Urgensi Mempercepat Akses Keuangan di Daerah

Rabu, 11 Mei 2016 - 15:09 WIB
Urgensi Mempercepat Akses Keuangan di Daerah
Urgensi Mempercepat Akses Keuangan di Daerah
A A A
Fauzi Nugroho
Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Daerah Istimewa Yogyakarta

SEJARAH menunjukkan bahwa sebuah bangsa dan negara yang maju pasti didukung oleh industri jasa keuangan yang kuat dan tingkat melek keuangan (literasi keuangan) yang tinggi. Rendahnya akses keuangan masyarakat mendorong suburnya praktik pelepas rente (rentenir) dengan bunga mencekik yang berimbas pada alokasi sumber ekonomi berjalan dengan biaya mahal serta melemahkan daya saing.

Sebagaimana halnya kebutuhan pokok pangan, sandang, dan papan, akses keuangan merupakan hak dasar individu untuk memperoleh pelayanan keuangan guna meningkatkan taraf hidupnya. Negara-negara G-20 melalui Financial Inclusion Action Plan (Financial Inclusion Experts Group) menyatakan inklusi keuangan merupakan hak dasar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM), sebagai mesin pertumbuhan eko-nomi dan penciptaan lapangan kerja. Upaya yang harus ditempuh pemerintah untuk memakmurkan rakyatnya adalah meningkatkan jangkauan layanan jasa keuangan. Apalagi, sebagai negara kepulauan (archipelago) yang memiliki ribuan pulau.

Saat ini ada ketimpangan yang sangat tinggi dalam jumlah bank/kantor dengan jumlah penduduknya antara Pulau Jawa dan pulau di luar Jawa, juga antara kota dan desa. Di DKI Jakarta misalnya per 1 kilometer dilayani oleh satu kantor cabang bank. Sementara di luar DKI Jakarta yang masih di Pulau Jawa, satu kantor cabang bank melayani masyarakat di radius 69 kilometer. Sementara di luar Jawa, yakni Maluku dan Papua, dalam radius 3.632 kilometer dilayani oleh satu kantor cabang bank (OJK, 2015).

Dengan begitu, tidak mengherankan bila hasil survei nasional literasi keuangan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2013 menunjukkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat terhadap produk serta layanan jasa keuangan tergolong masih rendah. Untuk perbankan misalnya hanya 21,84% dengan tingkat ulititas mencapai 57,28%.

Sementara tingkat akses keuangan terhadap lembaga keuangan nonbank jauh lebih rendah lagi. Untuk asuransi 17,84%, pegadaian 14,85%, perusahaan pembiayaan 9,80%, dana pensiun 7,13%, dan pasar modal 3,79%. Sementara tingkat ulititasnya masing-masing; asuransi 11,81%, pegadaian 5,04%, perusahaan pembiayaan 6,33%, dana pensiun 1,53%, dan pasar modal 0,11%.

Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih tergolong tertinggal dibandingkan negara-negara lain di ASEAN. Selain itu, bila mengacu pada kepemilikan rekening (Bank Dunia, 2015), jumlah rekening pada lembaga keuangan formal yang dimiliki oleh penduduk (berusia 15 tahun ke atas), Indonesia hanya memiliki 16,5%-28%. Sementara Brunei, Thailand, Malaysia, dan Singapura berada pada kisaran 50,3% - 81,2%.

***
Pada dasarnya tujuan inklusi keuangan adalah membawa masyarakat unbanked ke dalam lingkup sistem keuangan formal sehingga mereka memiliki kesempatan untuk mengakses berbagai layanan jasa keuangan, mulai dari tabungan, kredit, asuransi, dan fasilitas pembayaran serta transfer (Hannigdan Jansen, 2010 dalam OJK, 2016).

World Bank (2010) mengungkapkan, setidaknya terdapat empat jenis layanan jasa keuangan yang dianggap vital bagi kehidupan masyarakat yakni layanan penyimpanan dana, layanan kredit, layanan sistem pembayaran dan asuransi, termasuk di dalamnya dana pensiun. Empat aspek inilah yang menjadi persyaratan mendasar yang harus dimiliki setiap masyarakat untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik.

Pencapaian tujuan inklusi keuangan tersebut diharapkan menjadi daya dorong bagi percepatan akses keuangan yang pada gilirannya mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam pelaksanaan kegiatan inklusi keuangan dilakukan melalui lima pendekatan yaitu kebijakan, regulasi dan pengawasan, edukasi dan sosialisasi, serta infrastruktur dan komunikasi (OJK, 2016).

Sejalan dengan kepedulian OJK, pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 telah menetapkan bahwa salah satu sasaran penguatan sektor keuangan dalam lima tahun mendatang adalah meningkatnya akses masyarakat dan UMKM terhadap layanan jasa keuangan formal dalam kerangka pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menegaskan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Hal tersebut sejalan dengan value objective, yakni menjadi lembaga pengawas industri jasa keuangan yang tepercaya, melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, dan mampu mewujudkan industri jasa keuangan menjadi pilar perekonomian nasional yang berdaya saing global serta dapat memajukan kesejahteraan umum.

Konstitusi telah menjamin bahwa lembaga negara yang diberi amanat untuk mewujudkan cita-cita itu adalah OJK, yang tugasnya adalah melaksanakan pengaturan dan pengawasan terhadap: kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan; kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya; termasuk memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya.

Sudah selayaknya OJK mengambil inisiatif untuk segera mewujudkan kondisi yang memungkinkan tercipta keuangan inklusif di seluruh Nusantara, tidak saja di tingkat pusat, namun juga di daerah.

Melalui berbagai forum, OJK telah memprakarsai itu. Dalam pertemuan tahunan OJK dengan pelaku industri jasa keuangan pada 15 Januari 2016 yang dihadiri Presiden Republik Indonesia disebutkan perlunya upaya nyata untuk mendorong akses keuangan kepada masyarakat, dukungan kepada kegiatan ekonomi produktif melalui pemberdayaan kemampuan UMKM, pengembangan ekonomi daerah, dan penguatan sektor ekonomi prioritas.

Ihwal tersebut membutuhkan sebuah tim atau forum yang mampu merumuskan dan merangkul seluruh pihak untuk bahu-membahu mempercepat akses keuangan di daerah dalam rangka menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata, partisipatif, dan inklusif. Sebagaimana radiogram Menteri Dalam Negeri 19 Februari 2016 yang menginstruksikan pembentukan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD), yakni forum koordinasi antarinstansi dan stakeholders terkait untuk meningkatkan percepatan akses keuangan di daerah dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera.

Akhir kata, upaya untuk memerangi kemiskinan harus terus-menerus dilakukan salah satunya melalui akses keuangan yang inklusif. Berbuat kebaikan tidak hanya menjadi otoritas pemerintah pusat, namun juga pemerintah daerah sebagai garda terdepan dan mempunyai tanggung jawab yang besar mengingat sebagian besar saudara kita tinggal di perdesaan dan daerah terpencil (remote area). Karena itu, pembentukan TPAKD dan program-programnya harus menjadi sebuah keniscayaan. Terus bahu-membahu antar-stakeholders dilandasi semangat silaturahmi karena di balik itulah rezeki mengalir.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3587 seconds (0.1#10.140)