat maupun berhadapan dengan media.
Di sisi lain, TNI AU juga Kementerian Pertahanan, semestinya berbesar hati karena tanah yang disengketakan sudah dimenangkan masyarakat berdasarkan Keputusan MA No: 229 K/Pdt/1991 pada tanggal 28 Mei 1995. Dengan demikian, masyarakatlah pemilih sah lahan seluas 260 hektare, yang merupakan bagian dari tanah seluas 591,3 ha yang diklaim milik Departemen Pertahanan TNI AU Lanud Medan.
Jika Kementerian Pertahanan atau TNI AU, terutama Lanud Suwondo, menghendaki tanah tersebut untuk kepentingan pertahanan, sebaiknya diselesaikan dengan kekeluargaan dan membayar ganti rugi sewajarnya. Sebaliknya, bukan dengan main serobot dan main patok.
(maf)