WNA Bebas Beli Rumah
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah menerbitkan aturan kepemilikan rumah atau hunian bagi warga negara asing (WNA). Kebijakan itu mengatur secara detail bagi WNA pemegang izin tinggal di Indonesia untuk memiliki rumah tunggal hingga satuan rumah susun.
Namun, WNA yang berminat membeli rumah atau hunian harus memenuhi persyaratan khusus, adalah mereka yang sedang melakukan investasi langsung, misalnya untuk pengembangan infrastruktur di Indonesia. Pemerintah menyatakan aturan itu diterbitkan sebagai insentif bagi WNA yang berinvestasi di Indonesia. Dan, bukan investasi dalam pengertian jual-beli unit properti.
Dengan dikeluarkannya tata cara kepemilikan rumah atau hunian bagi WNA yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No 13 Tahun 2016, tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, pemerintah berharap tak ada lagi polemik soal boleh tidaknya WNA memiliki rumah atau hunian di Indonesia. Sebagaimana ditegaskan Menteri ATR/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan bahwa aturan ini sebagai insentif bagi WNA yang berinvestasi di Indonesia maka yang tidak berinvestasi jangan harap dapat memiliki rumah atau hunian.
Meski sebagai insentif untuk memudahkan investor asing yang menanamkan modal di Indonesia, tetap ada aturan yang mengikat di antaranya rumah atau hunian yang sudah dibeli tidak boleh disewakan. Alasannya sederhana, kebijakan tersebut sebagai salah satu pemanis menarik investor dari luar negeri.
Masalahnya, kalau rumah yang dibeli WNA lalu disewakan lagi, misalnya kepada warga negara Indonesia (WNI), artinya uang sewa yang dikeluarkan lari lagi ke luar negeri. Berarti bertentangan dengan semangat dan tujuan aturan tersebut, yakni menarik investor asing sebanyak-banyaknya untuk menanamkan modal di Indonesia.
Walau tak bisa disewakan, pemerintah tetap memberi perhatian khusus kepada WNA yang sudah memiliki rumah dan hunian. Sebagaimana diungkapkan Ferry Mursyidan bahwa rumah atau hunian itu dapat diwariskan kepada anak-cucu, di mana ahli waris mendapatkan fasilitas yang sama seperti pemilik sebelumnya. Dengan ketentuan seperti yang tertuang pada Pasal 5 Ayat 2 Permen No 13 Tahun 2016 bahwa waris dan ahli waris yang merupakan orang asing harus memenuhi persyaratan, yakni izin menetap di Indonesia yang diterbitkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Lalu, bagaimana ahli waris yang tidak menetap atau tidak memenuhi persyaratan tinggal di Indonesia? Segala sesuatu yang menyangkut pemindahtanganan aset WNA, seperti ditegaskan Ferry Mursyidan Baldan sudah diatur sedemikian rupa yang intinya tak akan merugikan pemilik rumah atau hunian. Memang, pemerintah mengakui bahwa ahli waris diharuskan melepasnya dalam jangka waktu satu tahun. Batas waktu yang singkat tersebut bukan perkara mudah untuk melepas aset.
Bagaimana kalau aset tak kunjung berpindah tangan? Pemerintah akan menggunakan instrumen lelang oleh negara. Dana hasil lelang menjadi hak ahli waris setelah dikurangi biaya lelang.
Selain mengatur soal ahli waris, Permen tersebut sebagaimana tercantum dalam lampiran juga menetapkan harga rumah atau hunian berdasarkan wilayah. Untuk rumah satuan termurah di Jakarta seharga Rp10 miliar dan sebesar Rp5 miliar untuk wilayah Banten, Jawa Barat (Jabar), Jawa Timur (Jatim), lalu sebesar Rp3 miliar di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali. Dan, wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB), Sumatera Utara (Sumut), Kalimantan Timur (Kaltim), Sulawesi Selatan (Sulsel) sebesar Rp2 miliar.
Untuk rumah susun termurah di Jakarta seharga Rp5 miliar. Dan, wilayah Banten, Jabar, Yogyakarta sebesar Rp1 miliar. Bagi wilayah Jatim sebesar Rp1,5 miliar dan Bali sebesar Rp2 miliar. Sedangkan wilayah NTB, Sumut, Kaltim, Sulsel sebesar Rp1 miliar. Pembelian langsung pada tangan pertama yakni pengembang atau pemilik aset.
Lain negara lain aturan. Bandingkan proses kepemilikan rumah atau hunian WNA di Singapura atau Australia tidak ada embel-embel harus berinvestasi di negara itu. Dari WNA mana pun kalau sanggup membeli properti di negara tersebut, langsung bisa eksekusi. Dan, pembelian properti oleh WNA di Singapura dan Australia didominasi oleh orang kaya Indonesia.
Namun, WNA yang berminat membeli rumah atau hunian harus memenuhi persyaratan khusus, adalah mereka yang sedang melakukan investasi langsung, misalnya untuk pengembangan infrastruktur di Indonesia. Pemerintah menyatakan aturan itu diterbitkan sebagai insentif bagi WNA yang berinvestasi di Indonesia. Dan, bukan investasi dalam pengertian jual-beli unit properti.
Dengan dikeluarkannya tata cara kepemilikan rumah atau hunian bagi WNA yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No 13 Tahun 2016, tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, pemerintah berharap tak ada lagi polemik soal boleh tidaknya WNA memiliki rumah atau hunian di Indonesia. Sebagaimana ditegaskan Menteri ATR/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan bahwa aturan ini sebagai insentif bagi WNA yang berinvestasi di Indonesia maka yang tidak berinvestasi jangan harap dapat memiliki rumah atau hunian.
Meski sebagai insentif untuk memudahkan investor asing yang menanamkan modal di Indonesia, tetap ada aturan yang mengikat di antaranya rumah atau hunian yang sudah dibeli tidak boleh disewakan. Alasannya sederhana, kebijakan tersebut sebagai salah satu pemanis menarik investor dari luar negeri.
Masalahnya, kalau rumah yang dibeli WNA lalu disewakan lagi, misalnya kepada warga negara Indonesia (WNI), artinya uang sewa yang dikeluarkan lari lagi ke luar negeri. Berarti bertentangan dengan semangat dan tujuan aturan tersebut, yakni menarik investor asing sebanyak-banyaknya untuk menanamkan modal di Indonesia.
Walau tak bisa disewakan, pemerintah tetap memberi perhatian khusus kepada WNA yang sudah memiliki rumah dan hunian. Sebagaimana diungkapkan Ferry Mursyidan bahwa rumah atau hunian itu dapat diwariskan kepada anak-cucu, di mana ahli waris mendapatkan fasilitas yang sama seperti pemilik sebelumnya. Dengan ketentuan seperti yang tertuang pada Pasal 5 Ayat 2 Permen No 13 Tahun 2016 bahwa waris dan ahli waris yang merupakan orang asing harus memenuhi persyaratan, yakni izin menetap di Indonesia yang diterbitkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Lalu, bagaimana ahli waris yang tidak menetap atau tidak memenuhi persyaratan tinggal di Indonesia? Segala sesuatu yang menyangkut pemindahtanganan aset WNA, seperti ditegaskan Ferry Mursyidan Baldan sudah diatur sedemikian rupa yang intinya tak akan merugikan pemilik rumah atau hunian. Memang, pemerintah mengakui bahwa ahli waris diharuskan melepasnya dalam jangka waktu satu tahun. Batas waktu yang singkat tersebut bukan perkara mudah untuk melepas aset.
Bagaimana kalau aset tak kunjung berpindah tangan? Pemerintah akan menggunakan instrumen lelang oleh negara. Dana hasil lelang menjadi hak ahli waris setelah dikurangi biaya lelang.
Selain mengatur soal ahli waris, Permen tersebut sebagaimana tercantum dalam lampiran juga menetapkan harga rumah atau hunian berdasarkan wilayah. Untuk rumah satuan termurah di Jakarta seharga Rp10 miliar dan sebesar Rp5 miliar untuk wilayah Banten, Jawa Barat (Jabar), Jawa Timur (Jatim), lalu sebesar Rp3 miliar di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali. Dan, wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB), Sumatera Utara (Sumut), Kalimantan Timur (Kaltim), Sulawesi Selatan (Sulsel) sebesar Rp2 miliar.
Untuk rumah susun termurah di Jakarta seharga Rp5 miliar. Dan, wilayah Banten, Jabar, Yogyakarta sebesar Rp1 miliar. Bagi wilayah Jatim sebesar Rp1,5 miliar dan Bali sebesar Rp2 miliar. Sedangkan wilayah NTB, Sumut, Kaltim, Sulsel sebesar Rp1 miliar. Pembelian langsung pada tangan pertama yakni pengembang atau pemilik aset.
Lain negara lain aturan. Bandingkan proses kepemilikan rumah atau hunian WNA di Singapura atau Australia tidak ada embel-embel harus berinvestasi di negara itu. Dari WNA mana pun kalau sanggup membeli properti di negara tersebut, langsung bisa eksekusi. Dan, pembelian properti oleh WNA di Singapura dan Australia didominasi oleh orang kaya Indonesia.
(kri)