Hukuman Pelaku Kekerasan Seksual Anak

Rabu, 25 Mei 2016 - 13:02 WIB
Hukuman Pelaku Kekerasan...
Hukuman Pelaku Kekerasan Seksual Anak
A A A
Yulina Eva Riany
Dosen Ilmu Keluarga dan Konsumen, FEMA, IPB

KASUS kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia saat ini sudah masuk dalam kondisi ”darurat”. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, pada 2010-2014 terdapat 21,8 juta kasus pelanggaran hak anak. Sebanyak 58% dari angka tersebut adalah kasus kekerasan seksual. Berbagai kasus pemerkosaan anak di bawah umur (bahkan oleh keluarga terdekat seperti ayah, kakek, dan paman) kian marak terjadi. Kasus ini menambah daftar panjang kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Kasus yang akhir-akhir ini terjadi adalah kasus pemerkosaan disertai pembunuhan terhadap anak di bawah umur. Sebut saja kasus Yuyun, bocah malang berusia 14 tahun yang sedang mengenyam pendidikan SMP. Yuyun menjadi korban kekerasan seksual massal para pemuda kampungnya. Tidak cukup puas menganiaya dan menodai korban, gerombolan pemuda itu juga membunuh korban dan membuang mayatnya di perkebunan sekitar wilayah tempat tinggal mereka. Hal serupa juga menimpa Enno, 19, yang dinodai dan dibunuh dengan menggunakan pacul.

Untuk menjawab penyelesaian kasus ini, pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5/ 2014 tentang Gerakan Nasional Menentang Kekerasan Seksual Anak. Saat ini pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bahkan sedang berproses untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Perlindungan Anak dengan menambahkan hukuman tambahan bagi pelaku kekerasan seksual yaitu hukuman kebiri.

Tindakan kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anak dipahami sebagai tindakan yang dengan sengaja dilakukan oleh orang dewasa atau usia remaja yang melibatkan aktivitas seksual terhadap anak. Termasuk di dalamnya tindakan fisik seperti pemerkosaan, pencabulan, pornografi, dan aktivitas seksual lainnya; verbal (seperti perkataan yang mengarah pada tindakan sensualitas) maupun emosional laiknya memiliki hubungan yang mengarah ke tindakan seksualitas.

Berbeda dengan tindakan kekerasan lainnya, kasus kekerasan seksual pada anak memiliki dampak yang jauh lebih serius terhadap anak, baik secara langsung maupun jangka panjang. Kasus ini tidak hanya meninggalkan luka secara fisik. Lebih dari itu, tindak anarkistik ini akan memberikan efek buruk pada perkembangan emosional, sosial, dan psikologi korban kekerasan.

Kondisi emosional anak akan mengalami gangguan yang ditandai dengan kondisi stres, cemas, rasa tertekan, ketakutan, dan rasa tidak aman dalam kehidupan sehari-hari akibat pengalaman buruk yang mereka alami. Bahkan, tidak jarang korban mengalami gangguan psikologis di masa yang akan datang. Gejala ditunjukkan oleh ada kesulitan dalam berinteraksi dengan sesamanya, ketidakpercayaan diri, hingga kehilangan harapan untuk hidup.

Lebih dari itu, apabila korban tidak mendapatkan penanganan dengan baik, kemungkinan besar anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang selalu diliputi dengan rasa curiga. Akhirnya anak berpotensi untuk berkembang menjadi pribadi dewasa yang sarat berbagai gangguan emosional seperti depresi hingga gangguan mental yang serius.

Mudah Dilupakan
Pelaku kekerasan seksual terhadap anak umumnya dijatuhi vonis dengan menggunakan Pasal 82 Undang-Undang (UU) Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak dengan maksimal hukuman penjara selama 5-15 tahun. Tak jarang pelaku bahkan hanya diancam dengan hukuman maksimal 10 tahun penjara. Hukuman ini relatif lebih ringan dibanding dengan hukuman beberapa negara lain seperti Australia yang menerapkan hukuman penjara minimal 10-25 tahun dengan dan atau tanpa denda sebesar 442,830 dolar Australia (Rp4,4 miliar).

Sayangnya, di Indonesia ancaman hukuman berat tersebut seringkali tidak terealisasi nyata di lapangan. Masyarakat yang memiliki karakteristik mudah memaafkan dan melupakan, memberikan celah bagi ringannya pemberian hukuman bagi pelaku kejahatan terhadap anak. Sehingga, tidak sedikit kasus tindak anarkistis hilang dan tenggelam karena kurangnya pengawalan masyarakat. Bahkan banyak para pelaku yang bebas dari jeratan hukuman karena kurang barang bukti yang memberatkan.

Sementara fakta membuktikan, residivis kekerasan anak yang dibiarkan bebas tanpa penanganan serius cenderung akan mengulangi kejahatannya, baik terhadap korban yang sama maupun korban lainnya. Seringkali pelaku akan bersikap lebih membahayakan dan lebih sadis dari sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh ada kelainan jiwa; mengulang aktivitas yang sama yaitu kejahatan kekerasan seksual terhadap anak.

Ahli kejiwaan berpendapat, kelainan ini tidak dapat diatasi kecuali dengan rehabilitasi kejiwaan yang intensif dan didukung dengan pengobatan medis (Grubin, 2012). Penelitian intensif menunjukkan, tidak ada intervensi perilaku yang dapat mengobati gangguan jiwa tersebut apabila si pelaku kekerasan tidak memiliki motivasi yang kuat dari dalam diri untuk melenyapkan hasrat dan fantasi seksualnya terhadap anak.

Efek Jera
Untuk menangani kasus sadisme seksual terhadap anak, beberapa negara seperti Republik Checz, Amerika Serikat, Portugis, Polandia, Maldova, Macedonia, Estonia, Israel, Australia, India, Rusia, Korea, Jerman, dan Inggris telah menerapkan hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Hukuman kebiri yang diberikan bervariasi, mulai dari tindakan operasi pengangkatan testis hingga suntik zat kimia (leuprorelin), yang berfungsi untuk menurunkan libido pelaku kekerasan sehingga hasrat terhadap anak-anak dapat ditekan.

Meskipun menuai kontroversi, hukuman kebiri dengan melakukan operasi pembuangan testis yang dilakukan di Republik Checz adalah tindakan yang dinilai paling efektif untuk menekan libido pelaku. Namun, kebiri secara fisik ini sering dinilai melanggar hak asasi manusia karena menghilangkan organ reproduksi manusia. Karena itu, hukuman kebiri yang dilakukan melalui penyuntikan zat kimia penekan libido seringkali menjadi alternatif sanksi yang diterapkan oleh negara lain. Meskipun menuai pro dan kontra, metode kebiri menggunakan bahan kimia sejatinya dapat berfungsi pula sebagai upaya rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual anak, di samping hukuman penjara selama 5-10 tahun.

Studi ilmiah di Israel (Rösler & Witztum, 1998), Denmark (NYTimes, 2011), dan Korea (Lee & Chou, 2013) menunjukkan bahwa hukuman kebiri berhasil menekan angka kejahatan seksual terhadap anak. Hal ini penting, mengingat hal terpenting dalam menangani pelaku kekerasan seksual anak adalah melalui upaya menghilangkan hasrat terhadap anak yang seringkali tidak terkontrol oleh pelaku itu sendiri.

Hukuman kebiri ini tentu harus disertai dengan supervisi intensif dari tim medis untuk menghindari terjadi efek samping yang tidak diinginkan. Meskipun efek samping yang terkait dengan munculnya peningkatan hasrat kejahatan seksual yang lebih dahsyat terhadap anak belum dapat dibuktikan secara ilmiah hingga saat ini.

Penerapan sanksi kebiri mungkin saja dianggap sebagai hukuman yang tidak memperhatikan asas kemanusiaan. Namun, membiarkan pelaku tindak kekerasan terhadap anak berkeliaran bebas terbukti memberikan kesempatan bagi merebaknya kasus kejahatan seksual terhadap anak. Dengan penerapan hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual anak, diharapkan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku. Sehingga, perilaku kekerasan yang melibatkan anak dapat ditekan dalam level yang paling rendah dalam lingkungan sosial masyarakat kita.

Penerapan sanksi kebiri juga tidak dapat menjamin sepenuhnya tindakan kekerasan seksual anak berada pada level nol. Karena itu, kewaspadaan masyarakat dan keseriusan dari aparat dan pranata sosial setempat untuk ikut serta dalam proses rehabilitasi dan pengawasan pelaku kejahatan menjadi faktor utama yang harus diperhatikan. Khususnya pengawasan ketat dan terukur dari keluarga, yang memegang peranan penting bagi proses pencegahan terjadi tindak kejahatan seksual yang melibatkan anak.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0860 seconds (0.1#10.140)