Jangan Matikan Hukuman Mati

Rabu, 27 Juli 2016 - 14:11 WIB
Jangan Matikan Hukuman Mati
Jangan Matikan Hukuman Mati
A A A
M Nasir Djamil
Anggota Panja Revisi KUHP DPR RI

PIDANA hukuman mati kembali menjadi kontroversi setelah Jaksa Agung menyatakan akan mengeksekusi pidana mati jilid III. Sejumlah organisasi nonpemerintah hak asasi manusia menolak dan menginginkan agar ada moratorium hukuman mati, bahkan menghapuskannya. Alasannya, selain tidak menimbulkan efek jera, proses pidana yang berjalan selama ini, mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga persidangan penuntutan dan vonis dinilai masih menjadi lorong gelap bagi pencari keadilan.

Tuntutan moratorium dan penghapusan hukuman mati juga menjadi perdebatan di Panja RKUHP DPR RI. Padahal, Putusan MK No 2-3/PUU-V/2007 tentang pengujian pidana hukuman mati dalam UU Nartotika menyatakan jenis pidana tersebut konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK tersebut harusnya dianggap final and binding, alias terakhir dan mengikat. Pertanyaannya, dapatkah Putusan MK tersebut disimpangi? Dan, lebih jauh, perlukan Indonesia menghapus hukuman mati?

Pidana Mati vs Hak Hidup
Salah satu argumentasi mendasar penolakan pidana hukuman mati adalah pidana tersebut bertentangan dengan hak untuk hidup (right to life) yang menurut rumusan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable rights). Walau demikian, Mahkamah Konstitusi dalam tafsirnya mendasarkan pada original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi.

Hal ini diperkuat pula dengan penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945. Dari situ MK melakukan penafsiran sistematis (sistematische interpretatie) bahwa hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 27, 28, 28A, sampai Pasal 28I, bahkan Pasal 29 UUD 1945, tunduk pada pembatasan hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.

Berkaitan dengan hukuman mati, MK menyebutkan ketidakmutlakkan hak untuk hidup (right to life), baik yang berwujud ketentuan-ketentuan yang membolehkan diberlakukannya pidana hukuman mati dengan pembatasan-pembatasan tertentu ataupun ketentuan-ketentuan tentang penghilangan nyawa secara absah, dapat juga ditemukan dalam sejumlah instrumen hukum internasional yang mengatur tentang atau berkait dengan hak asasi manusia di antaranya International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Protocol Additional I to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict, Protocol Additional II to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict, Rome Statute of International Criminal Court, Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (European Convention on Human Rights), American Convention on Human Rights, Protocol No. 6 to the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms Concerning the Abolition of the Death Penalty.

Sebagai contoh, ICCPR yang digunakan para pemohon untuk mendukung dalil-dalilnya tidaklah melarang negara-negara pihak (state parties) untuk memberlakukan pidana mati, tetapi ada pembatasan diberlakukan hanya terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai hukum yang berlaku saat dilakukan kejahatan tersebut (the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime.. ) [Pasal 6 ayat (2) ICCPR]. Artinya, dengan dimungkinkannya suatu negara memberlakukan pidana mati (meskipun dengan pembatasan-pembatasan), itu bukti bahwa hak untuk hidup tidaklah bersifat mutlak.

Pidana Mati vs Tujuan Pemidanaan
Pidana hukuman mati biasanya selalu dihadapkan secara vis a vis dengan tujuan pemidanaan. Salah satu tujuan pemidanaan klasik adalah teori pembalasan seperti “darah dibayar dengan darah” atau bentuk hukuman dalam bentuk penyiksaan yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukan. Karena dianggap sudah tidak manusiawi lagi, teori pembalasan ini dibuang jauh-jauh, dan digantikan dengan teori utilitarian atau kemanfaatan. Namun, apakah dalam teori utilitarian itu tidak dimungkinkan ada hukuman mati?

Dalam Naskah Akademik RKUHP disebutkan teori pembalasan atas dasar ”moral guilt” yang berorientasi ke belakang tidak memperoleh tempat lagi dalam KUHP yang akan datang. Adapun teori utilitarian yang dipergunakan dalam RKUHP akan selalu bertumpu pada tiga landasan yaitu: ”prevention, deterrence, and reform”.

”Prevention” mengandung arti menjadikan pelaku tindak pidana menjadi tidak mampu (incapacitate) untuk melakukan tindak pidana lebih lanjut. Ketidakmampuan tersebut dapat bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. "Deterrence", berkaitan dengan pengalaman dipidana, ancaman, dan contoh pemidanaan akan dapat menekan kejahatan. Sementara itu, "reform" berkaitan dengan upaya perbaikan akibat tindak pidana tersebut.

Khusus berbicara mengenai "prevention" yang membuat pelaku tindak pidana tidak mampu dalam jangka panjang adalah kemungkinan untuk diberikannya hukuman mati. Karena itu, jenis hukuman ini haruslah terhadap tindak pidana yang sangat berat dan serius.

Dari uraian baik dari aspek konstitusi, HAM, hukum internasional, dan lebih khusus pada tujuan pemidanaan, masa depan pidana hukuman mati di Indonesia (dalam RKUHP khususnya) masih relevan diperlukan dan dipertahankan. Tentu dengan pembatasan-pembatasan khususnya untuk tindak pidana berat dan serius seperti genosida, terorisme, narkotika, pembunuhan berencana dan sadis, dan lain-lain.

Sementara itu, klausul postpone system yakni eksekusi pidana mati ditunda beberapa tahun, dan apabila pelaku berkelakuan baik ketika di penjara, hukumannya berubah menjadi seumur hidup, masih harus dipertajam kajiannya. Jangan sampai postpone system ini justru menjadi celah agar setiap orang dapat lolos dari eksekusi pidana mati. Bahkan jika dikaitkan dengan "presidential pardon", Presiden punya hak prerogatif memberikan pengampunan berupa grasi, postpone system dapat saja mendegradasi wibawa hak prerogatif Presiden tersebut.

Akhirnya, mempertahankan pidana mati dalam stelsel hukum pidana Indonesia adalah selaras dengan tujuan nasional (national goals) yang merupakan garis kebijakan umum yang menjadi landasan dan sekaligus tujuan pencapaian politik hukum di Indonesia. Yang paling mendasar dapat dilihat dalam Alenia Ke-4 Pembukaan UUD 1945: "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,...".

Ini menegaskan tujuan nasional adalah "perlindungan masyarakat" (social defence) dan "kesejahteraan masyarakat" (social welfare) yang menjadi landasan dan tujuan dari setiap usaha pembaruan hukum, termasuk pembaruan hukum pidana Indonesia yang di dalamnya terdapat pidana mati.

Tentu negara juga harus memastikan bahwa aparat yang bekerja di wilayah pene-gakan hukum dan yang menjadi pengadil harus menghasilkan putusan yang memiliki akuntabilitas tinggi agar mereka yang divonis hukuman mati puas dan menerima putusan tersebut. Karena itu, integritas "Hoegeng", dan keberanian "Baharudin Lopa", serta kearifan dan keteladanan "Bismar Siregar" harus menjadi inspirasi dalam proses penegakan hukum kita. Karena itu pula, eksekusi pidana mati jilid III semestinya segera dilaksanakan agar memberikan jaminan kepastian dan keadilan serta bentuk ketegasan bangsa Indonesia tidak mematikan hukuman mati.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5608 seconds (0.1#10.140)