Predator Balita di Balik Skandal Layanan Medis

Rabu, 20 Juli 2016 - 12:55 WIB
Predator Balita di Balik...
Predator Balita di Balik Skandal Layanan Medis
A A A
Bambang Soesatyo
Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar

KASUS pemberian vaksin palsu untuk bayi di bawah lima tahun (balita) harus dilihat sebagai skandal layanan medis paling mengerikan yang pernah terjadi di negara ini.

Polri wajib menyelidiki skandal ini mulai dari awal karena pemberian vaksin palsu untuk balita yang berlangsung sejak 2003 baru terkuak pada paruh pertama 2016 ini. Ada sekumpulan predator balita di balik skandal layanan medis ini.

Hingga pekan kedua Juni 2016, Mabes Polri sudah menetapkan tiga dokter sebagai tersangka dari total puluhan tersangka. Dalam rapat dengan Komisi IX DPR, Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengungkap identitas 14 rumah sakit pengguna vaksin palsu dan delapan bidan pemberi vaksin palsu.

Jelas bahwa skandal ini patut dikategorikan mengerikan karena sebagian besar tersangka justru memiliki keahlian di bidang pelayanan kesehatan. Selama belasan tahun, para predator balita itu menyuntikkan vaksin palsu kepada ribuan balita di belasan provinsi.

Jumlah tersangka seharusnya memang terus bertambah karena pengusutan kasus ini belum tuntas. Apalagi, produksi, distribusi, dan pemberian vaksin palsu kepada balita sudah berlangsung sejak 2003.

Rentang waktu tiga belas tahun dari sebuah kejahatan yang terkoordinasi. Mengungkap peran dan keterlibatan para tersangka saja tidak cukup. Untuk kejahatan yang satu ini, penyelidikan polisi harus komprehensif.

Menurut Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri, proses pengungkapan kasus ini berawal langkah polisi mendalami laporan masyarakat tentang kematian sejumlah bayi setelah diimunisasi.

Untuk memberi gambaran kepada publik tentang dampak kejahatan ini, Bareskrim Polri layak mengungkap jumlah korban selama ini, dampak lain bagi balita yang menerima vaksin palsu, termasuk jumlah rumah sakit dan tenaga medis yang terlibat. Wilayah peredarannya bisa saja mencapai lebih dari 17 provinsi.

Presiden Joko Widodo sudah menggambarkan kasus ini sebagai kejahatan luar biasa. Maka itu, penyelidikan oleh Polri tidak boleh setengah-setengah. Kasus-kasus vaksin palsu terdahulu yang proses hukumnya tidak wajar harus dibuka kembali.

Kasus vaksin palsu pernah diungkap pada 2008 ketika Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan vaksin antitetanus serum (ATS) palsu. Kasus itu ditutup dengan alasan yang tidak jelas. Pada 2013 terungkap lagi kasus vaksin palsu dengan dua tersangka, tetapi satu tersangka bisa melarikan diri.

Pelaku yang tertangkap pun hanya dikenai hukuman denda satu Rp1 juta. Para vaksinolog melihat ada kejanggalan pada proses hukum dua kasus vaksin palsu terdahulu itu.

Antara kasus 2008, kasus 2013, hingga para tersangka kasus vaksin palsu yang dijerat dalam operasi tahun ini kemungkinan besar memiliki kaitan. Karena itu, sangat relevan jika penelusuran kasus vaksin palsu hendaknya dimulai dari temuan tahun-tahun terdahulu.

Seperti diketahui, dalam penyelidikan tahun ini, Bareskrim Polri menyita ratusan vaksin palsu jenis hepatitis B, pediacel, campak kering, polio, dan antisnake. Vaksin palsu itu diperuntukkan untuk balita.

Vaksin palsu yang dibuat predator balita itu diracik dari cairan infus dan vaksin tetanus. Proses produksi vaksin palsu pada lingkungan yang tidak steril menghadirkan risiko terkontaminasi kuman, virus, atau bakteri lain. Risiko bagi balita yang menerima vaksin palsu adalah infeksi karena tubuhnya tidak terproteksi.

Balita berusia dua bulan wajib menerima vaksin BCG. Kalau vaksin BCG palsu yang disuntikkan, si balita rentan terhadap kuman TBC. Vaksin yang lazim diberikan kepada anak-anak bermuatan bahan antigen. Bahan ini bermanfaat untuk memperkuat sistem imun atau kekebalan terhadap suatu penyakit.

Anak-anak di bawah usia lima tahun (balita) butuh bahan antigen untuk memperkuat daya tahan mereka selama masa pertumbuhan. Dengan begitu, bahan antigen untuk anak-anak harus dibuat dengan benar, mengikuti standar dan prosedur produksi yang menjadi kesepakatan universal.

Redam Kecemasan


Polri memang baru mengungkap kejahatan ini di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, hingga Banten. Segera setelah Polri dan Kementerian Kesehatan mengumumkan data dan fakta kejahatan ini, masyarakat di Jakarta dan sekitarnya panik.

Para orang tua yang menduga anak bayinya menerima vaksin palsu mendatangi semua rumah sakit yang diketahui menggunakan vaksin palsu. Entah seperti apa derajat kepanikan masyarakat jika Mabes Polri nanti mengumumkan data dan fakta kejahatan yang sama pada belasan provinsi lain.

Media massa telah melaporkan dampak pemberian vaksin palsu terhadap balita. Tetapi, penjelasan versi media massa itu rupanya tidak cukup. Di Bekasi sejumlah orang tua yang panik dan cemas nyaris melakukan tindak kekerasan terhadap pengelola rumah sakit.

Agar tindak kekerasan terhadap pengelola rumah sakit tidak tereskalasi, Kementerian Kesehatan perlu beraksi lebih sistematis memberi penjelasan kepada masyarakat tentang dampak pemberian vaksin palsu.

Janji untuk vaksin ulang kepada anak korban vaksin palsu belum cukup untuk menenangkan para orang tua. Karena keawamannya, wajar jika mereka mencemaskan masa depan kesehatan anak-anak mereka. Sementara itu, Bareskrim Mabes Polri pun diharapkan terus menyelidiki kasus ini, termasuk mendapatkan data tentang jumlah korban.

Belakangan ini ruang publik sarat dengan kisah tentang kejahatan terhadap anak di bawah umur. Setelah pengungkapan rangkaian kejahatan seksual terhadap anak, giliran kejahatan vaksin palsu yang menyasar balita.

Kejahatan seksual dilakukan oleh para predator anak karena gangguan kejiwaan atau masalah psikis. Dalam kasus vaksin palsu, pelaku kejahatan terhadap balita justru orang-orang normal dengan tingkat pendidikan yang mumpuni. Mereka tega menjadikan balita sebagai sasaran kejahatan mereka. Maka itu, mereka layak disebut predator balita.

Mereka tidak menyediakan dan memberikan vaksin gratis yang telah disediakan pemerintah. Padahal, pemerintah biasanya menyediakan sembilan jenis vaksin setiap tahun.

Kumpulan predator balita itu membohongi para orang tua dengan mengatakan bahwa vaksin gratis yang disediakan pemerintah sudah habis. Pada saat bersamaan, para oknum pelayan medis itu sebenarnya telah menyediakan vaksin palsu. Mereka kemudian menawarkan dan memaksakan pemberian vaksin palsu yang harganya lebih mahal.

Dalam konteks perlindungan anak, kejahatan ini sungguh mengerikan. Karena itu, semua yang terlibat dalam pemberian vaksin palsu harus diganjar dengan sanksi hukum yang maksimal. Tidak boleh ada toleransi sedikit pun.

Para tersangka yang berlatar belakang ahli atau pelayan medis bahkan patut diganjar dengan sanksi ekstrakeras. Kalau perlu, identitas mereka diumumkan kepada publik dan hak untuk melakukan praktik dicabut. Mabes Polri diharapkan terus mendalami kasus ini hingga tuntas. Industri farmasi pun harus proaktif mencegah kejahatan dengan modus seperti kasus vaksin palsu ini.

Masyarakat, terutama anak-anak Indonesia, harus mendapatkan perlindungan maksimal. Kebutuhan masyarakat akan layanan medis tidak boleh diselewengkan untuk menyelenggarakan bisnis ilegal.

Kasus vaksin palsu hendaknya menjadi faktor yang mengingatkan Kementerian Kesehatan RI, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta semua pihak terkait lain untuk meningkatkan efektivitas pengawasan, termasuk pengawasan terhadap rumah sakit. Vaksin palsu adalah kejahatan sangat serius yang tidak boleh terjadi lagi di kemudian hari.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0760 seconds (0.1#10.140)