Idul Fitri dan Spirit Pembebasan
A
A
A
RAMADHAN tinggal menyisakan dua hari lagi. Gegap gempita menyambut datangnya Idul Fitri pun kian terasa. Jalan-jalan utama macet dijubeli pemudik. Mal dan pasar juga makin ramai dijejali orang-orang yang ingin berlebaran dengan pakaian dan atribut serba baru.
Demikian bagi sebagian orang lain, akhir Ramadhan adalah momen yang ditunggu-tunggu karena menjadi sarana peningkatan nilai spiritualitas diri seperti dengan beritikaf, berzikir di masjid, dan sebagainya.
Tak berlebihan jika umat Islam termasuk di Indonesia begitu bersukacita menyambut Hari Kemenangan itu. Kemenangan seakan menjadi gol karena mereka yang berpuasa telah berhasil melewati ujian serta perjuangan berat menahan lapar dan dahaga dari subuh sampai sore satu bulan penuh.
Namun, sejatinya benarkan kemenangan dari orang-orang yang berpuasa (shoim ) terwujud dengan gambaran seperti itu? Saat orang-orang yang bersukacita dan bahagia berlebaran dengan baju baru, namun saat yang sama kita lihat sebagian keluarga yang lain justru tengah kebingungan tak tahu harus berteduh ke mana karena rumahnya digusur dengan penuh arogansi dan kesewenangan.
Saat yang lain tertawa menggenggam gadget atau menunggangi mobil seri terbaru saat Lebaran, namun saat yang sama kita lihat orang-orang yang tak bisa makan sekadar ketupat atau daging ayam karena harga-harga belanjaan melonjak tak keruan.
Mereka tak memiliki banyak pilihan. Bahkan mudik pun akhirnya hanya jadi impian dan tangisan. Takbir dan tahmid yang menandakan simbol kemenangan sebentar lagi akan berkumandang.
Namun, saat yang sama, masih sering kita lihat sebagian umat dengan seenaknya begitu mudah bertindak intoleran, bahkan dengan sesama saudara seagama. Ironisnya, mereka tak mendapat sanksi tegas dari aparat keamanan.
Kalau demikian, untuk apa makna kemenangan diraih kalau hanya masih menumbuhkan kezaliman, kemiskinan, penderitaan, kesengsaraan, keserakahan, kesewenangan, penyuapan, diskriminasi, dan korupsi? Patut kiranya kita perlu kembali sejenak mengurai makna puasa untuk dikorelasikan dengan hakikat kemenangan dalam kerangka kebangsaan pada Idul Fitri kali ini.
Satu bulan penuh berpuasa hakikatnya kita tak sekadar menahan makan dan minum. Puasa adalah ruang jeda, refleksi, dan tempat kita melatih jiwa dan raga untuk menjadi pribadi mulia (insan kamil).
Dengan tidak menjejali badan kita dengan makanan dan minuman sejenak, ada ruang introspeksi (muhasabah) yang kemudian diikuti cara berpikir yang tenang dan jernih.
Dengan sekali niat berpuasa, kita hakikatnya juga meneguhkan menjadi pribadi yang jujur tanpa pretensi pencitraan maupun imbal balik, kecuali hanya berharap mendapat rida dari Allah SWT.
Yang lebih penting berpuasa juga melatih kecerdasan sosial dan rasa kasih sayang terhadap sesama yang rasa-rasanya hal ini sulit muncul di luar Ramadan.
Menjadi pribadi mulia, berpikir jernih, jujur, bertindak disiplin, toleran (tasamuh ) dan menebarkan kasih sayang terhadap sesama adalah menjadi kewajiban kita sebagai makhluk di dunia (khalifatu fil ardi), tentu tak terbatas hanya pada bulan Ramadan atau dilaksanakan oleh seorang pimpinan.
Manusia yang kembali fitri (suci) pada Hari Kemenangan dan Keberuntungan ini mereka yang mau dan mampu memetakan persoalan lingkungannya dan mencarikan solusi yang terbaik demi kemaslahatan bersama.
Di sinilah kita melihat bahwa kesalehan individual dan sosial adalah hal yang harus saling mengisi dan tak bisa dipisahkan. Puasa muaranya adalah mendapatkan derajat ketakwaan komprehensif, tak sekadar ritual dan rutinitas. Tumbuhnya spirit pembebasan untuk mengikis sifat-sifat buruk individu maupun persoalan sosial kemasyarakatan adalah bagian implementasi riil makna ketakwaan.
Spirit pembebasan ini juga relevan untuk jadi pedoman para pemegang kebijakan atau kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif agar tak terus menerus saling bertentangan dan terkesan saling menjungkalkan.
Karena itu, kembali ke fitrah adalah bermakna ada kerelaan untuk bersama-sama membuka lembaran baru demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa.
Demikian bagi sebagian orang lain, akhir Ramadhan adalah momen yang ditunggu-tunggu karena menjadi sarana peningkatan nilai spiritualitas diri seperti dengan beritikaf, berzikir di masjid, dan sebagainya.
Tak berlebihan jika umat Islam termasuk di Indonesia begitu bersukacita menyambut Hari Kemenangan itu. Kemenangan seakan menjadi gol karena mereka yang berpuasa telah berhasil melewati ujian serta perjuangan berat menahan lapar dan dahaga dari subuh sampai sore satu bulan penuh.
Namun, sejatinya benarkan kemenangan dari orang-orang yang berpuasa (shoim ) terwujud dengan gambaran seperti itu? Saat orang-orang yang bersukacita dan bahagia berlebaran dengan baju baru, namun saat yang sama kita lihat sebagian keluarga yang lain justru tengah kebingungan tak tahu harus berteduh ke mana karena rumahnya digusur dengan penuh arogansi dan kesewenangan.
Saat yang lain tertawa menggenggam gadget atau menunggangi mobil seri terbaru saat Lebaran, namun saat yang sama kita lihat orang-orang yang tak bisa makan sekadar ketupat atau daging ayam karena harga-harga belanjaan melonjak tak keruan.
Mereka tak memiliki banyak pilihan. Bahkan mudik pun akhirnya hanya jadi impian dan tangisan. Takbir dan tahmid yang menandakan simbol kemenangan sebentar lagi akan berkumandang.
Namun, saat yang sama, masih sering kita lihat sebagian umat dengan seenaknya begitu mudah bertindak intoleran, bahkan dengan sesama saudara seagama. Ironisnya, mereka tak mendapat sanksi tegas dari aparat keamanan.
Kalau demikian, untuk apa makna kemenangan diraih kalau hanya masih menumbuhkan kezaliman, kemiskinan, penderitaan, kesengsaraan, keserakahan, kesewenangan, penyuapan, diskriminasi, dan korupsi? Patut kiranya kita perlu kembali sejenak mengurai makna puasa untuk dikorelasikan dengan hakikat kemenangan dalam kerangka kebangsaan pada Idul Fitri kali ini.
Satu bulan penuh berpuasa hakikatnya kita tak sekadar menahan makan dan minum. Puasa adalah ruang jeda, refleksi, dan tempat kita melatih jiwa dan raga untuk menjadi pribadi mulia (insan kamil).
Dengan tidak menjejali badan kita dengan makanan dan minuman sejenak, ada ruang introspeksi (muhasabah) yang kemudian diikuti cara berpikir yang tenang dan jernih.
Dengan sekali niat berpuasa, kita hakikatnya juga meneguhkan menjadi pribadi yang jujur tanpa pretensi pencitraan maupun imbal balik, kecuali hanya berharap mendapat rida dari Allah SWT.
Yang lebih penting berpuasa juga melatih kecerdasan sosial dan rasa kasih sayang terhadap sesama yang rasa-rasanya hal ini sulit muncul di luar Ramadan.
Menjadi pribadi mulia, berpikir jernih, jujur, bertindak disiplin, toleran (tasamuh ) dan menebarkan kasih sayang terhadap sesama adalah menjadi kewajiban kita sebagai makhluk di dunia (khalifatu fil ardi), tentu tak terbatas hanya pada bulan Ramadan atau dilaksanakan oleh seorang pimpinan.
Manusia yang kembali fitri (suci) pada Hari Kemenangan dan Keberuntungan ini mereka yang mau dan mampu memetakan persoalan lingkungannya dan mencarikan solusi yang terbaik demi kemaslahatan bersama.
Di sinilah kita melihat bahwa kesalehan individual dan sosial adalah hal yang harus saling mengisi dan tak bisa dipisahkan. Puasa muaranya adalah mendapatkan derajat ketakwaan komprehensif, tak sekadar ritual dan rutinitas. Tumbuhnya spirit pembebasan untuk mengikis sifat-sifat buruk individu maupun persoalan sosial kemasyarakatan adalah bagian implementasi riil makna ketakwaan.
Spirit pembebasan ini juga relevan untuk jadi pedoman para pemegang kebijakan atau kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif agar tak terus menerus saling bertentangan dan terkesan saling menjungkalkan.
Karena itu, kembali ke fitrah adalah bermakna ada kerelaan untuk bersama-sama membuka lembaran baru demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa.
(dam)