Persulit Pemenuhan Hak Korban Terorisme, DPR Kritik LPSK

Selasa, 31 Mei 2016 - 09:57 WIB
Persulit Pemenuhan Hak Korban Terorisme, DPR Kritik LPSK
Persulit Pemenuhan Hak Korban Terorisme, DPR Kritik LPSK
A A A
JAKARTA - ‎Lantaran kerap kali ‎mempersulit pemenuhan hak korban terorisme, khususnya bantuan medis dan psikososial, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dikritik.

‎Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil berpendapat, bahwa sebagai lembaga terdepan dalam melindungi saksi dan korban tindak pidana berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, seharusnya LPSK tidak mempersulit korban dengan mengkambinghitamkan alasan birokrasi.

Kritikannya itu dilontarkan setelah Nasir mendengar keluhan ‎korban ledakan Bom JW Marriot dan Kuningan. Legislator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari Dapil Aceh ini menyayangkan langkah LPSK tersebut. Dirinya mengaku selama ini aktif mengkaji setiap dokumen perjanjian perlindungan dan pengajuan permohonan korban yang belum ditindaklanjuti oleh LPSK.

“Para korban mengeluhkan mekanisme pengajuan permohonan bantuan medis, psikososial, dan kompensasi pada LPSK yang justru membuat korban menderita untuk kedua kalinya," ujar Nasir dalam keterangan tertulisnya, Selasa (31/5/2016).

Beberapa keluhan korban terorisme terhadap LPSK tersebut di antaranya bahwa LPSK memerlukan surat keterangan terlapor dari pihak kepolisian atau berwenang sebagai korban terorisme. Jika tidak ada surat keterangan tersebut, maka korban yang namanya tidak tercantum dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tidak dapat memperoleh bantuan LPSK.

Diketahui, Pasal 6 Ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa bantuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diberikan berdasarkan Keputusan LPSK.

“Sehingga, sebenarnya, tidak ada klausul yang menyebutkan bahwa korban tindak pidana terorisme baru dapat diberikan bantuan berdasarkan keputusan LPSK, setelah mendapatkan keterangan dari kepolisian atau pihak berwenang," tuturnya.

Kedua, dalam memberikan bantuan medis dan psikososial, LPSK dinilainya terkesan lambat dalam memberikan pelayanan. "Langkah LPSK terlalu bertele-tele, mulai dari syarat-syarat administrasi yang harus dipenuhi sendiri oleh korban, sampai pada proses verifikasi danassesment yang justru memakan waktu lama sehingga korban tidak tertangani secara cepat dan efisien," ungkapnya.‎

Di sisi lain, Nasir melanjutkan bahwa DPR telah memperjuangkan penguatan kelembagaan LPSK melalui pengesahan UU Nomor 31 Tahun 2014. “Namun LPSK justru telah mempersulit dirinya dalam mengimplementasikan UU dan para saksi dan korban yang menjadi korbannya,” ucap Nasir.

Oleh karena itu, Nasir meminta langkah evaluasi menyeluruh harus dilakukan terhadap kinerja LPSK yang dinilai kian menurun setiap tahun. “Perlu ada langkah evaluasi menyeluruh terhadap kelembagaan dan kinerja LPSK selama ini, sejak diberikan kewenangan lebih, kinerja LPSK terkesan kian buruk,” imbuhnya.

Dirinya tidak ingin undang-undang yang telah disusun oleh DPR secara baik itu tidak diimplementasikan dengan baik, terlebih pada pemenuhan hak korban terorisme. "Sebaik apapun UU yang dibuat, jika implementasinya buruk maka sampai kapanpun hak korban teroris tak akan terpenuhi,” pungkasnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6689 seconds (0.1#10.140)