Pemotongan Anggaran Riset

Kamis, 04 Agustus 2016 - 12:50 WIB
Pemotongan Anggaran Riset
Pemotongan Anggaran Riset
A A A
Elfindri
Profesor Ekonomi SDM UNAND dan
Sekretaris Majelis Riset DPT Kemenristek Dikti

BUKANKAH Indonesia hilang dalam statistik Research and Development antarnegara, kenapa? Karena alokasi anggaran untuk aktifitas R@D Indonesia masih pada kisaran 0,09% dari Gross National Product (GNP). Masih di bawah angka 0,1%. Jalan menuju peningkatan riset dan inovasi dipercaya akan menjadi daya ungkit untuk menjadikan Indonesia memiliki daya saing pada masa yang akan datang.

Riset dan Inovasi
Riset dan inovasi mesti dipahami lebih benar, sehingga kita memiliki sikap yang sama terhadap urgensinya. Jika tidak, maka arah riset nasional menjadi tidak jelas, dan Indonesia dalam jangka panjang akan tergadai.

Coba kita ilustrasikan produk teknologi Samsung, berbagai jenis produk yang mereka hasilkan telah mampu masuk ke pasaran dunia. Kehadiran Samsung sekaligus membuat para pesaingnya minggir dari pasar. Katakan Nokia dan Blackberry, kedua produk elektronika itu sudah mulai hilang di peredaran. Mereka tidak salah, tetapi Samsung telah mampu muncul memiliki daya saing yang sangat tinggi.

Samsung sendiri telah mulai ekspansi produksinya semenjak tahun 1990 ke Amerika Serikat, Inggris dan Jerman. Lee Kun Hee, sebagai pimpinan Samsung telah melaporkan bahwa perusahaan besar ini telah mampu membuka 370.000 lapangan kerja lebih di 80 negara.

Samsung, sebagai salah satu perusahaan pun telah mampu menyumbangkan penghasilannya sebesar 17% dari GDP Korea Selatan. Sebuah hasil yang fantastik karena mereka sudah merambah ke bisnis lainnya di dunia, dan telah menggurita. Hasil demikian bukan saja datang begitu saja. Bukan diimpor teknologinya dari luar Korea Selatan. Namun kegiatan riset dan inovasi yang dilakukan secara terus menerus, secara tekun dan terarah.

Keyakinan akan riset dan inovasi tersebut membuat pemerintah Korea Selatan telah mengalokasikan anggaran R@D mereka pada kisaran 3,5% secara konsisten semenjak tahun 1980 an hingga sekarang. Jika ditarik garis scatter diagram hubungan R@D dan pertumbuhan jumlah ilmuwan dan enginering, maka posisi Indonesia terendah dan posisi Korea Selatan tertinggi. Dimana R@D secara implisit juga diperlihatkan dengan kehadiran jumlah ilmuan dan insinyur per 1 juta penduduk.

Bahkan bukti empiris lainnya, jika digunakan fungsi produksi neo-klasik, dengan total factor productivity (TFP) model, maka kendatipun Indonesia mampu tumbuh ekonominya cukup baik, peranan itu dimainkan oleh keberadaan pembentukan modal dan tenaga kerja. Peranan inovasi dan teknologi hanya seper enam, atau sekitar 16% dalam pembentukan nilai tambah barang-barang dan jasa-jasa.

Hasil perhitungan yang sama oleh Piere Van Der Eng, ekonom dari Australian National University (ANU) menemukan peranan inovasi telah berkontribusi setidaknya pada kisaran 50%, dan sisanya pembentukan modal dan tenaga kerja. Jadi besar keyakinan kita bahwa ke depan Indonesia akan tumbuh berkelanjutan jika perhatian kita arahkan kepada pengembangan riset dan inovasi. Ketika itu dilakukan secara konsisten dan benar, maka dapat diyakini Indonesia akan mampu menembus dan keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah rendah.


Pemotongan Anggaran Riset

Beberapa waktu lalu Kementerian Keuangan mengumumkan kebijakan penyesuaian APBN-Perubahan. Anggaran riset, yang alokasinya pada Kemenristek-Dikti, terkena cukup serius. Trend kenaikan anggaran harusnya menaik. Mengingat ilustrasi dari posisi R@D Indonesia masih rendah. Namun nampaknya sebaliknya. Tentunya riset dan inovasi tidak akan dapat dilakukan, ketika anggaran yang tersedia sangat tidak memadai, apalagi belum fokus.

Pemotongan itu kembali membuat arah pengembangan riset dan inovasi Indonesia untuk saat ini masih mengambang. Alias belum ada yang benar-benar memperjuangkannya dalam setiap penyusunan anggaran. Jika kenanya anggaran riset Kemenristek-Dikti, pertanyaannya kenapa tidak anggaran sektor lain yang mesti dikurangi?, misalnya anggaran sektor pertahanan dan keamanan, atau alokasi pada sektor ekonomi?.

Indonesia mesti mampu memastikan diri bahwa begitu pentingnya anggaran riset dialokasikan lebih besar dan tepat sasaran menjadi langkah yang diperlukan bagi Indonesia sendiri. Waktu Forum Rektor di Jogyakarta mengadakan pertemuan, Presiden pernah menyindir produk pengkajian, apakah yang dilakukan oleh BPPT, Perguruan Tinggi, LIPI dan Litbang-litbang kementrian. Beliau mengingatkan agar riset Indonesia benar-benar mampu terhilirkan, termanfaatkan untuk kepentingan nilai tambah.

Pertanyaannya adalah darimana kita membangun kepastian agar riset dan inovasi di Indonesia bisa kembali bangun, bangun seperti ketika Habibie dulu masuk ke pemerintahan Orde Baru? Pertama, jika ditelusuri lebih mendalam dewan riset nasional (DRN) yang dimiliki oleh Korea Selatan memiliki hubungan langsung dengan presiden Korea Selatan. Keberadaan Dewan Riset Nasional ini menjadi model institusi yang penting diwujudkan di negara kita. Saatnya desain Dewan Pendidikan Tinggi (DPT), digabung dengan Dewan Riset Nasional (DRN) menjadi satu dewan yang menjadi pilar pengembangan riset nasional. Mereka ditempatkan di bawah posisi presiden, atau setidaknya langsung dengan Kemenristek-Dikti.

Kedua, hal yang strategis adalah menformulasikan keunggulan Indonesia dan riset-riset yang dapat diprioritaskan kepada pilihan yang lebih terfokus. Selama ini tumpang tindih kegiatan riset sangatlah jelas, dan hasil yang dirasakan juga relatif tidak begitu besar. Ada benarnya.

Ketiga, jumlah para ilmuan sangat perlu diperbesar pada masa yang akan datang. Presiden Habibie sendiri bahkan sangat yakin Indonesia akan mampu bersaing secara Internasional hanya dengan pengembangan sumberdaya manusia terbarukan.

Kata-kata terbarukan adalah menganut pemaknaan yang mendalam. Selain mendorong lahirnya peneliti-peneliti, namuan ketika mereka pulang ke Indonesia, maka beri kesempatan para peneliti yang ada sekarang untuk memilih prioritas-prioritas riset pada bidang yang akan membuat Indonesia semakin unggul.

Terakhir, telahaan akan undang-undang yang mendukung proses riset dan inovasi. Refisi UU Nomor 18/2002 tengah dilakukan oleh Kemenristek Dikti. Tentunya refisinya dapat segera diselesaikan untuk diganti, yang akan mampu mengakomodasi kepastian akan masa depan riset dan inovasi.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3931 seconds (0.1#10.140)