Akar Masalah Perkosaan

Rabu, 11 Mei 2016 - 09:19 WIB
Akar Masalah Perkosaan
Akar Masalah Perkosaan
A A A
KASUS perkosaan biadab yang dilakukan 14 pemuda terhadap siswi sekolah menengah pertama, Yuyun, di Bengkulu pada 2 April lalu membuat darah bangsa ini menggelegak. Bangsa ini seakan tak bisa percaya kebiadaban yang bahkan melebihi perilaku kebinatangan itu bisa terjadi di negeri ini. Berbagai analisis pun bermunculan untuk menjelaskan fenomena ini.

Statistik perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan di kabupaten termiskin di Bengkulu ini sangat mengerikan. Pada 2016 saja hingga April terjadi sembilan kasus perkosaan yang salah satunya terjadi pada Yuyun. Sementara pada periode yang sama terjadi 36 kasus kekerasan pada perempuan. Pada 2015 bahkan terjadi 84 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Belum habis marah kita terhadap kasus itu, muncul lagi kasus perkosaan di Manado yang ditengarai dilakukan oleh 19 orang. Ada beberapa hal yang mengemuka dalam kasus perkosaan ini, yaitu: pola pikir patriarkis dalam masyarakat, kemiskinan akut, akses terhadap media porno, peredaran minuman keras, rendahnya kohesi sosial masyarakat, hingga ancaman hukuman terlalu ringan yang membuat orang tidak takut berbuat salah serta berbagai masalah lain.

Sayangnya, perdebatan yang terjadi seringkali terjebak dalam pusaran pertanyaan mengenai faktor utama penyebab pemerkosaan. Kadangkala akhirnya kita lebih jauh terjebak dalam perdebatan mengenai mana faktor determinan yang jika dilakukan rekayasa sosial terhadap faktor itu, masalah akan selesai.

Perdebatan seperti itu justru akan membuat kita tersesat karena masing-masing faktor akan seperti menafikan faktor lain. Akan muncul misalnya pernyataan jangan salahkan minuman keras karena tidak semua orang yang meminum minuman keras memerkosa, salahkan otaknya yang memang kotor dan ada kecenderungan patriarkis yang ingin menguasai perempuan. Sementara muncul pula pernyataan yang mengatakan kemiskinanlah menjadi akar utama masalah ini sehingga serta-merta masalah bisa langsung ditimpakan pada pemerintah yang tak cakap memberantas kemiskinan.

Ada baiknya jika kita melihat berbagai masalah tersebut sebagai masalah yang saling terkait satu sama lain. Masing-masing faktor memperparah keadaan. Misalnya kita bukan disibukkan membela bahwa miras tidak menyebabkan perkosaan, namun harus bisa berpikir secara proporsional bahwa miras menjadi elemen penguat ketika sudah ada orang-orang yang secara mental sudah rusak dan memiliki kesempatan untuk melancarkan niat bejatnya.

Kita juga bisa menghindari berpikir bahwa pemerkosaan hanya sebagai bentuk pola patriarkis dalam masyarakat tanpa melihat kondisi sosial seperti kemiskinan yang membuat orang frustrasi akan keadaannya dan cenderung melonggarkan kontrol diri untuk melakukan aksi negatif. Terkungkung pada penjelasan patriarkis hanya akan mempersulit mencari solusi masalah ini.

Semangatnya adalah mencoba menempatkan masing-masing faktor tersebut sebagai faktor penguat potensi terjadi pemerkosaan yang kita kutuk ini. Dalam masalah apa pun, kita harus berbicara konteks. Dan, konteks dalam setiap kejadian selalu berbeda. Namun, dalam setiap masalah pemerkosaan umumnya faktor-faktor penyebab itu ada dengan proporsinya masing-masing yang mungkin berbeda.

Kita harus mengambil solusi dari tiap faktor penyumbang masalah ini. Pertama, miras jelas menjadi pendorong aktivitas bejat ini walaupun bukan faktor satu-satunya. Karena itu, peredarannya jelas harus dibatasi dengan ketat.

Kedua , faktor kemiskinan akut di Rejang Lebong dan banyak daerah lain harus menjadi perhatian pemerintah. Jangan sampai tetesan pembangunan tak sampai ke daerah-daerah miskin. Ketiga, pola pikir patriarkis jelas sudah ada lama di bangsa ini, usaha untuk mengimbanginya harus dilakukan lebih keras lagi. Keempat, faktor kohesivitas sosial di masyarakat harus diperkuat lagi agar tercipta kontrol sosial yang lebih kuat.

Memaksakan satu penyebab hanya akan mendorong kita pada jalan buntu, sementara menafikan salah satu penyebab akan mendorong kita pada kesesatan solusi.
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4909 seconds (0.1#10.140)