Mewaspadai Narkoba

Selasa, 05 April 2016 - 18:49 WIB
Mewaspadai Narkoba
Mewaspadai Narkoba
A A A
Marwan Mas
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar

PERMINTAAN Kepala Badan Nasional Narkotika (BNN) Komjen Polisi Budi Waseso agar BNN dilibatkan dalam pemeriksaan kesehatan calon kepala daerah patut didukung. Ini tidak terlepas dari penangkapan Bupati Ogan Ilir Sumatera Selatan Ahmad Wazir Nofiadi oleh BNN beberapa waktu lalu karena kasus narkoba.

Dugaan kuat berdasarkan pengembangan penyidikan kasus itu, tim dokter yang memeriksa kesehatan calon bupati belum maksimal menelusuri keterlibatan calon kepala daerah melalui proses yang benar. Tentu hal ini sangat membahayakan masa depan pemerintahan daerah.

Setidaknya ke depan BNN harus diberi ruang untuk meneliti calon kepala daerah seperti yang tertuang dalam revisi Undang-undang (UU) No 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (saat ini dalam pembahasan DPR). Kita tidak ingin pecandu narkoba (apalagi terlibat pengedar narkoba) memimpin rakyat di tengah riuh-rendah tabuhan genderang perang melawan narkoba.

Kedaruratan narkoba yang mengerikan harus dihentikan. Harus dijauhkan dari calon pemimpin muda dan calon kepala daerah lain. Tak bisa disangkal lagi bahwa persoalan narkoba di negeri ini sudah masuk kategori darurat yang membahayakan.

Semua segmen masyarakat dan pelaksana institusi negara dirusak oleh candu narkoba. Anggota legislatif, aparat penegak hukum, warga masyarakat, bahkan kepala daerah sudah punya perwakilan ditangkap oleh BNN dan kepolisian. Laksana gunung es, semakin dikeruk semakin banyak. Yang belum tertangkap tentu jauh lebih besar dan mengerikan.

Sangat Ironis
Penangkapan itu bisa disebut memalukan sekaligus memiriskan hati. Betapa tidak, ia salah satu bupati termuda hasil pilkada serentak yang baru sebulan lebih menjabat. Berdasarkan laporan harta kekayaan saat mencalonkan diri, ia memiliki harta sekitar Rp20 miliar. Bupati yang baru berusia 27 tahun, tetapi sudah berharta dan berkuasa.

Betul-betul ironis. Sosok muda yang memiliki "sesuatu yang lebih" dibanding puluhan juta anak muda lain, tetapi tidak mampu dimanfaatkan untuk membangun bangsa dan negara setelah meraih kekuasaan. Tentu hal ini bisa merusak nama baik anak-anak muda yang juga terpilih sebagai kepala daerah.

Tentunya saya tidak menyamaratakan karena saya yakin kepala daerah muda lain yang terpilih tidak berprilaku seperti itu. Namun, kasus ini perlu dijadikan pelajaran berharga agar tidak terjerat kasus serupa dan kasus memalukan lain. Bila nanti sudah dibacakan surat dakwaan pada sidang pertama di depan pengadilan, ia akan diberhentikan sementara dari jabatannya (dinonaktifkan). Kemudian wakilnya yang akan ditunjuk sebagai pelaksana tugas bupati.

Tetapi, dalam kasus ini Kementerian Dalam Negeri begitu sigap dan yang bersangkutan sudah diberhentikan sementara sebelum berstatus terdakwa. Ini yang disebut tindakan progresif karena tidak ingin terjadi polemik yang dapat menghambat pelaksanaan pembangunan. Proses hukum berikutnya yaitu diberhentikan secara tetap, tentu setelah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Secara otomatis wakilnya akan dilantik menjadi bupati Ogan Ilir.

Saya memberi hormat terhadap kinerja BNN dan kepolisian dalam mengungkap kasus narkoba sebab tertangkapnya bupati yang terlibat penyalahgunaan narkoba tentu bukan karena kebetulan. Mungkin sudah cukup lama yang bersangkutan menjadi pecandu narkoba atau jauh sebelum terpilih menjadi bupati.

Sepatutnya kepala daerah hasil pilkada serentak bisa bersih dari noda hukum, bahkan harus selalu mendekatkan diri dengan rakyat yang dipimpin. Itulah harapan rakyat karena yang jauh lebih penting ialah bagaimana merancang implementasi visi-misi dan program kerja yang dijanjikan saat kampanye. Kita tidak ingin setelah kepala daerah terpilih justru sibuk berurusan dengan proses hukum yang ujung-ujungnya menjatuhkan kredibilitas.

Jika ada kepala daerah yang terlibat narkoba atau korupsi, sudah sepantasnya dijatuhi sanksi hukum yang berat. Khusus sanksi administratif berupa pemberhentian sementara, seyogianya dilihat sebagai upaya pemerintah pusat dalam menegakkan integritas kepala daerah, yang semestinya menjadi panutan bagi rakyat yang dipimpinnya.

Kampung Narkoba
Perdagangan dan penyalahgunaan narkoba merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) seperti korupsi dan terorisme sehingga harus dijadikan "musuh bersama". Jangan sampai masa depan generasi muda yang diharapkan sebagai calon pemimpin bangsa mati sia-sia karena racun narkoba.

Salah satu aspek yang menggelisahkan belakangan ini adalah ada sejumlah "kampung narkoba" di Jakarta, Medan, Makassar, dan Surabaya. Disebut kampung narkoba karena di wilayah itu para bandar, pengedar, dan pengguna narkoba berkumpul melaksanakan aktivitasnya.

Mereka tumbuh dan berkembang di tengah permukiman penduduk, bahkan secara riil didukung oleh warga masyarakat yang ada di situ. Untuk itu, kepala daerah harus menjadi ujung tombak pencegahan terhadap suatu permukiman yang kemungkinan berubah menjadi pusat peredaran narkoba.

Kasus ini tidak boleh hanya diserahkan sepenuhnya kepada polisi dan BNN sebab kepala daerah dan jajarannya yang lebih paham terhadap pertumbuhan suatu permukiman. Peran ketua RT/RW menjadi penting untuk mendeteksi secara dini suatu permukiman yang berubah menjadi kampung narkoba.

Contoh suatu kasus, saat aparat kepolisian dan BNN melakukan razia. Dalam razia itu ternyata ada warga di permukiman yang menutup-nutupi keberadaan bandar dan pengedar. Mereka merasa mendapat keuntungan dari peredaran gelap narkoba karena banyak dikunjungi orang, yang berarti akan terjadi transaksi ekonomi.

Misalnya saja ada parkir kendaraan sehingga warga bisa menjual rokok dan minuman keras. Bahkan ada warga yang mendapat percikan dana dari bandar sebagai uang tutup mulut. Dalam kasus ini semua saling bersinergi dalam satu kepentingan yang membuat aparat kepolisian dan BNN acapkali mendapat kesulitan. Warga yang mendapat keuntungan melindungi para pengedar agar sulit dideteksi. Ini pekerjaan rumah terbesar bagi kepala daerah, bagi polisi, BNN, dan kita semua.

Perkampungan padat penduduk dijadikan pusat penimbunan narkoba dan persembunyian para pengedar. Bahkan terkadang menjadi tempat pesta narkoba bagi pengguna. Mafia narkoba juga punya strategi jitu untuk menghindar dari jerat hukum dengan memanipulasi bentuk dan jenis narkoba, kemudian diendapkan di kampung narkoba.

Sekali lagi, saya memberi hormat pada profesionalitas aparat kepolisian dan BNN dalam melakukan razia. Semua tempat yang secara kasatmata tidak mungkin dijadikan persembunyian narkoba diperiksa.

Seperti yang terlihat di televisi saat polisi dan BNN melakukan razia, tempat seperti plafon rumah, plafon WC, di balik tembok, di bawah lipatan baju dalam lemari, dan berbagai tempat tersembunyi berhasil diendus sebagai tempat disembunyikan barang haram itu. Boleh jadi perang terhadap sindikat narkoba akan sangat panjang jika tidak dilawan secara bersama.

Terutama pada upaya pencegahan oleh pemerintah daerah karena pola penyelundupan narkoba saat ini mulai bergeser. Kalau sebelumnya bandar internasional mengarahkan barang haram itu ke kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Denpasar Bali, kini peredaran langsung menukik dari luar negeri menuju daerah yang dituju melalui pelabuhan laut yang memiliki pengawasan lemah.

Selama ini perang terhadap penyalahgunaan narkoba dilancarkan oleh banyak negara di dunia. Tetapi, sepertinya perang terhadap narkoba di negeri ini belum maksimal. Salah satu bentuk perang yang perlu digelorakan pemerintah daerah, kepolisian, dan BNN adalah memotivasi warga masyarakat untuk menjadi polisi bagi diri sendiri, keluarga, dan lingkungan permukimannya.

Pencegahan menjadi penting seperti pada terorisme dan korupsi, selain tindakan tegas dengan vonis pidana mati bagi para bandar dan pengedar. Hal ini untuk meredam anggapan di kalangan remaja calon pemimpi bangsa bahwa mengonsumsi narkoba itu termasuk gengsi dan gaya hidup modern.

Kalau awalnya sekadar mencoba-coba atau ikut-ikutan, pada tingkatan berikutnya akan mencari narkoba lantaran sudah ketagihan. Mereka inilah yang disebut dalam UU No 35/2009 tentang Narkotika sebagai "korban" yang perlu direhabilitasi.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0802 seconds (0.1#10.140)