Jenderal Tito: A Police of Fortune
A
A
A
M Nasir Djamil
Anggota Komisi III DPR RI
AKHIRNYA teka teki siapa calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang menggantikan Jenderal Badrodin Haiti terjawab sudah. Presiden Jokowi menunjuk Komjen Polisi Muhammad Tito Karnavian yang saat ini menjabat kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai calon kapolri.
Tentu saja banyak yang terkejut karena Tito tergolong masih junior. Maklum Tito adalah lulusan Akademi Polisi (Akpol) Angkatan 1987. Masih banyak seniornya yang berbintang tiga juga berpeluang menjadi calon kapolri. Sebut saja seperti Budi Gunawan (Akpol 83), Budi Waseso (Akpol 84), Suhardi Alius (Akpol 85), Safruddin (Akpol 85), dan Moechgiarto (Akpol 86). Seperti sudah diprediksi oleh saya, beragam komentar memenuhi halaman media massa dan media sosial. Tapi, hampir semua berkomentar positif terhadap penunjukan Tito sebagai calon kapolri.
Pertanyaannya, mengapa Presiden Jokowi berani mengabaikan para senior Tito yang sebelumnya memang ada beberapa nama yang digadang-gadang menjadi calon Kapolri. Apakah dalam pandangan Jokowi Akpol Angkatan 83, 84, 85, dan 86 tidak layak dan patut menjadi kapolri? Bukankah mengabaikan para senior akan berdampak secara psikologis bagi Tito saat memimpin Polri ke depan? Apakah Jokowi sudah memikirkan risiko saat empat generasi dilangkahi Tito?
Mampukah Tito yang masih junior tersebut menjalankan lalu lintas internal yang tentu saja masih diisi empat generasi di atas Tito. Sebab, jika gagal, kemungkinan akan kacau dan menimbulkan kegaduhan. Legawakah para seniornya terhadap keputusan Jokowi tersebut? Lalu, apa kelebihan Tito sehingga dipilih oleh Jokowi?
Bagaimana fraksi-fraksi di DPR RI menyikapi pencalonan Tito tersebut? Akankah ada penolakan atau menerima Tito secara aklamasi? Apa yang membuat Jokowi mengabaikan Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) Polri, yang tidak memasukkan Tito dalam nominasi calon kapolri?
Potong Generasi
Apa yang diputuskan Jokowi soal calon kapolri memang seperti “pendekar jurus mabuk” yang membuat para senior Tito seolah-olah tak percaya. Dalam hati mereka tentu bertanya-tanya apakah ini cara Jokowi ingin memotong generasi di tubuh korps berbaju cokelat itu? Bertahun tahun tradisi “urut kacang” dan “dilegalkan” dalam Wanjakti itu kini seperti kata pepatah “kemarau setahun hilang oleh hujan sehari”.
Ya, memotong generasi sepertinya pilihan Jokowi untuk mempercepat revolusi mental di kepolisian. Selama ini dalam berbagai forum diskusi soal potong generasi sering dilontarkan, namun sulit merealisasikannya sebab itu akan menghadapi pihak yang terganggu kepentingannya. Konsolidasi untuk mengembalikan kepercayaan rakyat kepada Polri terkadang sering diganggu oleh kepentingan politik pragmatis yang berasal dari dalam dan luar Polri. Budaya “menggilir” angkatan seperti yang berlaku selama ini oleh sebagian kalangan dinilai seperti menunggu durian runtuh.
Banyak pihak meyakini bahwa penunjukan Tito sebagai calon kapolri adalah ingin menjaga dan menegakkan meritokrasi. Miftah Toha (2016) menyebut meritokrasi sebagai kekuasaan mengangkat calon pejabat yang sesuai dengan sistem keahlian dan didasarkan atas kompetensi dan kejujuran calon. Meritokrasi ini idealnya dipergunakan secara benar sesuai kaidah kebenaran, terbuka, dan transparan. Landasan proses pengangkatan menjadi pejabat pimpinan adalah kompetensi, profesionalisme, kejujuran, dan keahlian. Calon yang tak punya landasan keahlian seperti ini berdasarkan meritokrasi tidak bisa diterima.
Ini bukan berarti para jenderal bintang tiga lain tidak memiliki keahlian dan kompetensi. Dalam berbagai pendapat yang saya utarakan, mereka sangat layak untuk menjadi orang nomor satu di Mabes Polri. Namun, yang membedakan dengan penunjukan Tito karena ia adalah yang termuda dari jenderal-jenderal bintang tiga tersebut. Inilah yang saya maksud dengan Tito sang fenomenal. Ini menjadi pembelajaran penting bahwa pangkat dan jabatan dapat diraih dengan prestasi, tidak semata senioritas belaka.
Tiga Agenda
Setidaknya ada tiga agenda penting yang kelak harus dilanjutkan oleh Tito kelak disetujui DPR menjadi kapolri dalam upaya perbaikan Polri. Pertama, melanjutkan reformasi institusi Polri yang bersih dan berwibawa. Bersih merujuk kepada “zero corruption” dari semua pelayanan yang diberikannya kepada publik. Adapun berwibawa merujuk pada kemampuan Polri melindungi dan mengayomi masyarakat. Tito harus menjawab kritikan bahwa Polri dianggap sebagai salah satu lembaga terkorup (Survey Transparency International 2013), dan menyandang lembaga yang paling banyak diadukan melakukan pelanggaran HAM baik secara aktif (by commission) maupun secara pasif (by omission) seperti yang pernah dilansir Komnas HAM saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI pada 2015.
Sejak kewenangan besar diemban oleh Polri setelah pemisahan fungsi dengan TNI, di samping menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan dalam tahap awal penegakan hukum secara umum pada tahap penyelidikan dan penyidikan, Polri berwenang penuh dalam menjaga ketertiban sosial dan perlindungan masyarakat di wilayah domestik. Pemisahan fungsi tersebut menjadikan Polri sebagai institusi di garda terdepan dalam penegakan hukum dan ketertiban sosial yang setiap saat bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat. Ada anggapan bahwa Polri lebih melindungi kaum pemodal ketimbang rakyat saat keduanya berhadap-hadapan dalam kasus-kasus pertambangan dan perkebunan.
Kedua, ancaman kejahatan yang semakin mengancam kehidupan masyarakat dan meruntuhkan sendi-sendi perekonomian negara, mulai dari kejahatan korupsi, narkoba, pembalakan hutan dan menggarap tambang secara liar, pencurian ikan di laut oleh nelayan-nelayan asing, hingga pada kejahatan umum seperti perang antarwarga dan mencuatnya aksi begal serta geng motor. Aparat Polri harus hadir untuk melindungi segenap tumpah darah masyarakat yang setiap detik menjadi sasaran penjahat. Aparat Polri juga wajib hadir di jalan-jalan untuk mengurai kesemrawutan dan kemacetan lalu lintas. Anggapan bahwa selama ini masih ada oknum-oknum Polri yang membeking pelaku kejahatan sulit terbantahkan.
Ketiga, independensi Polri. Ini terkait panjangnya agenda politik, mulai dari Pilkada Serentak 2017 dan 2018 serta Pemilu Legislatif dan Pilpres 2019. Dengan usia yang saat ini ( 51 tahun), Tito dapat menjadi kapolri termuda dan berpotensi terlama hingga 2022. Itu artinya Tito jika kelak menjadi kapolri akan melewati rentang agenda politik yang panjang dan melelahkan. Karena itu, publik harus mengingatkan Tito agar independensi Polri tidak dikotori oleh kekuatan politik praktis. Polri adalah alat negara yang berdiri di atas kepentingan bangsa dan negara, bukan alat kekuasaan yang membunuh lawan-lawan politik sang penguasa. Kecerdasan, kepintaran, keberhasilan tugas, dan cemerlangnya karier yang diraih Tito selama ini haruslah diarahkan untuk menjadikan Polri tetap objektif, transparan, adil, dan memihak kepada kebenaran.
Dalam setiap kompetisi dan kontestasi, bukan hanya kecerdasan dan keahlian yang diandalkan. Keberuntungan (fortune) juga menjadi bagian yang tak terpisahkan. Karena itu, setiap kali usaha kita gagal meskipun sudah mengerahkan semua keunggulan, orang lalu mengatakan bahwa “Dewi Fortuna” belum memihak kita. Sekali lagi, Tito adalah seorang polisi yang beruntung karena terpilih menjadi calon kapolri. Kini semuanya berpulang kepada Tito, apakah dia akan membawa institusi Polri beruntung dalam arti mewujudkan hal yang mampu membuat Polri kembali dipercaya oleh masyarakat atau justru menjadi buntung alias dipandang sebelah mata oleh masyarakat dan pelaku kejahatan. Selamat untuk Tito. We hope You are a police of fortune.
Anggota Komisi III DPR RI
AKHIRNYA teka teki siapa calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang menggantikan Jenderal Badrodin Haiti terjawab sudah. Presiden Jokowi menunjuk Komjen Polisi Muhammad Tito Karnavian yang saat ini menjabat kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai calon kapolri.
Tentu saja banyak yang terkejut karena Tito tergolong masih junior. Maklum Tito adalah lulusan Akademi Polisi (Akpol) Angkatan 1987. Masih banyak seniornya yang berbintang tiga juga berpeluang menjadi calon kapolri. Sebut saja seperti Budi Gunawan (Akpol 83), Budi Waseso (Akpol 84), Suhardi Alius (Akpol 85), Safruddin (Akpol 85), dan Moechgiarto (Akpol 86). Seperti sudah diprediksi oleh saya, beragam komentar memenuhi halaman media massa dan media sosial. Tapi, hampir semua berkomentar positif terhadap penunjukan Tito sebagai calon kapolri.
Pertanyaannya, mengapa Presiden Jokowi berani mengabaikan para senior Tito yang sebelumnya memang ada beberapa nama yang digadang-gadang menjadi calon Kapolri. Apakah dalam pandangan Jokowi Akpol Angkatan 83, 84, 85, dan 86 tidak layak dan patut menjadi kapolri? Bukankah mengabaikan para senior akan berdampak secara psikologis bagi Tito saat memimpin Polri ke depan? Apakah Jokowi sudah memikirkan risiko saat empat generasi dilangkahi Tito?
Mampukah Tito yang masih junior tersebut menjalankan lalu lintas internal yang tentu saja masih diisi empat generasi di atas Tito. Sebab, jika gagal, kemungkinan akan kacau dan menimbulkan kegaduhan. Legawakah para seniornya terhadap keputusan Jokowi tersebut? Lalu, apa kelebihan Tito sehingga dipilih oleh Jokowi?
Bagaimana fraksi-fraksi di DPR RI menyikapi pencalonan Tito tersebut? Akankah ada penolakan atau menerima Tito secara aklamasi? Apa yang membuat Jokowi mengabaikan Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) Polri, yang tidak memasukkan Tito dalam nominasi calon kapolri?
Potong Generasi
Apa yang diputuskan Jokowi soal calon kapolri memang seperti “pendekar jurus mabuk” yang membuat para senior Tito seolah-olah tak percaya. Dalam hati mereka tentu bertanya-tanya apakah ini cara Jokowi ingin memotong generasi di tubuh korps berbaju cokelat itu? Bertahun tahun tradisi “urut kacang” dan “dilegalkan” dalam Wanjakti itu kini seperti kata pepatah “kemarau setahun hilang oleh hujan sehari”.
Ya, memotong generasi sepertinya pilihan Jokowi untuk mempercepat revolusi mental di kepolisian. Selama ini dalam berbagai forum diskusi soal potong generasi sering dilontarkan, namun sulit merealisasikannya sebab itu akan menghadapi pihak yang terganggu kepentingannya. Konsolidasi untuk mengembalikan kepercayaan rakyat kepada Polri terkadang sering diganggu oleh kepentingan politik pragmatis yang berasal dari dalam dan luar Polri. Budaya “menggilir” angkatan seperti yang berlaku selama ini oleh sebagian kalangan dinilai seperti menunggu durian runtuh.
Banyak pihak meyakini bahwa penunjukan Tito sebagai calon kapolri adalah ingin menjaga dan menegakkan meritokrasi. Miftah Toha (2016) menyebut meritokrasi sebagai kekuasaan mengangkat calon pejabat yang sesuai dengan sistem keahlian dan didasarkan atas kompetensi dan kejujuran calon. Meritokrasi ini idealnya dipergunakan secara benar sesuai kaidah kebenaran, terbuka, dan transparan. Landasan proses pengangkatan menjadi pejabat pimpinan adalah kompetensi, profesionalisme, kejujuran, dan keahlian. Calon yang tak punya landasan keahlian seperti ini berdasarkan meritokrasi tidak bisa diterima.
Ini bukan berarti para jenderal bintang tiga lain tidak memiliki keahlian dan kompetensi. Dalam berbagai pendapat yang saya utarakan, mereka sangat layak untuk menjadi orang nomor satu di Mabes Polri. Namun, yang membedakan dengan penunjukan Tito karena ia adalah yang termuda dari jenderal-jenderal bintang tiga tersebut. Inilah yang saya maksud dengan Tito sang fenomenal. Ini menjadi pembelajaran penting bahwa pangkat dan jabatan dapat diraih dengan prestasi, tidak semata senioritas belaka.
Tiga Agenda
Setidaknya ada tiga agenda penting yang kelak harus dilanjutkan oleh Tito kelak disetujui DPR menjadi kapolri dalam upaya perbaikan Polri. Pertama, melanjutkan reformasi institusi Polri yang bersih dan berwibawa. Bersih merujuk kepada “zero corruption” dari semua pelayanan yang diberikannya kepada publik. Adapun berwibawa merujuk pada kemampuan Polri melindungi dan mengayomi masyarakat. Tito harus menjawab kritikan bahwa Polri dianggap sebagai salah satu lembaga terkorup (Survey Transparency International 2013), dan menyandang lembaga yang paling banyak diadukan melakukan pelanggaran HAM baik secara aktif (by commission) maupun secara pasif (by omission) seperti yang pernah dilansir Komnas HAM saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI pada 2015.
Sejak kewenangan besar diemban oleh Polri setelah pemisahan fungsi dengan TNI, di samping menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan dalam tahap awal penegakan hukum secara umum pada tahap penyelidikan dan penyidikan, Polri berwenang penuh dalam menjaga ketertiban sosial dan perlindungan masyarakat di wilayah domestik. Pemisahan fungsi tersebut menjadikan Polri sebagai institusi di garda terdepan dalam penegakan hukum dan ketertiban sosial yang setiap saat bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat. Ada anggapan bahwa Polri lebih melindungi kaum pemodal ketimbang rakyat saat keduanya berhadap-hadapan dalam kasus-kasus pertambangan dan perkebunan.
Kedua, ancaman kejahatan yang semakin mengancam kehidupan masyarakat dan meruntuhkan sendi-sendi perekonomian negara, mulai dari kejahatan korupsi, narkoba, pembalakan hutan dan menggarap tambang secara liar, pencurian ikan di laut oleh nelayan-nelayan asing, hingga pada kejahatan umum seperti perang antarwarga dan mencuatnya aksi begal serta geng motor. Aparat Polri harus hadir untuk melindungi segenap tumpah darah masyarakat yang setiap detik menjadi sasaran penjahat. Aparat Polri juga wajib hadir di jalan-jalan untuk mengurai kesemrawutan dan kemacetan lalu lintas. Anggapan bahwa selama ini masih ada oknum-oknum Polri yang membeking pelaku kejahatan sulit terbantahkan.
Ketiga, independensi Polri. Ini terkait panjangnya agenda politik, mulai dari Pilkada Serentak 2017 dan 2018 serta Pemilu Legislatif dan Pilpres 2019. Dengan usia yang saat ini ( 51 tahun), Tito dapat menjadi kapolri termuda dan berpotensi terlama hingga 2022. Itu artinya Tito jika kelak menjadi kapolri akan melewati rentang agenda politik yang panjang dan melelahkan. Karena itu, publik harus mengingatkan Tito agar independensi Polri tidak dikotori oleh kekuatan politik praktis. Polri adalah alat negara yang berdiri di atas kepentingan bangsa dan negara, bukan alat kekuasaan yang membunuh lawan-lawan politik sang penguasa. Kecerdasan, kepintaran, keberhasilan tugas, dan cemerlangnya karier yang diraih Tito selama ini haruslah diarahkan untuk menjadikan Polri tetap objektif, transparan, adil, dan memihak kepada kebenaran.
Dalam setiap kompetisi dan kontestasi, bukan hanya kecerdasan dan keahlian yang diandalkan. Keberuntungan (fortune) juga menjadi bagian yang tak terpisahkan. Karena itu, setiap kali usaha kita gagal meskipun sudah mengerahkan semua keunggulan, orang lalu mengatakan bahwa “Dewi Fortuna” belum memihak kita. Sekali lagi, Tito adalah seorang polisi yang beruntung karena terpilih menjadi calon kapolri. Kini semuanya berpulang kepada Tito, apakah dia akan membawa institusi Polri beruntung dalam arti mewujudkan hal yang mampu membuat Polri kembali dipercaya oleh masyarakat atau justru menjadi buntung alias dipandang sebelah mata oleh masyarakat dan pelaku kejahatan. Selamat untuk Tito. We hope You are a police of fortune.
(kur)