Kekerasan terhadap Anak
A
A
A
MIRIS jika membaca tentang kasus-kasus kekerasan terhadap anak-anak atau perempuan bahkan disertai dengan kekerasan seksual. Bak bola salju, kasus ini terus mendera negeri ini seolah menghukum negeri yang katanya terkenal dengan budaya sopan santun ini. Apalagi beberapa pelaku kekerasan terhadap anak-anak dan perempuan adalah juga anak-anak.
Apakah nilai-nilai luhur bangsa ini yang sopan dan santun serta penuh rasa tepa selira (tenggang rasa) sudah memudar sehingga kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan terus terjadi?
Ancaman hukuman berat dengan tambahan pemberatan hukuman sudah dikeluarkan pemerintah. Pemberatan hukuman memang memunculkan pro dan kontra. Pihak-pihak yang pro-kontra berdebat soal benar atau tidaknya pemberatan hukuman melalui kebiri kimia. Terus berdebat sejak perppu tentang pemberatan hukuman ini dikeluarkan pemerintah hingga kemarin.
Ketika mereka berdebat, di sisi lain, kasus kekerasan seksual berulang di beberapa daerah seperti di Semarang (Jateng), Jakarta, Makassar (Sulsel), dan Manado (Sulut). Bukankah akan lebih baik hentikan perdebatan tersebut dan kembali peduli terhadap para korban dan memberikan hukuman berat kepada para pelaku.
Banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak, sekali lagi memunculkan pertanyaan banyak pihak, apa penyebabnya? Tentu akan cukup sulit mencari penyebab inti dari semua yang telah terjadi. Namun, pengawasan orang tua terhadap anak-anak semakin memudar sehingga fungsi kontrol terhadap anak-anak semakin longgar.
Fungsi kontrol yang mengharuskan interaksi antara orang tua dan anak tidak maksimal bahkan tidak terjadi. Hubungan mereka menjadi renggang, hingga orang tua tidak tahu apa kegiatan anak, begitu juga dengan anak tidak mengetahui kegiatan orang tua.
Pertanyaan berikutnya adalah, kenapa interaksi antara orang tua dan anak semakin lemah? Pertama, tuntutan ekonomi yang membuat kedua orang tua harus bekerja sehingga interaksi tidaklah intens. Kedua, orang tua menganggap minimnya interaksi dengan anak tersebut bisa digantikan dengan teknologi. Padahal, sentuhan orang tua terhadap anak sangat dibutuhkan dan teknologi bersifat membantu bukan menggantikan.
Ketiga, terbukanya jendela informasi berupa internet memudahkan anak mencari jalan keluar ketika di rumah tidak ada interaksi dengan orang tua atau keluarga. Beberapa persoalan seolah bisa diselesaikan dengan hanya menggunakan internet. Keempat, lingkungan yang semakin terbuka sehingga anak-anak cenderung lebih leluasa berinteraksi dengan lingkungan luar tanpa filter dari orang tua.
Minimnya interaksi ini yang membuat transfer nilai-nilai yang dimiliki agama dan bangsa ini menjadi tersumbat. Anak-anak mendapatkan transfer nilai-nilai lain yang justru jauh dari sifat sosial dan kemanusiaan. Teknologi yang fungsinya hanya sebagai pembantu dan memudahkan dalam melakukan interaksi dianggap sebagai pengganti, sehingga fungsi orang tua sebagai manusia pengayom paling dekat sudah memudar bahkan hilang.
Di sisi lain, pemerintah juga seolah belum mampu mengatasi dampak negatif dari perkembangan teknologi. Tanpa disadari (atau malah sebenarnya sudah disadari?) ada dampak negatif pada perkembangan teknologi yang harus bisa disaring oleh pemerintah melalui regulasi atau sebuah aksi.
Orang tua memang bisa tak berdaya karena anak-anak tidak hanya hidup dan berkembang di dalam rumah saja, namun juga lingkungan sekitar. Nah , ketika berada di lingkungan luar rumah, pemerintah juga tidak bisa membentengi sehingga anak-anak menerima semua informasi tanpa tersaring atau terkonfirmasi.
Tentu beberapa kasus yang telah terjadi harus menjadi cermin bagi masyarakat dan pemerintah. Orang tua Indonesia harus lebih sadar betapa pentingnya interaksi sehingga bisa menjadi katalisator nilai-nilai dan budaya bangsa ini.
Pemerintah diharapkan juga bisa bersikap tegas dengan bisa memberikan hukuman yang berat kepada para pelaku dan bisa memberikan filter terhadap dampak negatif teknologi informasi. Semoga kejadian-kejadian dalam beberapa pekan terakhir tidak kembali terulang dengan sikap autokoreksi dari masyarakat dan pemerintah.
Apakah nilai-nilai luhur bangsa ini yang sopan dan santun serta penuh rasa tepa selira (tenggang rasa) sudah memudar sehingga kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan terus terjadi?
Ancaman hukuman berat dengan tambahan pemberatan hukuman sudah dikeluarkan pemerintah. Pemberatan hukuman memang memunculkan pro dan kontra. Pihak-pihak yang pro-kontra berdebat soal benar atau tidaknya pemberatan hukuman melalui kebiri kimia. Terus berdebat sejak perppu tentang pemberatan hukuman ini dikeluarkan pemerintah hingga kemarin.
Ketika mereka berdebat, di sisi lain, kasus kekerasan seksual berulang di beberapa daerah seperti di Semarang (Jateng), Jakarta, Makassar (Sulsel), dan Manado (Sulut). Bukankah akan lebih baik hentikan perdebatan tersebut dan kembali peduli terhadap para korban dan memberikan hukuman berat kepada para pelaku.
Banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak, sekali lagi memunculkan pertanyaan banyak pihak, apa penyebabnya? Tentu akan cukup sulit mencari penyebab inti dari semua yang telah terjadi. Namun, pengawasan orang tua terhadap anak-anak semakin memudar sehingga fungsi kontrol terhadap anak-anak semakin longgar.
Fungsi kontrol yang mengharuskan interaksi antara orang tua dan anak tidak maksimal bahkan tidak terjadi. Hubungan mereka menjadi renggang, hingga orang tua tidak tahu apa kegiatan anak, begitu juga dengan anak tidak mengetahui kegiatan orang tua.
Pertanyaan berikutnya adalah, kenapa interaksi antara orang tua dan anak semakin lemah? Pertama, tuntutan ekonomi yang membuat kedua orang tua harus bekerja sehingga interaksi tidaklah intens. Kedua, orang tua menganggap minimnya interaksi dengan anak tersebut bisa digantikan dengan teknologi. Padahal, sentuhan orang tua terhadap anak sangat dibutuhkan dan teknologi bersifat membantu bukan menggantikan.
Ketiga, terbukanya jendela informasi berupa internet memudahkan anak mencari jalan keluar ketika di rumah tidak ada interaksi dengan orang tua atau keluarga. Beberapa persoalan seolah bisa diselesaikan dengan hanya menggunakan internet. Keempat, lingkungan yang semakin terbuka sehingga anak-anak cenderung lebih leluasa berinteraksi dengan lingkungan luar tanpa filter dari orang tua.
Minimnya interaksi ini yang membuat transfer nilai-nilai yang dimiliki agama dan bangsa ini menjadi tersumbat. Anak-anak mendapatkan transfer nilai-nilai lain yang justru jauh dari sifat sosial dan kemanusiaan. Teknologi yang fungsinya hanya sebagai pembantu dan memudahkan dalam melakukan interaksi dianggap sebagai pengganti, sehingga fungsi orang tua sebagai manusia pengayom paling dekat sudah memudar bahkan hilang.
Di sisi lain, pemerintah juga seolah belum mampu mengatasi dampak negatif dari perkembangan teknologi. Tanpa disadari (atau malah sebenarnya sudah disadari?) ada dampak negatif pada perkembangan teknologi yang harus bisa disaring oleh pemerintah melalui regulasi atau sebuah aksi.
Orang tua memang bisa tak berdaya karena anak-anak tidak hanya hidup dan berkembang di dalam rumah saja, namun juga lingkungan sekitar. Nah , ketika berada di lingkungan luar rumah, pemerintah juga tidak bisa membentengi sehingga anak-anak menerima semua informasi tanpa tersaring atau terkonfirmasi.
Tentu beberapa kasus yang telah terjadi harus menjadi cermin bagi masyarakat dan pemerintah. Orang tua Indonesia harus lebih sadar betapa pentingnya interaksi sehingga bisa menjadi katalisator nilai-nilai dan budaya bangsa ini.
Pemerintah diharapkan juga bisa bersikap tegas dengan bisa memberikan hukuman yang berat kepada para pelaku dan bisa memberikan filter terhadap dampak negatif teknologi informasi. Semoga kejadian-kejadian dalam beberapa pekan terakhir tidak kembali terulang dengan sikap autokoreksi dari masyarakat dan pemerintah.
(kri)