Ke Mana Dimensi Manusia?
A
A
A
M Alfan Alfian
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta
ENTAH mengapa setiap kali penggusuran dilakukan atas nama pembangunan, benak saya tergiang-ngiang kembali buku karya Soedjatmoko ”Dimensi Manusia dalam Pembangunan ” (1986). Buku ini menghimpun sejumlah karangan dengan benang merah, tak jauh dari konteks ”dimensi manusia”.
Kalau dibahasapancasilakan, berarti dimensi sila kedua, ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” yang bermuara pada sila kelima tentang keadilan sosial. Jadi, dimensi manusia tak lepas dari konteks keadilan dan keadaban.
Pembangunan yang berdimensi manusia tidak ingin tergesa-gesa memenangkan kepentingan kapitalisme. Kepentingan kaum kapital itu sering kamuflatif, kalau bukan manipulatif mengatasnamakan demi kemajuan dan kesejahteraan. Bahwa kita butuh kapital dalam pembangunan, tidaklah ia terpungkiri.
Percepatan pembangunan butuh kapital yang besar. Tetapi ia harus tetap diimbangi pertimbangan pokok bahwa pembangunan tidak boleh eksesif, membabi-buta sedemikian rupa sehingga dimensi manusia justru terpinggirkan.
Dimensi kapital sering mengabaikan kepentingan yang lebih besar bagi kemakmuran rakyat, kecuali menghimpun pundi-pundi kekayaan bagi segelintir golongan kapitalis. Dalam logika mereka, dimensi manusia direduksi sekadar ke dalam ukuran-ukuran materi. Masyarakat yang terpinggirkan itu memang sudah bagian dari proses sejarah.
Kelompok yang berkapital akhirnya yang menentukan masa depan kesejahteraan masyarakat dengan pendekatan ”kebaikan hati”. Maka, keadilan ialah apabila golongan kapitalis kaya bermurah hati menyedekahi yang lain.
***
Apakah konsep ”corporate social responsibility” (CSR) berangkat dari paradigma seperti itu? Para pembelanya tentu akan mengatakan tidak. CSR dikonstruksikan sebagai ikhtiar perusahaan-perusahaan untuk mengejawantahkan dimensi manusia itu sendiri.
Tidak hanya konsep CSR, tetapi konsep-konsep yang canggih tentang pengembangan organisasi bisnis modern selalu dibentengi oleh hal ihwal profesionalisme dan etika bisnis dalam bingkai ”good corporate governance” alias tata kelola perusahaan yang ideal. Kalau itu diterapkan secara konsisten dan benar, ”dimensi manusia” tidak akan jauh-jauh ditinggalkan, kecuali diikutsertakan.
Apakah dalam pembangunan kita—apalagi dalam hal ini pemerintah—harus membela kaum kapital tanpa pandang bulu? Tidak. Dimensi kemanusiaan harus diprioritaskan sehingga konsekuensinya proses pembangunan tetap harus partisipatif dan deliberatif.
Tidaklah boleh masyarakat dibiarkan tidak berdaya oleh rencana-rencana pembangunan pemerintah, kecuali harus dilakukan dengan dialog yang seimbang. Pemerintah tidak boleh lagi bertindak memakai pendekatan-pendekatan lama dalam menggusur masyarakat dengan cara-cara intimidatif dan kekerasan. Kalau demikian apa artinya reformasi? Manakala pola-pola demikian masih dipertahankan, sementara pemerintah (daerah) tidak lagi mau mengdepankan kesabaran proses?
Setelah sekian tahun reformasi membalik wajah politik Indonesia di pusat dan daerah-daerah, maka perlu evaluasi serius paradigma dan praktik pembangunan kita. Penetrasi kapital besar-besaran di mana-mana tidak boleh kebablasan alias eksesif.
Kapital dibutuhkan dalam pembangunan untuk sesuatu yang konstruktif bagi kemajuan dalam bingkai dimensi manusia, bukan malah menjadikan sebagian besar daripada manusianya mengalami keterasingan dan keterpinggiran. Kita tidak ingin kapitalisme berkembang tanpa kontrol dan membabat habis dimensi manusia.
Itu semua membutuhkan komitmen dan konsistensi para pemimpin atau elite semua bidang. Untuk siapa pembangunan dilakukan? Segelintir elite atau masyarakat atau publik luas?
Semua pihak terutama penentu kebijakan tidak boleh membiarkan kesenjangan sosial dan ekonomi semakin melebar. Kalau tidak, maka ia hanya menyuburkan saja benih-benih revolusi sosial. Jadi, masalah pendekatan dalam pembangunan penting dilihat.
***
Hal yang tak kalah pentingnya pembangunan nasional, termasuk di dalamnya pembangunan-pembangunan di daerah, yang bagaimanapun harus dirangkai oleh kepentingan nasional dan wawasan kebangsaan. Pembangunan nasional tidak boleh lepas dari dimensi integrasi dan ketahanan bangsa.
Memang kita hidup di era globalisasi, tetapi bukan berarti pembangunan dilepas begitu saja dari konteks nasionalisme. Kalau tidak, bukan tidak mungkin pembangunan nasional kita malah menjadikan masyarakat atau rakyat Indonesia (meminjam istilah Emha Ainun Nadjib) sebagai ”gelandangan di rumah sendiri”.
Bagaimanapun, Indonesia merupakan negara yang konstruksi dasarnya didesain oleh The Founding Fathers, sebagai kekuatan besar yang dibingkai Pancasila yang jelas-jelas menggaris konteks dimensi manusia dalam pembangunan. Liberalisasi politik, dan terutama ekonomi, dewasa ini tidak boleh dibiarkan begitu saja menggilas masyarakat atau rakyat Indonesia.
Mereka harus dibekali kemampuan sumber daya manusia yang cukup sehingga mampu bertahan dan bersaing. Maka sudah menjadi kewajiban utama manakala negara berpihak kepada rakyatnya ketimbang segelintir kapitalis yang eksesif.
Bukan berarti pengambil kebijakan itu harus antikapital, tetapi regulasinya harus adil dan berdimensi afirmatif bagi rakyat. Negara tidak boleh membiarkan rakyatnya kalah bersaing, dengan menerapkan kebijakan-kebijakan pemberdayaan dan kemandirian yang sejati.
Tetapi utopiskah hal seperti itu di tengah-tengah iklim politik dan ekonomi yang serbapragmatis-transaksional? Ini ujian bagi semua. Dan, di sinilah peran pemimpin (pusat dan daerah) untuk menggelorakan, memotivasi, dan menggerakkan.
Memang tidak mudah dan perlu ikhtiar panjang tak pernah henti. Dalam era kepemimpinan demokrasi elektoral dewasa ini sesungguhnya kita masih dihadapkan dilema. Satu sisi krisis legitimasi politik terpecahkan, di sisi lain justru kita mengalami masalah-masalah pelik dalam pendekatan dan proses pembangunan, terutama di daerah-daerah.
Maka semakin disadarilah kini pentingnya operasionalisasi checks and balances dalam rangka memastikan bahwa dimensi manusia dalam pembangunan tak terabaikan. Dan itu menjadi tugas semua pihak seperti; partai-partai politik, birokrasi, media massa, hingga aparat keamanan. Juga ormas dan LSM, pemuda dan mahasiswa, dan aktor-aktor strategis ”civil society” lain. Tanpa checks and balances, dimensi manusia sekadar menjadi petinju yang terpojok di sudut ring, menerima pukulan bertubi-tubi dari lawannya yang jauh lebih kekar dan kuat.
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta
ENTAH mengapa setiap kali penggusuran dilakukan atas nama pembangunan, benak saya tergiang-ngiang kembali buku karya Soedjatmoko ”Dimensi Manusia dalam Pembangunan ” (1986). Buku ini menghimpun sejumlah karangan dengan benang merah, tak jauh dari konteks ”dimensi manusia”.
Kalau dibahasapancasilakan, berarti dimensi sila kedua, ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” yang bermuara pada sila kelima tentang keadilan sosial. Jadi, dimensi manusia tak lepas dari konteks keadilan dan keadaban.
Pembangunan yang berdimensi manusia tidak ingin tergesa-gesa memenangkan kepentingan kapitalisme. Kepentingan kaum kapital itu sering kamuflatif, kalau bukan manipulatif mengatasnamakan demi kemajuan dan kesejahteraan. Bahwa kita butuh kapital dalam pembangunan, tidaklah ia terpungkiri.
Percepatan pembangunan butuh kapital yang besar. Tetapi ia harus tetap diimbangi pertimbangan pokok bahwa pembangunan tidak boleh eksesif, membabi-buta sedemikian rupa sehingga dimensi manusia justru terpinggirkan.
Dimensi kapital sering mengabaikan kepentingan yang lebih besar bagi kemakmuran rakyat, kecuali menghimpun pundi-pundi kekayaan bagi segelintir golongan kapitalis. Dalam logika mereka, dimensi manusia direduksi sekadar ke dalam ukuran-ukuran materi. Masyarakat yang terpinggirkan itu memang sudah bagian dari proses sejarah.
Kelompok yang berkapital akhirnya yang menentukan masa depan kesejahteraan masyarakat dengan pendekatan ”kebaikan hati”. Maka, keadilan ialah apabila golongan kapitalis kaya bermurah hati menyedekahi yang lain.
***
Apakah konsep ”corporate social responsibility” (CSR) berangkat dari paradigma seperti itu? Para pembelanya tentu akan mengatakan tidak. CSR dikonstruksikan sebagai ikhtiar perusahaan-perusahaan untuk mengejawantahkan dimensi manusia itu sendiri.
Tidak hanya konsep CSR, tetapi konsep-konsep yang canggih tentang pengembangan organisasi bisnis modern selalu dibentengi oleh hal ihwal profesionalisme dan etika bisnis dalam bingkai ”good corporate governance” alias tata kelola perusahaan yang ideal. Kalau itu diterapkan secara konsisten dan benar, ”dimensi manusia” tidak akan jauh-jauh ditinggalkan, kecuali diikutsertakan.
Apakah dalam pembangunan kita—apalagi dalam hal ini pemerintah—harus membela kaum kapital tanpa pandang bulu? Tidak. Dimensi kemanusiaan harus diprioritaskan sehingga konsekuensinya proses pembangunan tetap harus partisipatif dan deliberatif.
Tidaklah boleh masyarakat dibiarkan tidak berdaya oleh rencana-rencana pembangunan pemerintah, kecuali harus dilakukan dengan dialog yang seimbang. Pemerintah tidak boleh lagi bertindak memakai pendekatan-pendekatan lama dalam menggusur masyarakat dengan cara-cara intimidatif dan kekerasan. Kalau demikian apa artinya reformasi? Manakala pola-pola demikian masih dipertahankan, sementara pemerintah (daerah) tidak lagi mau mengdepankan kesabaran proses?
Setelah sekian tahun reformasi membalik wajah politik Indonesia di pusat dan daerah-daerah, maka perlu evaluasi serius paradigma dan praktik pembangunan kita. Penetrasi kapital besar-besaran di mana-mana tidak boleh kebablasan alias eksesif.
Kapital dibutuhkan dalam pembangunan untuk sesuatu yang konstruktif bagi kemajuan dalam bingkai dimensi manusia, bukan malah menjadikan sebagian besar daripada manusianya mengalami keterasingan dan keterpinggiran. Kita tidak ingin kapitalisme berkembang tanpa kontrol dan membabat habis dimensi manusia.
Itu semua membutuhkan komitmen dan konsistensi para pemimpin atau elite semua bidang. Untuk siapa pembangunan dilakukan? Segelintir elite atau masyarakat atau publik luas?
Semua pihak terutama penentu kebijakan tidak boleh membiarkan kesenjangan sosial dan ekonomi semakin melebar. Kalau tidak, maka ia hanya menyuburkan saja benih-benih revolusi sosial. Jadi, masalah pendekatan dalam pembangunan penting dilihat.
***
Hal yang tak kalah pentingnya pembangunan nasional, termasuk di dalamnya pembangunan-pembangunan di daerah, yang bagaimanapun harus dirangkai oleh kepentingan nasional dan wawasan kebangsaan. Pembangunan nasional tidak boleh lepas dari dimensi integrasi dan ketahanan bangsa.
Memang kita hidup di era globalisasi, tetapi bukan berarti pembangunan dilepas begitu saja dari konteks nasionalisme. Kalau tidak, bukan tidak mungkin pembangunan nasional kita malah menjadikan masyarakat atau rakyat Indonesia (meminjam istilah Emha Ainun Nadjib) sebagai ”gelandangan di rumah sendiri”.
Bagaimanapun, Indonesia merupakan negara yang konstruksi dasarnya didesain oleh The Founding Fathers, sebagai kekuatan besar yang dibingkai Pancasila yang jelas-jelas menggaris konteks dimensi manusia dalam pembangunan. Liberalisasi politik, dan terutama ekonomi, dewasa ini tidak boleh dibiarkan begitu saja menggilas masyarakat atau rakyat Indonesia.
Mereka harus dibekali kemampuan sumber daya manusia yang cukup sehingga mampu bertahan dan bersaing. Maka sudah menjadi kewajiban utama manakala negara berpihak kepada rakyatnya ketimbang segelintir kapitalis yang eksesif.
Bukan berarti pengambil kebijakan itu harus antikapital, tetapi regulasinya harus adil dan berdimensi afirmatif bagi rakyat. Negara tidak boleh membiarkan rakyatnya kalah bersaing, dengan menerapkan kebijakan-kebijakan pemberdayaan dan kemandirian yang sejati.
Tetapi utopiskah hal seperti itu di tengah-tengah iklim politik dan ekonomi yang serbapragmatis-transaksional? Ini ujian bagi semua. Dan, di sinilah peran pemimpin (pusat dan daerah) untuk menggelorakan, memotivasi, dan menggerakkan.
Memang tidak mudah dan perlu ikhtiar panjang tak pernah henti. Dalam era kepemimpinan demokrasi elektoral dewasa ini sesungguhnya kita masih dihadapkan dilema. Satu sisi krisis legitimasi politik terpecahkan, di sisi lain justru kita mengalami masalah-masalah pelik dalam pendekatan dan proses pembangunan, terutama di daerah-daerah.
Maka semakin disadarilah kini pentingnya operasionalisasi checks and balances dalam rangka memastikan bahwa dimensi manusia dalam pembangunan tak terabaikan. Dan itu menjadi tugas semua pihak seperti; partai-partai politik, birokrasi, media massa, hingga aparat keamanan. Juga ormas dan LSM, pemuda dan mahasiswa, dan aktor-aktor strategis ”civil society” lain. Tanpa checks and balances, dimensi manusia sekadar menjadi petinju yang terpojok di sudut ring, menerima pukulan bertubi-tubi dari lawannya yang jauh lebih kekar dan kuat.
(poe)