Pendidik Tunatuladha

Senin, 02 Mei 2016 - 07:02 WIB
Pendidik Tunatuladha
Pendidik Tunatuladha
A A A
Jejen Musfah
Dosen Pascasarjana FITK UIN Jakarta dan Pemred Majalah “Suara Guru” PB PGRI

SISWA kelas enam, sembilan, dan dua belas akan segera masuk SMP/MTs, SMA/ MA, dan perguruan tinggi (PT). Meski setiap orang tua menginginkan pendidikan yang terbaik buat anak-anak mereka, sebagian besar orang tua tidak punya banyak pilihan sekolah dan PT buat anak-anaknya karena keterbatasan keuangan dan kemampuan anak-anak.

Anak-anak harus rela masuk sekolah dan PT yang tidak favorit karena persaingan sangat ketat. Dibutuhkan kecerdasan di atas rata-rata. Sekolah dan universitas favorit tidak hanya membutuhkan siswa yang pintar, tapi juga mereka yang berkantong tebal.

Jika hanya pintar, tapi tidak mampu, orang tua tidak akan memasukkan anaknya ke sekolah dan universitas favorit karena biayanya mahal, dari biaya masuk hingga biaya bulanan atau semester. Pendidikan bagus sangat mahal bagi kemampuan ekonomi mayoritas masyarakat bangsa ini.

Permintaan Bagi orang tua kaya kadang apa saja dilakukan asal anaknya bisa mendapatkan sekolah dan universitas favorit. Cara yang baik maupun buruk. Mulai dari mengikuti bimbingan belajar hingga menyuap.

Jika cara yang baik tidak berhasil, cara yang buruk akan ditempuh. Asal demi kepentingan masa depan anak tercinta, tindakan yang salah dianggap baik dan wajar. Orang tua menjadi lupa diri saat menyangkut kepentingan keluarga sendiri.

Kondisi ini dimanfaatkan oleh oknum pendidik (guru dan dosen) untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Mereka memanfaatkan posisinya sebagai pemimpin atau panitia penerimaan siswa atau mahasiswa baru untuk mendapatkan rupiah.

Hukum ekonomi berlaku, karena ada permintaan, dibukalah penawaran. Jual-beli kursi sekolah dan universitas kepada orang tua kaya terjadi setiap tahun ajaran baru. Meski si anak tidak lulus ujian, jika orang tua mampu membayar uang sejumlah tertentu, ia bisa lulus.

Bila cara di atas sangat tertutup karena berusaha ditutup-tutupi, cara universitas yang meminta orang tua untuk mengisi kemampuan mereka menyumbang kampus seandainya anak mereka lulus nanti adalah bentuk halus dan transparan praktik korupsi pendidikan. Kuota penerimaan mahasiswa diperjualbelikan dan sah secara hukum!

Joki ujian masuk adalah bentuk lain korupsi pendidikan yang intinya memanfaatkan uang demi kelulusan. Korupsi pendidikan tidak selamanya terkait pemberian uang dari yang dibantu kepada yang membantu. Kelulusan siswa dan mahasiswa, selain karena memang benar benar lulus, juga bisa karena faktor keluarga, teman, dan kedekatan lain. Hal ini bisa termasuk kategori korupsi jika yang bersangkutan seharusnya tidak lulus.

Kepemimpinan


Korupsi pendidikan dalam bentuk jual-beli kursi di sekolah dan universitas harus diperangi, terutama oleh pemimpin lembaga pendidikan. Kepala sekolah, dekan, dan rektor adalah guru dan dosen yang mendapat tugas tambahan. Mereka adalah pendidik yang harus memberikan teladan sebagaimana dikatakan Ki Hajar Dewantara, Ing Ngarsa sung Tuladha (Di Depan menjadi Contoh atau Panutan).

Meski praktik korupsi pendidikan terjadi di sekolah dan universitas, gaung memerangi praktik jual-beli kursi ini tidak terdengar nyaring karena mungkin melibatkan orang penting di sekolah dan universitas.

Dibutuhkan pemimpin pendidik yang tegas memerangi korupsi pendidikan sehingga orang-orang di sekolah dan universitas pada satu sisi, dan orang tua pada sisi yang lain, tidak berani melakukan tindakan koruptif.

Pertama, pemimpin harus menegakkan kode etik guru dan dosen, termasuk pada dirinya sendiri. Kasus jual-beli kursi akan terus berulang jika pelaku tidak dihukum berat, atau bahkan lolos dari jerat hukum—seperti tidak dilaporkan ke pihak yang berwajib demi menjaga nama baik sekolah atau universitas.Yang bersangkutan hanya diberi sanksi ringan berupa pemutasian.

Menurut Muriel Poisson (2010), jika implementasi kode etik guru dan dosen lemah, pemberantasan korupsi pendidikan akan sulit berhasil. Pemimpin teladan adalah mereka yang tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan orang-orang terdekatnya.

Mereka tidak terpengaruh atau dipengaruhi oleh kepentingan orang lain dalam mengambil kebijakan. Maka itu, pemimpin pendidikan, apakah itu kepala sekolah, dekan, atau rektor, harus bersih dari dugaan memanfaatkan jabatannya untuk penerimaan siswa atau mahasiswa baru.

Kedua, pencegahan korupsi pendidikan dengan membangun sistem yang transparan, kapasitas manajemen, dan kepemilikan publik terhadap proses administratif dan keuangan (Muriel Poisson, 2010: 23).

Data hasil tes ujian masuk sekolah dan universitas kadang tidak dibuka ke publik seperti berapa nilai mereka yang tidak lulus. Jika tes menggunakan wawancara, sangat besar unsur subjektivitas dan “permainan”-nya.

Meski sistem pengolahan hasil ujian hampir seluruhnya menggunakan komputer, program, dan sistem khusus tertentu, sehingga kemungkinan besar akurat jika orang yang memasukkan datanya tidak jujur karena kepentingan meluluskan orang-orang tertentu, datanya jelas akan “menjerumuskan” pengambil kebijakan.

Contohnya sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) daring (online) di Kota Tegal pada 2015-2016 diharapkan pihak Dinas Pendidikan setempat bisa transparan dan mencegah titipan dari orang tua (KORAN SINDO , 24 Mei 2015), bisa jadi efektif atau tidak, jika operatornya “nakal”.

Di sisi lain, siswa dan mahasiswa yang jelas tidak lulus pun bisa lulus jika ada political will pemimpin. Karena itu, kunci keberhasilan pemberantasan korupsi pendidikan terletak pada kualitas pendidik pemimpin yang memiliki kebijakan tertinggi, baik di sekolah maupun universitas.

Bukan saja ia harus mampu menahan diri dari godaan suap kuota kursi, tetapi juga harus menjamin bahwa pejabat dan staf di bawahnya bersikap yang sama. Dia harus melakukan kontrol dan monitoring terhadap proses pengolahan dan pengumuman hasil ujian. Lembaga pendidikan tidak pantas memiliki pemimpin yang tunatuladha .
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0811 seconds (0.1#10.140)