Puasa, Integritas, dan Gaya Hidup
A
A
A
Farid Wajdi
Komisioner Komisi Yudisial
MENURUT ajaran Islam, Ramadhan disebut sebagai penghulu segala bulan. Karena bulan ini penuh kemuliaan, hikmah, berkah, dan ampunan (maghfirah). Selain itu pula puasa bertujuan untuk membentuk manusia yang bertakwa, berilmu, bersyukur, dan cerdas (QS Al-Baqarah [2]: 183-188).
Siklus Ramadhan bagi seorang muslim merupakan bulan yang ditunggu-tunggu. Bulan yang senantiasa ditunggu karena Allah SWT membuka pintu kebaikan seluas-luasnya bagi orang yang beriman untuk meraih rahmat, ampunan, dan pembebasan dari api neraka (itqun minannaar).
Keberadaan Ramadhan sebagai bulan istimewa untuk mendapatkan predikat muttaqin (QS Al-Baqarah [2]: 183) memiliki beberapa kelebihan dibanding bulan lain. Puasa Ramadhan disebut sebagai bulan pendidikan (tarbiyah). Selain itu, pula Ramadhan adalah untuk mengukuhkan tali ukhuwah yang mungkin sempat renggang di bulan-bulan sebelumnya. Ramadhan adalah bulan untuk berbagi antarsesama manusia, apalagi berbagi dengan mereka yang kurang mampu (dhu’afa).
Keberadaan Ramadhan adalah momentum positif guna mengoreksi segala perilaku kehidupan ekonomi, sosial, dan ibadahnya. Ramadhan sepatutnya diarahkan guna meningkatkan nilai ibadah sosial (hablum-minan-nas) dan nilai-nilai religiusnya (hablum-min-allah atau tauhid). Bulan membangun solidaritas dan kesetiakawanan sosial sekaligus membangun hubungan yang lebih erat dengan Allah SWT.
Substansi paling dalam pada pelaksanaan ritual Ramadhan adalah mendidik para penganutnya agar mampu menahan diri (konsumerisme atau imsak) dari segala keinginan atau pemuasan nafsu belaka. Kemudian mau berbagi antarsesama, apalagi dengan komunitas yang begitu menunggu uluran tangan untuk dibantu.
Keistimewaan amalan puasa adalah seperti bunyi Hadis Qudsi: "Setiap amalan anak Adam (manusia) untuknya kecuali puasa, tersebab amalan puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya..." (HR Muttafaq 'Alaih). Pesan utama Hadis, yakni setiap amalan manusia adalah untuknya (manusia) sendiri kecuali puasa.
Amalan puasa, Allah SWT khususkan untuk diri-Nya. Allah SWT menyandarkan amalan tersebut untuk-Nya. Allah SWT langsung yang memberi imbalan atas perbuatan hamba-Nya itu. Ada dua sebabnya,
Pertama , karena, ketika puasa seseorang meninggalkan berbagai kesenangan dan berbagai syahwat. Hal ini tidak didapati dalam amalan lain. Kesenangan yang ditinggalkan, dan semua itu karena Allah, padahal tidak ada yang memperhatikan apa yang dia lakukan tersebut selain Allah SWT sehingga ini menunjukkan kualitas iman orang yang berpuasa.
Puasa dengan kualitas demikian menunjukkan dirinya selalu menyadari bahwa dia berada dalam pengawasan Allah SWT meskipun dia sedang sendirian.
Kedua , puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Sang Khalik. Tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Amalan puasa berasal dari niat batin yang hanya Allah SWT dan dirinya sendiri yang mengetahuinya. Puasa adalah perbuatan individual dengan dimensi vertikal (tauhid) yang sangat kuat.
Tiada yang tahu dengan pasti kualitas berpuasa seorang hamba. Orang berpuasa ibarat yang menari dengan lincah tanpa merasa sedang dilihat orang lain. Orang yang bekerja penuh ikhlas dengan harapan hasil terbaik tanpa merasa sedang diawasi majikannya.
Integritas
Integritas adalah konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan serta prinsip. Integritas diartikan pula sebagai sikap kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Termasuk pun kesediaan untuk menegakkan keadilan (QS An-nisa’ [4]: 135).
Orang yang berintegritas dipercayai karena ucapannya juga menjadi tindakannya. Berintegritas karena mulut dan hatinya tidak bertengkar. Tiada pertentangan sikap karena memiliki pendirian dan punya komitmen dalam setiap amalannya (QS Fushilat [41]: 30). Kualitas integritas terlihat pada keutuhan yang berasal paduan kejujuran dan konsistensi. (QS Al Baqarah [2]: 42). Orang yang berintegritas akan mendapat kepercayaan dari orang di sekelilingnya, komunitasnya, atau dari siapa pun yang mengenal karakternya (QS Al-Anam [6]: 82).
Pantulan integritas (Phill Pringle 2001) terlihat pada yaitu; (1) sikap tidak mementingkan diri sendiri, (2) dibangun di atas dasar disiplin, (3) kekuatan moral yang terbukti tetap benar di tengah api godaan, (4) kemampuan untuk bersabar ketika hidup ini tidak berjalan mulus, (5) tahan uji yang memerlukan perilaku yang dapat diduga, (6) kekuatan yang tetap teguh sekalipun tidak ada yang melihat, (7) menepati janji-janji, bahkan ketika merugikan Anda, (8) tetap setia kepada komitmen, bahkan ketika itu tidak nyaman, (9) tetap teguh pada nilai-nilai tertentu meskipun dirasakan lebih populer untuk mencampakkannya, (10) hidup dengan keyakinan, ketimbang dengan apa yang disukai, (11) fondasi dari kehidupan, jika integritas baik, maka kehidupan baik, begitu pun sebaliknya, dan (12) dibentuk melalui kebiasaan.
Hakikat ibadah puasa sesungguhnya adalah berkaitan dengan integritas individu dalam melakoni kehidupan sosialnya. Rahasia ibadah puasa senantiasa mengajarkan tentang makna kejujuran, kebenaran, keberanian, dan kesediaan menegakkan keadilan. Prosesi ibadah puasa adalah perwujudan integritas ibadah sosial (hablum-minan-nas) dan nilai-nilai religiusnya (hablum-min-allah atau tauhid).
Gaya Hidup
Kotler (2002) menyebut gaya hidup (lifestyle) sebagai pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan "keseluruhan diri seseorang" dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Lebih dari itu, gaya hidup yang dikenali pula dengan bagaimana orang menghabiskan waktunya (aktivitas), apa yang penting orang pertimbangkan pada lingkungan (minat), dan apa yang orang pikirkan tentang diri sendiri dan dunia di sekitarnya (opini).
Minor dan Mowen (2002) memahami gaya hidup dari perspektif perilaku yaitu menunjukkan bagaimana orang hidup, bagaimana membelanjakan uangnya, dan bagaimana mengalokasikan waktu. Dengan kata lain, gaya hidup mencerminkan keseluruhan pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan (Suratno dan Rismiati2001).
Jika dihubungkan ibadah puasa, integritas dan gaya hidup, sesungguhnya pantulan ibadah puasa dan integritas terlihat pada gaya hidup seseorang. Semakin baik ibadah puasa dan integritas seseorang, akan semakin baik pula gaya hidupnya. Gaya hidup dari pantulan nilai ibadah puasa dan perilaku yang berintegritas.
Gaya hidup orang berpuasa senantiasa termotivasi untuk berpuasa sebaik-baiknya. Gaya hidup orang berintegritas senantiasa terus merawat keikhlasan dalam menjalankan pekerjaannya. Paduan hikmah berpuasa dan berintegritas adalah gaya hidup yang memantulkan manusia bebas dan merdeka dalam menentukan pilihannya.
Senantiasa merasa perilakunya ada yang mengawasi, bukan manusia atau orang lain, tetapi integritas melalui suara hatinya. Tumbuh sikap tanggung jawab, selalu inovatif dan kreatif, karena memiliki pendirian dan punya komitmen dalam setiap perbuatannya.
Gaya hidup orang berintegritas bahkan mesti selalu menyadari, selain dirinya, orang-orang di dekatnya sekalipun tidak boleh terlibat dalam penyalahgunaan, apalagi yang berkaitan dengan jabatannya.
Komisioner Komisi Yudisial
MENURUT ajaran Islam, Ramadhan disebut sebagai penghulu segala bulan. Karena bulan ini penuh kemuliaan, hikmah, berkah, dan ampunan (maghfirah). Selain itu pula puasa bertujuan untuk membentuk manusia yang bertakwa, berilmu, bersyukur, dan cerdas (QS Al-Baqarah [2]: 183-188).
Siklus Ramadhan bagi seorang muslim merupakan bulan yang ditunggu-tunggu. Bulan yang senantiasa ditunggu karena Allah SWT membuka pintu kebaikan seluas-luasnya bagi orang yang beriman untuk meraih rahmat, ampunan, dan pembebasan dari api neraka (itqun minannaar).
Keberadaan Ramadhan sebagai bulan istimewa untuk mendapatkan predikat muttaqin (QS Al-Baqarah [2]: 183) memiliki beberapa kelebihan dibanding bulan lain. Puasa Ramadhan disebut sebagai bulan pendidikan (tarbiyah). Selain itu, pula Ramadhan adalah untuk mengukuhkan tali ukhuwah yang mungkin sempat renggang di bulan-bulan sebelumnya. Ramadhan adalah bulan untuk berbagi antarsesama manusia, apalagi berbagi dengan mereka yang kurang mampu (dhu’afa).
Keberadaan Ramadhan adalah momentum positif guna mengoreksi segala perilaku kehidupan ekonomi, sosial, dan ibadahnya. Ramadhan sepatutnya diarahkan guna meningkatkan nilai ibadah sosial (hablum-minan-nas) dan nilai-nilai religiusnya (hablum-min-allah atau tauhid). Bulan membangun solidaritas dan kesetiakawanan sosial sekaligus membangun hubungan yang lebih erat dengan Allah SWT.
Substansi paling dalam pada pelaksanaan ritual Ramadhan adalah mendidik para penganutnya agar mampu menahan diri (konsumerisme atau imsak) dari segala keinginan atau pemuasan nafsu belaka. Kemudian mau berbagi antarsesama, apalagi dengan komunitas yang begitu menunggu uluran tangan untuk dibantu.
Keistimewaan amalan puasa adalah seperti bunyi Hadis Qudsi: "Setiap amalan anak Adam (manusia) untuknya kecuali puasa, tersebab amalan puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya..." (HR Muttafaq 'Alaih). Pesan utama Hadis, yakni setiap amalan manusia adalah untuknya (manusia) sendiri kecuali puasa.
Amalan puasa, Allah SWT khususkan untuk diri-Nya. Allah SWT menyandarkan amalan tersebut untuk-Nya. Allah SWT langsung yang memberi imbalan atas perbuatan hamba-Nya itu. Ada dua sebabnya,
Pertama , karena, ketika puasa seseorang meninggalkan berbagai kesenangan dan berbagai syahwat. Hal ini tidak didapati dalam amalan lain. Kesenangan yang ditinggalkan, dan semua itu karena Allah, padahal tidak ada yang memperhatikan apa yang dia lakukan tersebut selain Allah SWT sehingga ini menunjukkan kualitas iman orang yang berpuasa.
Puasa dengan kualitas demikian menunjukkan dirinya selalu menyadari bahwa dia berada dalam pengawasan Allah SWT meskipun dia sedang sendirian.
Kedua , puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Sang Khalik. Tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Amalan puasa berasal dari niat batin yang hanya Allah SWT dan dirinya sendiri yang mengetahuinya. Puasa adalah perbuatan individual dengan dimensi vertikal (tauhid) yang sangat kuat.
Tiada yang tahu dengan pasti kualitas berpuasa seorang hamba. Orang berpuasa ibarat yang menari dengan lincah tanpa merasa sedang dilihat orang lain. Orang yang bekerja penuh ikhlas dengan harapan hasil terbaik tanpa merasa sedang diawasi majikannya.
Integritas
Integritas adalah konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan serta prinsip. Integritas diartikan pula sebagai sikap kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Termasuk pun kesediaan untuk menegakkan keadilan (QS An-nisa’ [4]: 135).
Orang yang berintegritas dipercayai karena ucapannya juga menjadi tindakannya. Berintegritas karena mulut dan hatinya tidak bertengkar. Tiada pertentangan sikap karena memiliki pendirian dan punya komitmen dalam setiap amalannya (QS Fushilat [41]: 30). Kualitas integritas terlihat pada keutuhan yang berasal paduan kejujuran dan konsistensi. (QS Al Baqarah [2]: 42). Orang yang berintegritas akan mendapat kepercayaan dari orang di sekelilingnya, komunitasnya, atau dari siapa pun yang mengenal karakternya (QS Al-Anam [6]: 82).
Pantulan integritas (Phill Pringle 2001) terlihat pada yaitu; (1) sikap tidak mementingkan diri sendiri, (2) dibangun di atas dasar disiplin, (3) kekuatan moral yang terbukti tetap benar di tengah api godaan, (4) kemampuan untuk bersabar ketika hidup ini tidak berjalan mulus, (5) tahan uji yang memerlukan perilaku yang dapat diduga, (6) kekuatan yang tetap teguh sekalipun tidak ada yang melihat, (7) menepati janji-janji, bahkan ketika merugikan Anda, (8) tetap setia kepada komitmen, bahkan ketika itu tidak nyaman, (9) tetap teguh pada nilai-nilai tertentu meskipun dirasakan lebih populer untuk mencampakkannya, (10) hidup dengan keyakinan, ketimbang dengan apa yang disukai, (11) fondasi dari kehidupan, jika integritas baik, maka kehidupan baik, begitu pun sebaliknya, dan (12) dibentuk melalui kebiasaan.
Hakikat ibadah puasa sesungguhnya adalah berkaitan dengan integritas individu dalam melakoni kehidupan sosialnya. Rahasia ibadah puasa senantiasa mengajarkan tentang makna kejujuran, kebenaran, keberanian, dan kesediaan menegakkan keadilan. Prosesi ibadah puasa adalah perwujudan integritas ibadah sosial (hablum-minan-nas) dan nilai-nilai religiusnya (hablum-min-allah atau tauhid).
Gaya Hidup
Kotler (2002) menyebut gaya hidup (lifestyle) sebagai pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan "keseluruhan diri seseorang" dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Lebih dari itu, gaya hidup yang dikenali pula dengan bagaimana orang menghabiskan waktunya (aktivitas), apa yang penting orang pertimbangkan pada lingkungan (minat), dan apa yang orang pikirkan tentang diri sendiri dan dunia di sekitarnya (opini).
Minor dan Mowen (2002) memahami gaya hidup dari perspektif perilaku yaitu menunjukkan bagaimana orang hidup, bagaimana membelanjakan uangnya, dan bagaimana mengalokasikan waktu. Dengan kata lain, gaya hidup mencerminkan keseluruhan pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan (Suratno dan Rismiati2001).
Jika dihubungkan ibadah puasa, integritas dan gaya hidup, sesungguhnya pantulan ibadah puasa dan integritas terlihat pada gaya hidup seseorang. Semakin baik ibadah puasa dan integritas seseorang, akan semakin baik pula gaya hidupnya. Gaya hidup dari pantulan nilai ibadah puasa dan perilaku yang berintegritas.
Gaya hidup orang berpuasa senantiasa termotivasi untuk berpuasa sebaik-baiknya. Gaya hidup orang berintegritas senantiasa terus merawat keikhlasan dalam menjalankan pekerjaannya. Paduan hikmah berpuasa dan berintegritas adalah gaya hidup yang memantulkan manusia bebas dan merdeka dalam menentukan pilihannya.
Senantiasa merasa perilakunya ada yang mengawasi, bukan manusia atau orang lain, tetapi integritas melalui suara hatinya. Tumbuh sikap tanggung jawab, selalu inovatif dan kreatif, karena memiliki pendirian dan punya komitmen dalam setiap perbuatannya.
Gaya hidup orang berintegritas bahkan mesti selalu menyadari, selain dirinya, orang-orang di dekatnya sekalipun tidak boleh terlibat dalam penyalahgunaan, apalagi yang berkaitan dengan jabatannya.
(dam)