Paket Kebijakan Proburuh Kapan Dirilis?

Selasa, 03 Mei 2016 - 12:47 WIB
Paket Kebijakan Proburuh Kapan Dirilis?
Paket Kebijakan Proburuh Kapan Dirilis?
A A A
Bhima Yudhistira Adhinegara
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)

PAKET Kebijakan Ekonomi Jilid I hingga XII telah dikeluarkan oleh pemerintah. Dari sekian banyak paket kebijakan yang dirilis pemerintah, tidak ada satu paket pun yang berpihak pada buruh. Alih-alih yang terjadi justru di Paket Kebijakan IV, muncul PP 78 Tahun 2015 tentang formulasi upah buruh yang masih menimbulkan polemik. Belum selesai dengan formulasi upah buruh, pemerintah juga menaikkan iuran BPJS Kesehatan sebesar 19-34%. Dilihat dari kebijakan ekonomi, pemerintah berusaha menyelamatkan dunia usaha, tapi memberi beban bagi kelas pekerja.

Kita harus melihat tantangan ekonomi yang dihadapi buruh sepanjang 2015 hingga 2016. Tantangan pertama adalah tidak ada perbaikan dari sisi pendapatan pekerja. Salah satu bukti adalah data ketimpangan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ada penurunan angka ketimpangan dari 0,41 per Maret 2015 menjadi 0,40 per September 2015. Angka ketimpangan yang ditunjukkan oleh rasio gini ini terendah sejak empat tahun yang terakhir. Penurunan 0,01 ini seharusnya menjadi pertanda bahwa terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat kelas bawah termasuk buruh. Namun, euforia penurunan ketimpangan tersebut ternyata hanya semu.

Distribusi pengeluaran 40% penduduk miskin memang meningkat dari 17,10% per Maret 2015 menjadi 17,45% per September 2015. Sedangkan 40% penduduk kelas menengah juga meningkat dari 34,65% menjadi 34,7%. Namun, yang menarik adalah 20% penduduk dengan pengeluaran tertinggi justru turun dari 48,25% ke 47,84%. Jika dibandingkan secara logis, penduduk dengan pengeluaran terendah hanya mengalami peningkatan 0,35% dan penduduk menengah naik 0,05%. Penduduk kaya turun signifikan menjadi 0,41%. Dari data BPS saja terlihat bahwa ketimpangan antara kelas atas dan bawah tidak turun. Penurunan ketimpangan lebih disebabkan penduduk kaya yang menahan konsumsi akibat pelemahan ekonomi bukan terjadi akibat perbaikan upah buruh.

Data rasio gini juga menyebutkan bahwa faktor utama perbaikan data ketimpangan adalah kenaikan upah buruh pertanian sebesar 1,21% dan kenaikan upah buruh bangunan sebesar 1,05% dari Maret hingga September 2015. Padahal, dua jenis pekerjaan ini bukan termasuk ke dalam sektor formal. Untuk buruh di sektor formal tidak terdapat kenaikan upah yang signifikan, bahkan mendapatkan ancaman gelombang pengangguran hebat.

Ekonomi Lesu dan Ancaman PHK
Perlunya campur tangan pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang proburuh juga terkait dengan masih lesunya perekonomian yang berimbas pada efisiensi perusahaan. Pelemahan ekonomi dimulai dari melemahnya permintaan dari partner dagang terbesar Indonesia yaitu China yang mengalami penurunan impor hingga 13,8% dibandingkan tahun sebelumnya. Pelemahan impor China ini diprediksi akan terus berlangsung selama China mengalami penurunan pertumbuhan tajam atau hard landing. Kondisi ekonomi dunia juga masih dilanda kelesuan. IMF misalnya melakukan revisi pertumbuhan ekonomi pada 2016 dari 3,4% menjadi 3,2%.

Kondisi tersebut secara otomatis menjalar ke Indonesia, memengaruhi ekspor dan daya beli masyarakat. Kinerja ekspor Januari hingga Maret 2016 menurun 14% dibanding periode yang sama pada 2015. Ekspor nonmigas juga anjlok 9,29% pada Maret 2016. Jika kita lihat lebih jeli, hampir semua sektor mengalami penurunan yang cukup tajam. Penurunan tajam pada 2015 terjadi pada sektor pertambangan sebesar -5,64% dan industri manufaktur hanya tumbuh 4,33%. Di beberapa daerah ancaman PHK jelas terlihat nyata. Sebut saja di Kalimantan Timur dengan tingkat PHK sebesar 10.721 orang disusul Jawa Barat dengan 10.291 orang. PHK massal ini imbas dari berakhirnya commodity boom seperti batu bara dan minyak mentah yang berdampak pada daerah penghasil sumber daya alam.

Paket Proburuh
Kembali pada paket kebijakan yang tidak proburuh. Paket Kebijakan I hingga XII lebih banyak membahas deregulasi, revisi daftar negatif investasi, dan sederet insentif untuk menarik minat investor. Sedangkan satu paket yang menyinggung buruh yaitu paket IV yang membahas formulasi kenaikan upah buruh justru dianggap sebagai bentuk kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada buruh. Permasalahan terletak pada penentuan formulasi upah ditentukan oleh inflasi dan pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan kelayakan hidup minimum. Sedangkan kenaikan kelayakan hidup minimum per tahun dianggap lebih tinggi dibandingkan inflasi yang nilainya kecil.

Paket kebijakan seharusnya tidak hanya bertujuan untuk membangkitkan dunia investasi an sich. Buruh di sektor formal perlu mendapatkan perhatian. Paket-paket progresif wajib dikeluarkan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan kaum buruh di sektor formal. Salah satunya penurunan iuran BPJS yang dirasa memberatkan buruh, terutama bagi buruh yang memiliki banyak anggota keluarga. Selain itu, merevisi kembali PP 78 Tahun 2015 tentang formulasi upah juga urgen untuk dimasukkan ke dalam paket kebijakan berikutnya.

Dari tantangan yang dihadapi buruh tadi dapat disimpulkan bahwa sumber kemelaratan buruh tidak hanya berasal dari kondisi perekonomian, tapi juga dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada buruh. Orientasi kebijakan yang berlebihan terhadap pelaku usaha dan tidak memedulikan buruh hanya akan membuat jurang ketimpangan makin lebar. Orang kaya pemilik pabrik bisa lebih tenang karena banyak insentif, sedangkan para buruh terus bergumul dengan mahalnya jaminan kesehatan dan upah murah. Yang terjadi justru kebijakan pemerintah kontraproduktif dalam memerangi ketimpangan pendapatan.

Paket kebijakan yang pincang sebelah juga berpotensi memperuncing konflik antara buruh dan pengusaha. Bukankah pemerintah ingin menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui paket-paket kebijakan tersebut? Upaya ini bisa gagal apabila buruh merasa kepentingannya tidak diakomodasi dalam paket kebijakan. Demo-demo buruh selalu dikutuk, tapi dasar dari tuntutan tersebut tidak pernah dibahas hingga tuntas. Padahal, buruh juga punya andil besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena itu, jangan buru-buru menyalahkan buruh jika produktivitasnya masih loyo, salahkan juga pemerintah, mengapa tidak mengikutsertakan kepentingan buruh dalam paket-paket kebijakan ekonominya.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6883 seconds (0.1#10.140)
pixels