Reformasi Birokrasi Polri Wujud Paradigma Baru
A
A
A
Kompol Raden Muhammad Jauhari, SH, SIK, MSi
Perwira Siswa Sespimmen Dikreg 56 Tahun 2016
BERGULIRNYA era globalisasi yang ditandai munculnya persaingan ketat di berbagai bidang, mensyaratkan Indonesia untuk menata kembali sistem birokrasi yang selama ini dipergunakan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pemikiran demikian, semata-mata dilatarbelakangi masih berkembangnya pola birokrasi yang cenderung inefisien, menyalahgunakan wewenang, kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Bahkan dalam keadaan tertentu, birokrasi sering dijadikan sebagai wahana untuk mempertahankan status quo dan kekuasaan yang monopolistik, sehingga prinsip-prinsip birokrasi ideal yang bercirikan pemberdayaan, pelayanan, transparansi dan akuntabilitas, partisipasi, serta kemitraan, sama sekali diabaikan.
Buruknya model birokrasi di Indonesia tampaknya bukan hanya menjadi sorotan masyarakat Indonesia. Namun sudah menjadi catatan tersendiri bagi lembaga internasional, satu di antaranya dari bank dunia yang pada tahun 2012 melakukan survei terhadap kualitas birokrasi Indonesia dan menempatkannya pada peringkat 128 dari 167 negara. Indikator penilaian bank dunia ini dilihat dari kualitas birokrasi di Indonesia yang masih belum efisien dilihat dari buruknya pelayanan publik dan banyak korupsi.
Secara kasat mata kita semua sudah mengetahui bahwa pelayanan birokrat di Indonesia jauh dari kesan profesional, untuk tidak mengatakan sangat buruk. Birokrat muncul layaknya raja-raja kecil yang harus selalu memperoleh berbagai keistimewaan, sehingga tanpa sadar telah melupakan filosofi dasar seorang birokrat yakni mereka sesungguhnya adalah pelayan masyarakat. Tidak aneh apabila dalam lingkungan birokrasi Indonesia muncul anekdot, “Kalau bisa diperlama mengapa harus dipercepat”, untuk menggambarkan model pelayanan birokrat yang tidak berlandaskan pada pelayanan dan kepuasan masyarakat (costumer satisfactory).
Padahal, peranan birokrasi dalam suatu negara sebenarnya sangat baik, yaitu berkedudukan sebagai instrumen penyeimbang mekanisme pasar. Peran birokrasi seharusnya bisa dioptimalkan untuk mendayagunakan segala potensi yang dimiliki bagi sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.
Menindaklanjuti kondisi birokrasi Indonesia yang demikian buruk, Bappenas dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah merancang konsep untuk memperbaiki kualitas birokrasi yang tercantum dalam Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Konsep RPJMN yang telah disusun adalah RPJMN 2010-2014 berfokus pada perbaikan pelayanan publik, RPJMN 2014-2019 fokus pada kualitas aparatur sipil negara, serta RPJMN 2019-2025 fokus pada good governance. Kinerja birokrasi pemerintah Indonesia memang masih belum efisien.
Hal ini antara lain disebabkan oleh ukuran birokrasi yang masih relatif besar, susunan organisasi pemerintah yang masih belum sepenuhnya mengacu pada kebutuhan, pembagian tugas antar instansi/unit yang kurang jelas, aparat kurang profesional, prosedur standar yang belum tersedia secara baku serta sistem pengawasan yang masih belum efektif (Hardijanto, 2002 : 89).
Akibatnya, pada saat masyarakat meminta pelayanan kepada masyarakat, muncul kondisi-kondisi sebagai berikut; prosedur yang sangat panjang dan bertele-tele; waktu yang dibutuhkan untuk memulai suatu bisnis relatif lama karena waktu banyak terbuang untuk “bernegosiasi”, khususnya dengan pejabat-pejabat pemerintah; beragam pungutan liar dilakukan pada saat meminta pelayanan. Apabila tidak disertai “uang terimakasih” jangan harap urusan selesai dengan cepat; tidak transparan dalam memberikan pelayanan. Padahal, melalui transparansi (keterbukaan), pengawasan akan mudah dilakukan baik oleh institusi maupun masyarakat.
Selanjutnya, tidak pasti (uncertainty), artinya pelayanan yang diberikan tidak memiliki kepastian, baik jangka waktu, mekanisme, biaya, maupun petugas yang akan menanganinya. Birokrasi yang belum optimal tentu akan memiliki dampak negatif, tidak saja pada lemahnya daya saing Indonesia dalam komunitas internasional, namun yang lebih memprihatinkan, kondisi ini seakan perlambang ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan iklim yang kondusif bagi beragam aktivitas warga negaranya, yang pada akhirnya bermuara pada semakin terpuruknya Indonesia diberbagai aspek.
Belum optimalnya iklim birokrasi sebagaimana diuraikan di atas, terjadi pula di tubuh institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), sebagai institusi yang di dalamnya melekat tugas dan tanggung jawab sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Tidak aneh apabila pada saat masyarakat meminta layanan kepolisian (dalam arti luas), bermunculan komentar sumbang seperti diskriminatif, arogan, lambat merespon, minta dilayani, berorientasi materi, dan sebagainya.
Ironisnya, komentar yang serupa keluar pula dari mulut anggota Polri pada saat berhadapan dengan instusi di atasnya (atasan), seperti pada saat mengajukan pencairan anggaran, permohonan mengikuti pendidikan, promosi, mutasi dan sebagainya. Dari beragam faktor yang memengaruhi belum optimalnya birokrasi di lingkungan internal Polri, saya berpendapat aspek kepemimpinan (SDM) Polri memberikan andil yang tidak sedikit, sehingga komentar miring terhadap kinerja Polri, baik individu maupun lembaga, terus menerus mengalir.
Kepemimpinan Polri yang diharapkan menjadi faktor penggerak terwujudnya efisiensi dan efektivitas organisasi serta kepuasan masyarakat, justru sebaliknya menjadi faktor penghambat. Sekalipun demikian saya tidak menafikan faktor lain yang juga memberikan kontribusi terhadap buruknya birokrasi di tubuh institusi Polri, seperti lingkungan kerja, anggaran, sarana prasarana pendukung, tidak terkecuali gaji yang belum seimbang dengan beban kerja.
Faktor kepemimpinan memang memiliki kedudukan yang sangat strategis bagi keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ketergantungan organisasi kepada unsur manusia bukannya menjadi semakin bertambah sedikit melainkan sebaliknya bertambah besar.
Hanya saja, terjadi perubahan terhadap kualitas manusia yang dibutuhkan. Semula yang dibutuhkan adalah orang yang kuat sehingga dapat bekerja keras berdasarkan kekuatan ototnya (musclepower), sekarang yang dibutuhkan adalah orang yang bekerja cerdas (brainware).
Menurut Sondang P Siagian (1980, 97), kepemimpinan adalah suatu kegiatan untuk memengaruhi perilaku orang-orang agar bekerja sama menuju kepada suatu tujuan tertentu yang mereka inginkan bersama. Sedangkan Filley dan House, sebagaimana dikutip oleh Syafuan Rozi (2000) berpendapat: Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi kegiatan kelompok, menuju kearah penentuan tujuan dan mencapai tujuan, artinya kepemimpinan merupakan jantungnya organisasi, sehingga pada saat kepemimpinan dalam suatu organisasi tidak berjalan dengan baik maka cepat atau lambat organisasi akan mati.
Melalui kepemimpinan seorang pemimpin mengubah tindakan atau perilaku beberapa anggota kelompok atau bawahan, sehingga bawahan menerima pengaruh dari pemimpin karena pemimpinnya mempunyai kepribadian dan kemampuan untuk memimpin sehingga disukai dan dihormati, bukan hanya karena para pemimpin tersebut mempunyai posisi memegang jabatan dan kekuasaan secara formal.
Menurut Sastrodiningrat (1999, 19-20), ada beberapa faedah yang dapat diperoleh apabila organisasi menerapkan kepemimpinan yang efektif, yaitu: menutupi kekuranglengkapan dan tidak sempurnanya pola organisasi. Dunia terlalu beraneka ragam, tidak mungkin organisasi merumuskan segala sesuatu secara lengkap sempurna.
Oleh karena itu, pemimpin berfungsi untuk mengisi kekurangan-kekurangan tersebut. Kemudian, mengatur perubahan yang terus menerus mengenai kondisi lingkungan. Manusia ingin menyesuaikan terhadap setiap perubahan yang terjadi dan dorongan tersebut menimbulkan kebutuhan untuk menguasai segala sumber agar dapat mengatasi keadaan baru. Maka diperlukan seorang pemimpin.
Menyempurnakan dinamika intern organisasi. Oleh karena organisasi selalu tumbuh berubah dan berkembang, maka perlu ada penyempurnaan susunan, kebijaksanaan, koordinasi, dan sebagainya. Selanjutnya, menentukan pengisian para pegawai yang selalu berubah. Mereka keluar masuk, cuti, absen, dan sebagainya. Pemimpin terlibat pada urusan kemanusiaan yang selalu timbul dalam organisasi.
Di lingkungan internal Polri, sosok pemimpin yang di dalamnya melekat karakter kepemimpinan ideal sehingga mampu mengarahkan semua sumber daya yang dimilikinya guna terwujudnya reformasi birokrasi, tidak dapat ditunda-tunda lagi kehadirannya. Membiarkan institusi Polri ditempati pemimpin dengan kualitas kepemimpinan yang jauh dari memadai, sama halnya membiarkan Polri sebagai organisasi bermasalah, dimana keluhan, cacian dan umpatan akan selalu membayangi kiprahnya.
Reformasi Birokrasi Polri
Reformasi birokrasi di tubuh Polri sangat diperlukan tidak saja dalam rangka mewujudkan tantangan pemerintahan yang baik dan bersih (Good and Clean Governance), namun yang tidak kalah pentingnya adalah salah satu upaya mewujudkan kepercayaan masyarakat, sebagaimana dengan tegas dinyatakan dalam Rencana Strategis Kepolisian Negara Republik Indonesia (Renstra Polri 2010-2014) BAB II angka 4 a yaitu: Tercapainya kepercayaan masyarakat terhadap Polri dalam bentuk kepuasan masyarakat atas perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat.
Oleh karena itu, seiring bergulirnya beragam tuntutan masyarakat kepada Polri agar Polri mampu menampilkan sosok profesional, maka reformasi birokrasi Polri hendaknya dipandang sebagai jembatan menuju terwujudnya cita-cita luhur tersebut. Berbicara mengenai reformasi birokrasi di tubuh Polri tentunya tidak dapat dipisahkan dari beragam aspek yang mempengaruhinya, di antaranya: pekerjaan dengan keahlian, artinya dalam setiap pelaksanaan tugas, baik sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, setiap anggota Polri dituntut melaksanakannya berdasarkan pada keahlian yang melekat pada dirinya agar diperoleh hasil kerja yang berkualitas.
Kedua, inovatif dan selalu ingin berkembang. Ditengah-tangah beragam masalah sosial kemasyarakatan yang semakin kompleks, kemampuan berinovasi menjadi prasyarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap anggota Polri. Kemampuan berinovatif hanya dapat diperoleh apabila didukung oleh kemampuan dan keterampilan yang memadai.
Ketiga, mengandalkan team work. Dalam sebuah organisasi modern, seperti halnya organisasi Polri, pola kerja mandiri atau sekedar mengandalkan pribadi-pribadi tertentu dalam menyelesaikan tugas kepolisian harus segera ditinggalkan. Kemampuan individu memiliki keterbatasan sementara beban kerja semakin meningkat. Oleh karena itu, kerja secara kelompok merupakan solusinya.
Keempat, hubungan antara Polri dan masyarakat setara. Membangun kemitraan (partnership building) dengan masyarakat harus selalu diupayakan dalam setiap pelaksanaan tugas pokok Polri, khususnya ditengah-tengah beragam keterbatasan yang dimiliki oleh Polri. Polri tidak boleh lagi menempatkan masyarakat sebagai bawahan (sub ordinasi) agar terjalin interaksi yang harmonis di antara keduanya.
Terakhir, implementasi prinsip-prinsip efisiensi, transparansi, efektivitas dan keadilan. Guna menjawab tuntutan masyarakat akan penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan berwibawa, penerapan prinsip efisiensi, transparansi, efektifitas dan keadilan harus senantiasa dinternalisasikan dalam tubuh Polri.
Mewujudkan Reformasi Birokrasi
Kepemimpinan lahir sebagai suatu konsekuensi logis dari perilaku dan budaya manusia yang terlahir sebagai individu yang memiliki ketergantungan sosial (zoon politicon) yang sangat tinggi dalam memenuhi berbagai kebutuhannya (homo sapiens). Dalam upaya memenuhi kebutuhannya tersebut manusia kemudian menyusun organisasi dari yang terkecil sampai yang terbesar sebagai media pemenuhan kebutuhan serta menjaga berbagai kepentingannya.
Bermula dari hanya sebuah kelompok, berkembang hingga menjadi suatu bangsa. Dalam konteks inilah, sebagaimana dikatakan Plato dalam filsafat negara, lahir istilah kontrak sosial dan pemimpin atau kepemimpinan. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, faktor kepemimpinan memegang peranan penting dalam mengupayakan terwujudnya reformasi birokrasi di tubuh Polri, sehingga ke arah mana masa depan organisasi Polri akan dibawa sangat tergantung pada pola kepemimpinan Polri yang diterapkan. Hal ini dapat diraih melalui: dibangunnya birokrasi yang berkultur dan struktur organisasi yang rasional dan egaliter, bukan irasional; hindari penggunaan budaya minta petunjuk dari atasan.
Kemudian, perlu dibiasakan mencari cara-cara baru yang praktis untuk memberikan pelayanan kepada publik. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat harus memposisikan sebagai pelayan masyarakat dengan tetap mengacu pada penerapan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas;
Rekruitmen sumber daya manusia dilakukan secara transparan dan fair, misalnya melalui fit and proper test, bukan mengangkat karyawan atau pimpinan atas dasar kolusi dan nepotisme, guna menghasilkan birokrat yang professional.
Training harus berorientasi kepada peningkatan kemampuan sumber daya manusia. Bukan training yang sifatnya hanya menghabiskan anggaran pendapatan dan belanja negara. Memberikan penghargaan dan imbalan gaji berdasarkan pencapaian prestasi atau bobot kerja yang dihasilkan (reward merit system) bukan hubungan kerja yang kolutif, tidak mendidik, tidak fair dan diskriminatif.
Melakukan pemantauan, pengawasan, dan evaluasi kinerja terhadap semua personil yang dilakukan secara bertahap, konsisten, dan berkelanjutan. Reformasi birokrasi hanya dapat terwujud di tubuh Polri apabila Polri diawaki oleh sumber daya manusia dengan kepemimpinan yang ideal sehingga mampu mengorganisir semua sumber daya yang ada.
Membiarkan Polri berjalan tanpa didukung kepemimpinan ideal sama halnya membiarkan masalah bertumpuk di tubuh Polri. Oleh karena itu, memperbaiki aspek kepemimpinan Polri jauh lebih penting daripada mereformasi struktur, sistem dan kelembagaan birokrasi, sebagaimana pepatah menyebutkan yang terpenting adalah the man behind the gun.
Perwira Siswa Sespimmen Dikreg 56 Tahun 2016
BERGULIRNYA era globalisasi yang ditandai munculnya persaingan ketat di berbagai bidang, mensyaratkan Indonesia untuk menata kembali sistem birokrasi yang selama ini dipergunakan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pemikiran demikian, semata-mata dilatarbelakangi masih berkembangnya pola birokrasi yang cenderung inefisien, menyalahgunakan wewenang, kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Bahkan dalam keadaan tertentu, birokrasi sering dijadikan sebagai wahana untuk mempertahankan status quo dan kekuasaan yang monopolistik, sehingga prinsip-prinsip birokrasi ideal yang bercirikan pemberdayaan, pelayanan, transparansi dan akuntabilitas, partisipasi, serta kemitraan, sama sekali diabaikan.
Buruknya model birokrasi di Indonesia tampaknya bukan hanya menjadi sorotan masyarakat Indonesia. Namun sudah menjadi catatan tersendiri bagi lembaga internasional, satu di antaranya dari bank dunia yang pada tahun 2012 melakukan survei terhadap kualitas birokrasi Indonesia dan menempatkannya pada peringkat 128 dari 167 negara. Indikator penilaian bank dunia ini dilihat dari kualitas birokrasi di Indonesia yang masih belum efisien dilihat dari buruknya pelayanan publik dan banyak korupsi.
Secara kasat mata kita semua sudah mengetahui bahwa pelayanan birokrat di Indonesia jauh dari kesan profesional, untuk tidak mengatakan sangat buruk. Birokrat muncul layaknya raja-raja kecil yang harus selalu memperoleh berbagai keistimewaan, sehingga tanpa sadar telah melupakan filosofi dasar seorang birokrat yakni mereka sesungguhnya adalah pelayan masyarakat. Tidak aneh apabila dalam lingkungan birokrasi Indonesia muncul anekdot, “Kalau bisa diperlama mengapa harus dipercepat”, untuk menggambarkan model pelayanan birokrat yang tidak berlandaskan pada pelayanan dan kepuasan masyarakat (costumer satisfactory).
Padahal, peranan birokrasi dalam suatu negara sebenarnya sangat baik, yaitu berkedudukan sebagai instrumen penyeimbang mekanisme pasar. Peran birokrasi seharusnya bisa dioptimalkan untuk mendayagunakan segala potensi yang dimiliki bagi sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.
Menindaklanjuti kondisi birokrasi Indonesia yang demikian buruk, Bappenas dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah merancang konsep untuk memperbaiki kualitas birokrasi yang tercantum dalam Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Konsep RPJMN yang telah disusun adalah RPJMN 2010-2014 berfokus pada perbaikan pelayanan publik, RPJMN 2014-2019 fokus pada kualitas aparatur sipil negara, serta RPJMN 2019-2025 fokus pada good governance. Kinerja birokrasi pemerintah Indonesia memang masih belum efisien.
Hal ini antara lain disebabkan oleh ukuran birokrasi yang masih relatif besar, susunan organisasi pemerintah yang masih belum sepenuhnya mengacu pada kebutuhan, pembagian tugas antar instansi/unit yang kurang jelas, aparat kurang profesional, prosedur standar yang belum tersedia secara baku serta sistem pengawasan yang masih belum efektif (Hardijanto, 2002 : 89).
Akibatnya, pada saat masyarakat meminta pelayanan kepada masyarakat, muncul kondisi-kondisi sebagai berikut; prosedur yang sangat panjang dan bertele-tele; waktu yang dibutuhkan untuk memulai suatu bisnis relatif lama karena waktu banyak terbuang untuk “bernegosiasi”, khususnya dengan pejabat-pejabat pemerintah; beragam pungutan liar dilakukan pada saat meminta pelayanan. Apabila tidak disertai “uang terimakasih” jangan harap urusan selesai dengan cepat; tidak transparan dalam memberikan pelayanan. Padahal, melalui transparansi (keterbukaan), pengawasan akan mudah dilakukan baik oleh institusi maupun masyarakat.
Selanjutnya, tidak pasti (uncertainty), artinya pelayanan yang diberikan tidak memiliki kepastian, baik jangka waktu, mekanisme, biaya, maupun petugas yang akan menanganinya. Birokrasi yang belum optimal tentu akan memiliki dampak negatif, tidak saja pada lemahnya daya saing Indonesia dalam komunitas internasional, namun yang lebih memprihatinkan, kondisi ini seakan perlambang ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan iklim yang kondusif bagi beragam aktivitas warga negaranya, yang pada akhirnya bermuara pada semakin terpuruknya Indonesia diberbagai aspek.
Belum optimalnya iklim birokrasi sebagaimana diuraikan di atas, terjadi pula di tubuh institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), sebagai institusi yang di dalamnya melekat tugas dan tanggung jawab sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Tidak aneh apabila pada saat masyarakat meminta layanan kepolisian (dalam arti luas), bermunculan komentar sumbang seperti diskriminatif, arogan, lambat merespon, minta dilayani, berorientasi materi, dan sebagainya.
Ironisnya, komentar yang serupa keluar pula dari mulut anggota Polri pada saat berhadapan dengan instusi di atasnya (atasan), seperti pada saat mengajukan pencairan anggaran, permohonan mengikuti pendidikan, promosi, mutasi dan sebagainya. Dari beragam faktor yang memengaruhi belum optimalnya birokrasi di lingkungan internal Polri, saya berpendapat aspek kepemimpinan (SDM) Polri memberikan andil yang tidak sedikit, sehingga komentar miring terhadap kinerja Polri, baik individu maupun lembaga, terus menerus mengalir.
Kepemimpinan Polri yang diharapkan menjadi faktor penggerak terwujudnya efisiensi dan efektivitas organisasi serta kepuasan masyarakat, justru sebaliknya menjadi faktor penghambat. Sekalipun demikian saya tidak menafikan faktor lain yang juga memberikan kontribusi terhadap buruknya birokrasi di tubuh institusi Polri, seperti lingkungan kerja, anggaran, sarana prasarana pendukung, tidak terkecuali gaji yang belum seimbang dengan beban kerja.
Faktor kepemimpinan memang memiliki kedudukan yang sangat strategis bagi keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ketergantungan organisasi kepada unsur manusia bukannya menjadi semakin bertambah sedikit melainkan sebaliknya bertambah besar.
Hanya saja, terjadi perubahan terhadap kualitas manusia yang dibutuhkan. Semula yang dibutuhkan adalah orang yang kuat sehingga dapat bekerja keras berdasarkan kekuatan ototnya (musclepower), sekarang yang dibutuhkan adalah orang yang bekerja cerdas (brainware).
Menurut Sondang P Siagian (1980, 97), kepemimpinan adalah suatu kegiatan untuk memengaruhi perilaku orang-orang agar bekerja sama menuju kepada suatu tujuan tertentu yang mereka inginkan bersama. Sedangkan Filley dan House, sebagaimana dikutip oleh Syafuan Rozi (2000) berpendapat: Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi kegiatan kelompok, menuju kearah penentuan tujuan dan mencapai tujuan, artinya kepemimpinan merupakan jantungnya organisasi, sehingga pada saat kepemimpinan dalam suatu organisasi tidak berjalan dengan baik maka cepat atau lambat organisasi akan mati.
Melalui kepemimpinan seorang pemimpin mengubah tindakan atau perilaku beberapa anggota kelompok atau bawahan, sehingga bawahan menerima pengaruh dari pemimpin karena pemimpinnya mempunyai kepribadian dan kemampuan untuk memimpin sehingga disukai dan dihormati, bukan hanya karena para pemimpin tersebut mempunyai posisi memegang jabatan dan kekuasaan secara formal.
Menurut Sastrodiningrat (1999, 19-20), ada beberapa faedah yang dapat diperoleh apabila organisasi menerapkan kepemimpinan yang efektif, yaitu: menutupi kekuranglengkapan dan tidak sempurnanya pola organisasi. Dunia terlalu beraneka ragam, tidak mungkin organisasi merumuskan segala sesuatu secara lengkap sempurna.
Oleh karena itu, pemimpin berfungsi untuk mengisi kekurangan-kekurangan tersebut. Kemudian, mengatur perubahan yang terus menerus mengenai kondisi lingkungan. Manusia ingin menyesuaikan terhadap setiap perubahan yang terjadi dan dorongan tersebut menimbulkan kebutuhan untuk menguasai segala sumber agar dapat mengatasi keadaan baru. Maka diperlukan seorang pemimpin.
Menyempurnakan dinamika intern organisasi. Oleh karena organisasi selalu tumbuh berubah dan berkembang, maka perlu ada penyempurnaan susunan, kebijaksanaan, koordinasi, dan sebagainya. Selanjutnya, menentukan pengisian para pegawai yang selalu berubah. Mereka keluar masuk, cuti, absen, dan sebagainya. Pemimpin terlibat pada urusan kemanusiaan yang selalu timbul dalam organisasi.
Di lingkungan internal Polri, sosok pemimpin yang di dalamnya melekat karakter kepemimpinan ideal sehingga mampu mengarahkan semua sumber daya yang dimilikinya guna terwujudnya reformasi birokrasi, tidak dapat ditunda-tunda lagi kehadirannya. Membiarkan institusi Polri ditempati pemimpin dengan kualitas kepemimpinan yang jauh dari memadai, sama halnya membiarkan Polri sebagai organisasi bermasalah, dimana keluhan, cacian dan umpatan akan selalu membayangi kiprahnya.
Reformasi Birokrasi Polri
Reformasi birokrasi di tubuh Polri sangat diperlukan tidak saja dalam rangka mewujudkan tantangan pemerintahan yang baik dan bersih (Good and Clean Governance), namun yang tidak kalah pentingnya adalah salah satu upaya mewujudkan kepercayaan masyarakat, sebagaimana dengan tegas dinyatakan dalam Rencana Strategis Kepolisian Negara Republik Indonesia (Renstra Polri 2010-2014) BAB II angka 4 a yaitu: Tercapainya kepercayaan masyarakat terhadap Polri dalam bentuk kepuasan masyarakat atas perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat.
Oleh karena itu, seiring bergulirnya beragam tuntutan masyarakat kepada Polri agar Polri mampu menampilkan sosok profesional, maka reformasi birokrasi Polri hendaknya dipandang sebagai jembatan menuju terwujudnya cita-cita luhur tersebut. Berbicara mengenai reformasi birokrasi di tubuh Polri tentunya tidak dapat dipisahkan dari beragam aspek yang mempengaruhinya, di antaranya: pekerjaan dengan keahlian, artinya dalam setiap pelaksanaan tugas, baik sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, setiap anggota Polri dituntut melaksanakannya berdasarkan pada keahlian yang melekat pada dirinya agar diperoleh hasil kerja yang berkualitas.
Kedua, inovatif dan selalu ingin berkembang. Ditengah-tangah beragam masalah sosial kemasyarakatan yang semakin kompleks, kemampuan berinovasi menjadi prasyarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap anggota Polri. Kemampuan berinovatif hanya dapat diperoleh apabila didukung oleh kemampuan dan keterampilan yang memadai.
Ketiga, mengandalkan team work. Dalam sebuah organisasi modern, seperti halnya organisasi Polri, pola kerja mandiri atau sekedar mengandalkan pribadi-pribadi tertentu dalam menyelesaikan tugas kepolisian harus segera ditinggalkan. Kemampuan individu memiliki keterbatasan sementara beban kerja semakin meningkat. Oleh karena itu, kerja secara kelompok merupakan solusinya.
Keempat, hubungan antara Polri dan masyarakat setara. Membangun kemitraan (partnership building) dengan masyarakat harus selalu diupayakan dalam setiap pelaksanaan tugas pokok Polri, khususnya ditengah-tengah beragam keterbatasan yang dimiliki oleh Polri. Polri tidak boleh lagi menempatkan masyarakat sebagai bawahan (sub ordinasi) agar terjalin interaksi yang harmonis di antara keduanya.
Terakhir, implementasi prinsip-prinsip efisiensi, transparansi, efektivitas dan keadilan. Guna menjawab tuntutan masyarakat akan penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan berwibawa, penerapan prinsip efisiensi, transparansi, efektifitas dan keadilan harus senantiasa dinternalisasikan dalam tubuh Polri.
Mewujudkan Reformasi Birokrasi
Kepemimpinan lahir sebagai suatu konsekuensi logis dari perilaku dan budaya manusia yang terlahir sebagai individu yang memiliki ketergantungan sosial (zoon politicon) yang sangat tinggi dalam memenuhi berbagai kebutuhannya (homo sapiens). Dalam upaya memenuhi kebutuhannya tersebut manusia kemudian menyusun organisasi dari yang terkecil sampai yang terbesar sebagai media pemenuhan kebutuhan serta menjaga berbagai kepentingannya.
Bermula dari hanya sebuah kelompok, berkembang hingga menjadi suatu bangsa. Dalam konteks inilah, sebagaimana dikatakan Plato dalam filsafat negara, lahir istilah kontrak sosial dan pemimpin atau kepemimpinan. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, faktor kepemimpinan memegang peranan penting dalam mengupayakan terwujudnya reformasi birokrasi di tubuh Polri, sehingga ke arah mana masa depan organisasi Polri akan dibawa sangat tergantung pada pola kepemimpinan Polri yang diterapkan. Hal ini dapat diraih melalui: dibangunnya birokrasi yang berkultur dan struktur organisasi yang rasional dan egaliter, bukan irasional; hindari penggunaan budaya minta petunjuk dari atasan.
Kemudian, perlu dibiasakan mencari cara-cara baru yang praktis untuk memberikan pelayanan kepada publik. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat harus memposisikan sebagai pelayan masyarakat dengan tetap mengacu pada penerapan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas;
Rekruitmen sumber daya manusia dilakukan secara transparan dan fair, misalnya melalui fit and proper test, bukan mengangkat karyawan atau pimpinan atas dasar kolusi dan nepotisme, guna menghasilkan birokrat yang professional.
Training harus berorientasi kepada peningkatan kemampuan sumber daya manusia. Bukan training yang sifatnya hanya menghabiskan anggaran pendapatan dan belanja negara. Memberikan penghargaan dan imbalan gaji berdasarkan pencapaian prestasi atau bobot kerja yang dihasilkan (reward merit system) bukan hubungan kerja yang kolutif, tidak mendidik, tidak fair dan diskriminatif.
Melakukan pemantauan, pengawasan, dan evaluasi kinerja terhadap semua personil yang dilakukan secara bertahap, konsisten, dan berkelanjutan. Reformasi birokrasi hanya dapat terwujud di tubuh Polri apabila Polri diawaki oleh sumber daya manusia dengan kepemimpinan yang ideal sehingga mampu mengorganisir semua sumber daya yang ada.
Membiarkan Polri berjalan tanpa didukung kepemimpinan ideal sama halnya membiarkan masalah bertumpuk di tubuh Polri. Oleh karena itu, memperbaiki aspek kepemimpinan Polri jauh lebih penting daripada mereformasi struktur, sistem dan kelembagaan birokrasi, sebagaimana pepatah menyebutkan yang terpenting adalah the man behind the gun.
(whb)