Dua Sistem Ujian Nasional

Senin, 11 April 2016 - 13:59 WIB
Dua Sistem Ujian Nasional
Dua Sistem Ujian Nasional
A A A
Azaki Khoirudin
Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM)

UJIAN nasional (UN) tingkat SMA/sederajat telah berlangsung pada 4-6 April 2016. Menariknya, pada UN 2016 kali ini merupakan irisan dari KTSP 2006 dan Kurikulum 2013. Artinya Kurikulum KTSP 2006 dan Kurikulum 2013 belum pernah diajarkan kepada siswa yang tahun ini sedang UN. Sangat mungkin soal yang diujikan belum pernah dipelajari oleh siswa karena adanya perbedaan kurikulum. Di sinilah letak kelucuan dunia pendidikan kita. Lagi-lagi siswa selalu menjadi korban kebijakan pemerintah.

Dari segi sistem, UN 2016 sangat berbeda dengan UN sebelumnya. Pada UN 2016 mulai diterapkan sistem computer based test (CBT) atau UNBK (ujian nasional berbasis komputer). Sekitar 2.000 dari 11.000-an peserta menjalankan UNBK, 8.000-an sisanya menggunakan LJK seperti tahun-tahun sebelumnya. Sebenarnya sistem CBT sangat baik jika diterapkan kepada menyeluruh sekolah. Namun, jika hanya sebagian, hal itu akan membuka peluang siswa untuk melakukan kecurangan.

Kenyataannya, yang terjadi di lapangan adalah UNBK hanya dapat dimulai pada sebagian peserta. Tidak sampai 20% persentasenya. UNBK dilaksanakan satu mata pelajaran per hari, UNLJK dua mata pelajaran per hari. UNBK dilaksanakan tiga sesi per hari, sedangkan UNLJK dilaksanakan satu sesi per hari. Sepintas memang tidak ada yang janggal. Pembagian waktu pada dasarnya sah-sah saja. Namun kenyataannya, pembagian waktu membuat ketidakseimbangan bagi peserta UN.

Peserta UNBK sudah pasti diuntungkan karena hanya ada satu mata pelajaran yang diujikan dalam sehari, sedangkan dalam UNLJK ada dua mata pelajaran per hari. Dampaknya adalah sebagian peserta UNBK dirugikan. Karena mereka mendapatkan sesi 2 atau sesi 3 yang dilaksanakan siang hari, pada waktu yang lazimnya digunakan untuk istirahat. UNBK membutuhkan waktu 6 hari, sedangkan UNLJK hanya membutuhkan waktu 3 hari. UNLJK akan selesai lebih dahulu daripada UNBK. Itu berarti ada banyak sekali kesempatan bagi peserta UNBK mendapatkan soal-soal UNLJK yang telah dikerjakan pada hari tersebut. Soal-soal yang didapat jelas bisa digunakan karena sebagian mata pelajaran UNBK belum diujikan.

Bisa saja kita mengasumsikan bahwa ada ratusan paket yang memungkinkan untuk diujikan pada UNBK. Tapi kenyataannya soal-soal UNBK banyak sekali yang sama persis dengan UNLJK. Itu berarti siswa yang mengetahui soal dan jawaban UNLJK akan dengan mudah menjawab soal tersebut. Karena tinggal "klik" sesuai dengan soal dan jawaban yang telah dipelajari dari soal UNLJK. Di sinilah kesempatan-kesempatan siswa untuk melakukan kecurangan.

Belum lagi persoalan pada pelaksanaan UNBK yang berada di ruangan. UN diawasi oleh guru dari sekolah yang bersangkutan. Bukan pengawas dari sekolah lain seperti UNLJK. Bisa saja sistem dipercaya, program komputer dipercaya, tapi itu tidak adil bagi peserta UNLJK. Peserta UNLJK mati-matian menjaga sikap dan mengatasi tekanan karena diawasi oleh guru dari sekolah lain, sedangkan peserta UNBK sekedar dijaga oleh guru sendiri. Guru dari sekolah bersangkutan sangat mungkin menginginkan nilai para siswa berkualifikasi baik. Sedangkan guru dari sekolah lain pastinya fokus dengan tugas menjadi pengawas tanpa peduli nilai siswa yang diawasi.

Pada UNLJK, satu meja untuk satu peserta. Jarak antar peserta sangat jauh, walhasil interaksi yang dapat dilakukan pun sangat minim. Kemungkinan curang menjadi sangat minim. Tidak begitu dengan UNBK, jarak antarpeserta begitu berdekatan. Sangat rentan terjadi kecurangan, pun jika tidak curang sangat mudah terjadi satu siswa melihat soal siswa lainnya. Karena kebanyakan soal hanya berbeda posisi dan bukan berbeda konten soalnya. Besar kemungkinan soal yang dilihat muncul di paket soal yang dikerjakan. Sangat dimungkinkan untuk saling contek antarpeserta UN.

***
Memang dulu nilai UN memiliki posisi yang sangat sakral, sekaligus menyeramkan, karena sebagai penentu kelulusan. Saat ini tidak, kelulusan bukan lagi dinilai oleh tinggi-rendahnya nilai UN. UN memiliki fungsi baru, sebagai tolok ukur kompetensi siswa serta menjadi pertimbangan penerimaan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Betapapun baiknya tujuan UN, sistem yang curang membuat keleluasaan justru berbalik menjadi malapetaka. Peserta UNBK yang mendapatkan kemudahan (untuk curang) memiliki peluang meraih nilai yang lebih tinggi daripada peserta UNLJK yang sangat ketat pelaksanaannya.

UN 2016 merupakan tahun ke-11 dalam pelaksanaan UN SMA di Indonesia, sudah melampaui usia 1 dekade. Namun kecurangan terus-terusan terjadi, bahkan sekarang ketika sistem berganti, hal itu justru membuka banyak kesempatan terjadinya kecurangan. Dan banyak sekali persoalan yang terjadi akibat UN. Karena itu, UN harus segera dihapuskan. Disengaja atau tidak, disadari atau tidak, diakui atau tidak, saat ini bukan lagi siswa, guru, ataupun oknum-oknum pejabat yang curang. Justru sistem UN yang mengajarkan kecurangan.

Asumsi siswa tidak akan belajar jika tidak ada UN harus segera dihapuskan. Karena ini jelas analisis pedagang yang melihat manusia sebagai barang dalam transaksi dagang: tidak ada barang, tidak ada uang. Sudah cukuplah UN menghasilkan manusia-manusia robot yang tak punya empati dan moral. Siswa belajar tiga tahun bukan untuk UN, tetapi menemukan keunikan, bakat, dan minat yang mengantarkannya menjadi insan paripurna yang berguna bagi masyarakat.
Pemerintah dan jajarannya sibuk mencegah kecurangan dilakukan pejabat dan guru, pelaku yang terkait pembocoran soal maupun kunci jawaban ditangkap dan diancam hukuman pidana. Tapi, ternyata, kecurangan masih saja terjadi. Sekali lagi yang salah bukanlah pelajar, tetapi sistem UN yang tidak cocok diterapkan di Indonesia. Jadi mau diubah berkali-kali sistem UN seperti apa pun, tanpa disertai dengan peningkatan mutu pendidikan, hasilnya nonsen, "nol".
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9486 seconds (0.1#10.140)