Politik dan Kecerdasan Komunikasi

Jum'at, 08 April 2016 - 16:28 WIB
Politik dan Kecerdasan...
Politik dan Kecerdasan Komunikasi
A A A
Iding Rosyidin
Ketua Program Studi Ilmu Politik
FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

MENARIK, mencermati reaksi politik yang dilakukan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, atas pemecatan dirinya yang dilakukan oleh partainya, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Fahri menganggap tindakan partainya itu sebagai cacat hukum, dan merasa dirinya tidak bersalah atas semua perilakunya. Oleh karena itu, Fahri secara tegas menolak pemecatan tersebut dan akan membawa kasusnya ke pengadilan.

Isu pemecatan Fahri Hamzah sebenarnya sudah terdengar cukup lama. Hal itu terkait dengan berbagai tindakan dan ucapannya yang dianggap kontroversial, sehingga dianggap banyak merugikan PKS sebagai institusi partai. Tidak sedikit kata-kata yang dikeluarkan Fahri justru berseberangan dengan garis kebijakan partai. Alhasil, PKS kerap merasa kebakaran jenggot dengan ucapan-ucapan Fahri tersebut sehingga kemudian sibuk melakukan klarifikasi.

Pertanyaannya adalah, pentingkah keberadaan orang-orang yang dianggap bersuara vokal di lembaga eksekutif dan bagaimana seharusnya mereka melakukan komunikasi publik? Lalu bagaimana tindakan partai politik yang memecat anggotanya karena dianggap terlalu vokal seperti yang PKS terhadap Fahri Hamzah sekarang?

Komunikasi yang Cerdas
Banyak kalangan yang sebenarnya tidak keberatan dengan gaya komunikasi politik Fahri Hamzah. Meminjam istilah Edward T Hall (1976) gaya komunikasi Fahri cenderung sebagai komunikasi konteks rendah (low context communication). Karakteristik gaya komunikasi seperti ini adalah cenderung berkata apa adanya, berterus terang, tanpa tedeng aling-aling, menyerang secara langsung atau straight forward. Dalam sejumlah kasus, Fahri memang sering memperlihatkan gaya komunikasi yang konteks rendah tersebut.

Tentu saja gaya komunikasi seperti ini rawan terhadap risiko penentangan, pengecaman, terutama di negara yang masih didominasi budaya politik Jawa yang kental dengan gaya komunikasi tinggi (high context communication) sebagai lawannya. Tidak heran kalau dalam sejumlah kasus, Fahri kerap menjadi bahan cemoohan, cacian (bully), terutama di media-media sosial seperti Facebook dan Twitter.

Namun demikian, gaya komunikasi konteks rendah tidak berarti tidak dapat digunakan sama sekali dalam konteks politik Indonesia. Sepanjang sesuai dengan aspirasi publik, gaya komunikasi seperti ini sebenarnya tidaklah selalu bermasalah. Di situlah perlunya seorang komunikator –khususnya komunikator politik– cerdas dalam menyampaikan pesan-pesannya kepada publik.

Masalahnya, Fahri justru memiliki problem dalam konteks bagaimana ia menyampaikan pesan-pesan politiknya ke publik. Ia malah kerap bersuara keras dan lantang pada isu-isu yang sesungguhnya disukai publik. Contoh paling jelas adalah suara kerasnya terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan, ia menyerukan untuk membubarkan lembaga penegakan hukum tersebut.

Ia juga menuduh kalangan yang tidak mendukung revisi undang-undang (UU) KPK di DPR sebagai sok pahlawan dan penakut. Suara minor Fahri terhadap KPK ternyata tidak kali ini saja, tetapi sudah berlangsung sejak lama.

Disadari atau tidak, Fahri tampaknya memosisikan dirinya melawan publik. Bagaimanapun (terlepas dari kekurangannya), KPK sampai saat ini merupakan lembaga penegakan hukum yang paling dipercaya publik. Bukti-bukti pengungkapan kasus korupsi yang sebagian di antaranya melibatkan elite-elite politik di negeri ini jelas sulit dibantah. Bandingkan dengan bukti serupa yang dilakukan aparat penegak hukum lainnya, seperti kepolisian dan kejaksaan.

Seharusnya Fahri Hamzah lebih cerdas dalam melakukan kritik terhadap KPK. Publik pun sebenarnya tahu bahwa lembaga penegakan hukum seperti KPK pasti tidak dapat melakukan tugasnya dengan sempurna.

Selalu ada peluang-peluang untuk penyelewengan atau lepas dari koridor hukum seperti dalam penyelesaian sebuah kasus korupsi. Bukan tidak mungkin ada tarikan atau tekanan politik yang bisa menyeret lembaga ini menjadi semacam "alat politik" bagi yang berkuasa.

Kalau kritik Fahri Hamzah terhadap KPK lebih diarahkan pada kritik yang konstruktif misalnya dengan lebih selektif melakukan revisi UU KPK tanpa mempreteli kewenangannya, dan pada saat yang sama mengajak publik untuk bersama-sama melakukan kontrol, tanpa menyerukan pembubaran, besar kemungkinan publik pun akan mendukungnya. Alih-alih di-bully seperti yang telah dialaminya, justru ia akan dianggap pahlawan karena dianggap mendukung KPK yang lebih baik sehingga semakin mampu menuntaskan kasus-kasus korupsi di Indonesia.

***
Betapa pun keberadaan Fahri Hamzah di lembaga legislatif atau dalam politik Indonesia secara umum sebenarnya sangat diperlukan saat ini. Di tengah kecenderungan kian menguatnya bandul dukungan fraksi-fraksi di DPR ke pemerintah yang ditandai dengan merapatnya PAN, Golkar, dan PPP yang semakin kuat menunjukkan sinyal dukungan, tentu kehadiran para "vokalis" semacam Fahri sangat penting.

Dalam konteks demokrasi, keseimbangan antara eksekutif dan legislatif mesti terus dijaga. Misalnya dengan mekanisme check and balances yang kuat. Kalau koalisi di DPR yang beroposisi dengan pemerintah, yakni Koalisi Merah Putih (KMP) makin kekurangan pendukungnya, jelas situasi ini cenderung tidak sehat. Lembaga legislatif bisa kehilangan taringnya ketika berhadapan dengan eksekutif.

Namun, seyogianya para "vokalis" tersebut memiliki kecerdasan komunikasi publik sehingga tidak mudah terjebak dalam arus kontroversi seperti yang dialami Fahri Hamzah. Suara-suara keras dan lantang mereka sangat diperlukan justru ketika ada sinyal-sinyal penyelewengan dari eksekutif yang jelas-jelas bertentangan dengan aspirasi publik.

Tetapi tentu tidak semata-mata juga bergantung pada arah opini publik, apalagi mereka yang notabene merupakan pendukung fanatik. Di sini lagi-lagi diperlukan kecerdasan dari para vokalis untuk menyaring isu dan kemudian menyuarakannya ke publik.

Oleh karena itu, penulis termasuk yang menyayangkan langkah yang telah dilakukan DPP PKS untuk memberhentikan Fahri Hamzah. Sebenarnya tindakan yang tepat atas Fahri adalah cukup me-rolling posisinya dari posisi wakil ketua DPR, meskipun langkah itu pun tidak dapat dilakukan secara langsung. Fahri sebaiknya tetap dijaga keberadaannya sebagai anggota DPR meskipun tidak lagi duduk di jajaran pimpinan.

Bagaimanapun, tindakan pemecatan Fahri Hamzah tidak cukup elok baik bagi PKS sendiri, apalagi bagi Fahri secara pribadi. Bukan tidak mungkin PKS akan dianggap partai yang tidak dapat melakukan penyelesaian internal sehingga lebih mudah melakukan pemecatan sebagai jalan cepat. Selain itu, mungkin muncul dugaan miring jangan-jangan pemecatan tersebut terkait dengan skenario politik PKS untuk ikut merapat ke pemerintah, karena tidak nyaman lagi berada di KMP.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0615 seconds (0.1#10.140)