Menghargai Anak Buah

Rabu, 27 April 2016 - 09:34 WIB
Menghargai Anak Buah
Menghargai Anak Buah
A A A
WALI KOTA Jakarta Utara (Jakut) Rustam Effendi memilih mundur dari jabatannya untuk menghindari kekisruhan yang terjadi akhir-akhir ini.

Kekisruhan seperti apa, tentu publik sudah sangat tahu, yaitu persoalan banjir pekan lalu hingga tudingan dari Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terhadapnya. Rustam yang sepertinya tidak terima dengan tudingan itu pun melampiaskan buah pikirnya melalui media sosial.

Entah apakah memang tudingan itu yang menjadi alasan, namun jelas publik akan menebak ke arah itu. Siapa yang benar dalam persoalan ini, apakah Ahok atau Rustam? Sepertinya publik pun bisa menilai di tengah hiruk-pikuk informasi.

Kebenaran yang seperti apa terkadang masyarakat mempunyai penilaian yang berbeda-beda, bergantung pada cara pandang masing-masing.

Pun media tidak perlu melakukan judgment si A yang salah atau si B yang salah karena di tengah banjir informasi atau surplus informasi saat ini kebenaran menjadi bahan yang langkah. Daripada berspekulasi, akan lebih baik kembalikan ke masyarakat yang memberikan penilaian.

Isu tentang hubungan antara atasan (pimpinan) dan bawahan (anak buah), apalagi yang berkaitan dengan konflik, memang menarik. Bukan berpedoman pada bad news is good news. Jika ada bentuk ”perlawanan” dari bawahan, akan menjadi perbincangan yang menarik.

Banyak contoh kasus seperti era Presiden Megawati Soekarnoputri dengan menterinya saat itu yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat itu menjabat sebagai Menkopolhukam. Konflik antara bawahan dan atasan, atau mungkin lebih menarik disebut perlawanan dari anak buah, akan menjadi isu yang menarik.

Lalu, ketika Joko Widodo (Jokowi) saat masih menjabat Wali Kota Surakarta yang bersitegang dengan Gubernur Jawa Tengah saat itu yaitu Bibit Waluyo. Bukan hanya media lokal yang mengangkat isu tersebut, melainkan media-media nasional juga mengangkat isu tersebut.

Dari dua contoh di atas, siapa yang diuntungkan? Pada kasus Megawati dan SBY, akhirnya sang menteri yang justru naik menjadi presiden setelah Megawati. Begitu juga dengan Jokowi dan Bibit Waluyo, akhirnya Jokowi ”naik pangkat” menjadi gubernur DKI Jakarta, bahkan saat ini menjadi presiden.

Lalu, dalam kasus antara Ahok dan Rustam, apakah si wali kota yang akan diuntungkan, tentu ada faktor lain yang harus dipertimbangkan.

Mengapa di atas disebut dengan kata ”perlawanan” daripada konflik, karena di Indonesia yang dekat dengan budaya feodalisme, kata perlawanan terhadap pimpinan seolah hal tabu. Sehingga, ketika anak buah melakukan perlawanan terhadap atasan, akan lebih banyak masyarakat mencap si anak buah dengan kata pemberontak atau tak bisa diuntung.

Intinya, si anak buah akan mendapat penilaian negatif. Itu dalam kaca mata feodalisme. Namun, pada era terbuka atau demokrasi saat ini, tentu ”perlawanan” dari anak buah belum tentu sebuah hal negatif.

Pada era demokrasi ini, semestinya yang harus lebih jauh ditanyakan, kenapa si anak buah melakukan ”perlawanan”. Sehingga, ketika kita mengetahui alasannya, kita bisa memberikan penilaian apakah memang pantas atau tidak pantas melakukan perlawanan.

Cara berpikir seperti itu yang harus masyarakat pupuk sehingga ketika ada ”perlawanan” anak buah terhadap atasan bisa dinilai bukan dari perlawanannya, namun dari mengapa anak buah melawan.

Pada iklim keterbukaan (sehingga terjadi surplus informasi), masyarakat akan lebih mudah menggali informasi lebih banyak lantas memberikan penilaian. Bukan memberikan penilaian terlebih dulu baru menggali informasi.

Perlawanan dari anak buah bisa dikurangi atau bahkan dihindari jika si atasan bisa menghargai anak buahnya. Menghargai dalam segala hal, baik kinerja atau bahkan kehidupan pribadinya.

Sebagai anak buah, tentu ada hak-hak yang harus dihargai. Dan, si anak buah juga sudah tahu posisi dia di bawah atasannya. Namun, ketika kinerja ataupun ihwal lain tak dihargai, akan timbul perlawanan.

Menghargai anak buah cukup penting bagi seorang pemimpin. Jika tidak, kasus seperti Megawati-SBY atau Bibit-Jokowi akan terus terulang. Dan, Anda tahu siapa yang akan diuntungkan.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5436 seconds (0.1#10.140)