Diusut, Curhat Freddy Budiman Beri Rp90 M kepada Pejabat Polri

Jum'at, 29 Juli 2016 - 21:22 WIB
Diusut, Curhat Freddy Budiman Beri Rp90 M kepada Pejabat Polri
Diusut, Curhat Freddy Budiman Beri Rp90 M kepada Pejabat Polri
A A A
JAKARTA - Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi Boy Rafli Amar akan menemui Koordinator Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar.

Boy akan menanyakan kepada Haris terkait pernyataannya mengenai pengakuan terpidana mati Freddy Budiman yang pernah memberi uang kepada pejabat di Mabes Polri sebesar Rp90 miliar.

"Ada janji sama beliau (Haris), kita mau tahu seperti apa. Apa benar, agar tidak jadi fitnah," kata Boy Rafli di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta, Jumat (29/7/2016).

Boy menjelaskan, dalam pertemuan nanti dirinya ingin mengetahui apakah sumber yang didapat Haris itu benar tentunya dengan didukung oleh bukti-bukti. "Kita ingin objektif, kita tuntaskan. Mudah-mudahan bisa menguak kebenaran," ujar Boy.

Cerita tentang pengakuan terpidana mati kasus narkoba Freddy Budiman soal banyaknya oknum pejabat negara dalam bisnis narkotika menjadi perhatian publik pasca eksekusi yang dilakukan Kejaksaan Agung pada Jumat 29 Juli 2016, dini hari.

Kepada Koordinator Kontras Haris Azhar, Freddy buka-bukaan soal oknum Polri, BNN, hingga Bea Cukai yang ikut menikmati gurihnya bisnis narkoba.

"Cerita itu confirm (benar) dituturkan saat 2014 lalu," kata Haris saat dihubungi Sindonews, Jumat (29/7/2016).

Pertemuan antara Haris dan Freddy di Lapas Nusakambangan terjadi pada medio 2014 lalu. Di tengah-tengah masa kampanye Pilpres 2014, Haris memperoleh undangan dari sebuah organisasi gereja yang aktif melakukan pendampingan rohani di Lapas Nusakambangan.

Melalui undangan tersebut, Haris juga berkesempatan bertemu terpidana mati lainnya, seperti John Refra alias John Kei, serta Rodrigo Gularte, terpidana mati asal Brasil yang dieksekusi pada gelombang kedua pada April 2015.

Perbincangan antara Haris dan Freddy diposting di dinding akun Facebook dan Twitter Kontras, Kamis 28 Juli 2016.

Berikut cerita Haris tentang perbincangannya dengan Freddy:

Di tengah proses persiapan eksekusi hukuman mati yang ketiga di bawah pemerintahan Joko Widodo, saya menyakini bahwa pelaksanaan ini hanya untuk ugal-ugalan popularitas. Bukan karena upaya keadilan.

Hukum yang seharusnya bisa bekerja secara komprehensif menyeluruh dalam menanggulangi kejahatan ternyata hanya mimpi.

Kasus Penyelundupan Narkoba yang dilakukan Freddy Budiman, sangat menarik disimak, dari sisi kelemahan hukum, sebagaimana yang saya sampaikan di bawah ini.

Di tengah-tengah masa kampanye Pilpres 2014 dan kesibukan saya berpartisipasi memberikan pendidikan HAM di masyarakat di masa kampanye pilpres tersebut, saya memperoleh undangan dari sebuah organisasi gereja. Lembaga ini aktif melakukan pendampingan rohani di Lapas Nusa Kambangan (NK).

Melalui undangan gereja ini, saya jadi berkesempatan bertemu dengan sejumlah narapidana dari kasus teroris, korban kasus rekayasa yang dipidana hukuman mati.

Antara lain saya bertemu dengan John Refra alias John Kei, juga Freddy Budiman, terpidana mati kasus Narkoba. Kemudian saya juga sempat bertemu Rodrigo Gularte, narapidana WN Brasil yang dieksekusi pada gelombang kedua (April 2015).

Saya patut berterima kasih pada Bapak Sitinjak, Kepala Lapas Nusa Kambangan (NK) saat itu, yang memberikan kesempatan bisa berbicara dengannya dan bertukar pikiran soal kerja-kerjanya.

Menurut saya, Pak Sitinjak sangat tegas dan disiplin dalam mengelola penjara. Bersama stafnya beliau melakukan sweeping dan pemantauan terhadap penjara dan narapidana.

Pak Sitinjak hampir setiap hari memerintahkan jajarannya melakukan sweeping kepemilikan HP dan senjata tajam. Bahkan saya melihat sendiri hasil sweeping tersebut, ditemukan banyak sekali HP dan sejumlah senjata tajam.

Tetapi malang Pak Sitinjak, di tengah kerja kerasnya membangun integritas penjara yang dipimpinnya, termasuk memasang dua kamera selama 24 jam memonitor Freddy budiman. Beliau menceritakan sendiri, beliau pernah beberapa kali diminta pejabat BNN yang sering berkunjung ke Nusakambangan, agar mencabut dua kamera yang mengawasi Freddy Budiman tersebut.

Saya mengangap ini aneh, hingga muncul pertanyaan, kenapa pihak BNN berkeberatan adanya kamera yang mengawasi Freddy Budiman? Bukankah status Freddy Budiman sebagai penjahat kelas “kakap” justru harus diawasi secara ketat? Pertanyaan saya ini terjawab oleh cerita dan kesaksian Freddy Budiman sendiri.

Menurut ibu pelayan rohani yang mengajak saya ke Nusakambangan, Freddy Budiman memang berkeinginan bertemu dan berbicara langsung dengan saya.

Pada hari itu menjelang siang, di sebuah ruangan yang diawasi oleh Pak Sitinjak, dua pelayan gereja, dan John Kei, Freddy Budiman bercerita hampir 2 jam, tentang apa yang ia alami, dan kejahatan apa yang ia lakukan.

Freddy Budiman mengatakan kurang lebih begini pada saya: “Pak Haris, saya bukan orang yang takut mati, saya siap dihukum mati karena kejahatan saya, saya tahu, risiko kejahatan yang saya lakukan. Tetapi saya juga kecewa dengan para pejabat dan penegak hukumnya. Saya bukan bandar, saya adalah operator penyeludupan narkoba skala besar, saya memiliki bos yang tidak ada di Indonesia. Dia (Boss saya) ada di Cina. Kalau saya ingin menyelundupkan narkoba, saya tentunya acarain (atur) itu, saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai dan orang-orang yang saya telpon itu semuanya nitip (menitip harga).

Menurut Pak Haris berapa harga narkoba yang saya jual di Jakarta yang pasarannya 200.000 – 300.000 itu?”

Saya menjawab 50.000.

Fredi langsung menjawab, “salah. Harganya hanya 5.000 perak keluar dari pabrik di China, makanya saya tidak pernah takut jika ada yang titip harga ke saya. Ketika saya telepon si pihak tertentu ada yang nitip Rp 10.000 per butir, ada yang titip 30.000 per butir, dan itu saya tidak pernah bilang tidak, selalu saya okekan. Kenapa Pak Haris?”

Fredy menjawab sendiri. “Karena saya bisa dapat per butir 200.000, jadi kalau hanya membagi rejeki 10.000- 30.000 ke masing-masing pihak di dalam institusi tertentu, itu tidak ada masalah. Saya hanya butuh 10 miliar, barang saya datang. Dari keuntungan penjualan, saya bisa bagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu.”

Freddy melanjutkan ceritanya. “Para polisi ini juga menunjukkan sikap main di berbagai kaki. Ketika saya bawa itu barang, saya ditangkap. Ketika saya ditangkap, barang saya disita. Tapi dari informan saya, bahan dari sitaan itu juga dijual bebas, saya jadi dipertanyakan oleh Bos saya (yang di China). Katanya udah deal sama polisi, tapi kenapa lo ditangkap? Sudah begitu kalau ditangkap kenapa barangnya beredar? Ini yang main polisi atau lo?"

Menurut Freddy, “Saya tahu pak, setiap pabrik yang bikin narkoba, punya ciri masing-masing, mulai bentuk, warna, rasa. Jadi kalau barang saya dijual, saya tahu, dan itu temukan oleh jaringan saya di lapangan.”

Freddy melanjutkan lagi. “Dan kenapa hanya saya yang dibongkar? Kemana orang-orang itu. Dalam hitungan saya selama beberapa tahun kerja menyelundupkan narkoba, saya sudah memberi uang Rp450 miliar ke BNN. Saya sudah kasih Rp90 miliar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang 2, di mana si jendral duduk di samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh barang narkoba. Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun.”

"Saya prihatin dengan pejabat yang seperti ini. Ketika saya ditangkap, saya diminta untuk mengaku dan menceritakan dimana dan siapa bandarnya, saya bilang, investor saya anak salah satu pejabat tinggi di Korea (saya kurang paham, korut apa korsel- HA), saya siap nunjukkin di mana pabriknya, dan saya pun berangkat dengan petugas BNN (tidak jelas satu atau dua orang). Kami pergi ke Cina sampai ke depan pabriknya. Lalu saya bilang kepada petugas BNN, mau ngapain lagi sekarang? Dan akhirnya mereka tidak tahu, sehingga kami pun kembali."

"Saya selalu kooperatif dengan petugas penegak hukum. Kalau ingin bongkar, ayo bongkar. Tapi kooperatif-nya saya dimanfaatkan oleh mereka. Waktu saya dikatakan kabur, sebetulnya saya bukan kabur, ketika di tahanan, saya didatangi polisi dan ditawari kabur, padahal saya tidak ingin kabur, karena dari dalam penjara pun saya bisa mengendalikan bisnis saya."

"Tapi saya tahu polisi tersebut butuh uang, jadi saya terima aja. Tapi saya bilang ke dia kalau saya tidak punya uang. Lalu polisi itu mencari pinjaman uang kira-kira Rp1 miliar dari harga yang disepakati Rp2 miliar. Lalu saya pun keluar. Ketika saya keluar, saya berikan janji setengahnya lagi yang saya bayar. Tapi beberapa hari kemudian saya ditangkap lagi. Saya paham bahwa saya ditangkap lagi, karena dari awal saya paham dia hanya akan memeras saya.”

Freddy juga mengekspresikan bahwa dia kasihan dan tidak terima jika orang-orang kecil, seperti sopir truk yang membawa kontainer narkoba yang justru dihukum, bukan si petinggi-petinggi yang melindungi.

Kemudian saya bertanya ke Freddy dimana saya bisa dapat cerita ini? Kenapa anda tidak bongkar cerita ini?

Lalu freddy menjawab: “Saya sudah cerita ke lawyer saya, kalau saya mau bongkar, ke siapa? Makanya saya penting ketemu Pak Haris, biar Pak Haris bisa menceritakan ke publik luas, saya siap dihukum mati, tapi saya prihatin dengan kondisi penegak hukum saat ini. Coba Pak Haris baca saja di pleidoi saya di pengadilan, seperti saya sampaikan di sana.”

Lalu saya pun mencari pleidoi Freddy Budiman, tetapi pledoi tersebut tidak ada di website Mahkamah Agung, yang ada hanya putusan yang tercantum di website tersebut. Dalam putusan tersebut juga tidak mencantumkan informasi yang disampaikan Freddy, yaitu adanya keterlibatan aparat negara dalam kasusnya.

Kami di Kontras mencoba mencari kontak pengacara Freddy, tetapi menariknya, dengan begitu kayanya informasi di internet, tidak ada satu pun informasi yang mencantumkan dimana dan siapa pengacara Freddy. Dan kami gagal menemui pengacara Freddy untuk mencari informasi yang disampaikan, apakah masuk ke berkas Freddy Budiman sehingga bisa kami mintakan informasi perkembangan kasus tersebut.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8412 seconds (0.1#10.140)