Pemerintah Lamban?
A
A
A
EMOSI para pengemudi taksi non -online yang kemarin melakukan unjuk rasa, memanas dan melakukan tindakan anarkistis. Pun demikian pengemudi transportasi berbasis online, mereka melampiaskan kekesalan dengan tindakan yang anarkistis. Mereka saling marah karena masing-masing merasa terganggu.
Pengemudi taksi non-online merasa pendapatannya berkurang gara-gara transportasi online, sedangkan pengemudi transportasi online merasa gerah karena dalam demo kemarin mereka menjadi sasaran kemarahan. Akibatnya beberapa ruas jalan di Jakarta terjadi kericuhan sehingga ribuan aparat kepolisian harus turun ke lapangan untuk meredam bahkan menangkap mereka yang dianggap melakukan tindakan anarkistis.
Apa pun alasannya, tindakan anarkistis baik yang dilakukan para pengemudi transportasi (baik non-online maupun online ) justru menimbulkan sikap antipati dari masyarakat. Kebanyakan pengemudi transportasi non -online maupun online yang sebelumnya dikenal ramah dan sopan, kemarin seolah mengubah wajah mereka yang gampang marah dan merusak.
Tentu perubahan wajah ini justru merugikan perusahaan atau pengelola transportasi. Mereka beradu jotos dan saling merusak yang membuat masyarakat justru miris melihatnya. Jadi wajar, banyak komentar di media sosial yang justru memunculkan rasa antipati dibandingkan simpati.
Perseteruan antara transportasi non-online dan online sebenarnya bukan babak baru. Jauh sebelumnya, bibit-bibit perseteruan memang sudah muncul, yaitu antara ojek pangkalan dan ojek online. Semestinya pemerintah bisa melakukan langkah-langkah antisipasi agar kejadian seperti kemarin atau minggu yang lalu tidak terulang.
Justru yang terjadi pemerintah sepertinya bersilang pendapat soal hadirnya transportasi berbasis online . Kementerian Perhubungan menganggap transportasi berbasis online ilegal, sedangkan Kementerian Komunikasi dan Informasi tidak bisa menutup aplikasi yang digunakan para pengemudi transportasi online untuk jualan.
Memang bukan aplikasinya yang bermasalah, melainkan operasional di lapangan, yaitu armada dan para pengemudinya yang tidak sesuai dengan aturan UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Transportasi. Pada aturan tersebut, jelas bahwa angkutan massa harus berbentuk perusahaan, yayasan, ataupun koperasi.
Dengan begitu, penggunaan transportasi tersebut bisa dikontrol keamanan dan kenyamanannya. Ada tanda khusus yaitu pelat nomor kuning sebagai penanda bahwa kendaraan tersebut transportasi umum.
Nah , pemilik aplikasi online jika ingin seiring sejalan dengan UU No 22 Tahun 2009 semestinya menggandeng perusahaan, yayasan, atau koperasi untuk melakukan sharing economy . Memang aplikasi tidak melanggar aturan, tapi mitra yang diajak kerja sama oleh aplikasi tersebut secara aturan melanggar.
Sementara itu, para pengelola transportasi non-online semestinya mulai sadar ketika teknologi informasi berkembang. Mereka seharusnya lebih mengedepankan untuk mengubah strategi mereka dengan berbasis teknologi yang sudah canggih. Bahkan sebenarnya, salah satu operator aplikasi online sudah bekerja sama dengan salah satu perusahaan taksi terbesar di Indonesia. Nah , ini yang harus didorong, bukan malah seolah membiarkan para pengemudinya untuk melakukan demo yang menjurus ke anarki.
Pemerintah terkesan lamban dan belum mempunyai jurus jitu untuk mengatasi polemik ini. Menganggap transportasi berbasis online ilegal, namun juga tidak bisa memblokir aplikasi tersebut. Solusi tentang membentuk yayasan atau koperasi sebenarnya solusi yang menarik untuk dilakukan.
Namun, pemerintah sepertinya belum mau mendesak para pemilik aplikasi online untuk tidak menggandeng pengemudi di lapangan yang bersifat individu. Pemerintah harus bisa memaksa pemilik aplikasi online untuk hanya dan harus menggandeng mitra dalam bentuk perusahaan, yayasan, atau organisasi. Kalau tidak, pemilik aplikasi online tersebut membantu melakukan bisnis ilegal di Indonesia.
Pengemudi taksi non-online merasa pendapatannya berkurang gara-gara transportasi online, sedangkan pengemudi transportasi online merasa gerah karena dalam demo kemarin mereka menjadi sasaran kemarahan. Akibatnya beberapa ruas jalan di Jakarta terjadi kericuhan sehingga ribuan aparat kepolisian harus turun ke lapangan untuk meredam bahkan menangkap mereka yang dianggap melakukan tindakan anarkistis.
Apa pun alasannya, tindakan anarkistis baik yang dilakukan para pengemudi transportasi (baik non-online maupun online ) justru menimbulkan sikap antipati dari masyarakat. Kebanyakan pengemudi transportasi non -online maupun online yang sebelumnya dikenal ramah dan sopan, kemarin seolah mengubah wajah mereka yang gampang marah dan merusak.
Tentu perubahan wajah ini justru merugikan perusahaan atau pengelola transportasi. Mereka beradu jotos dan saling merusak yang membuat masyarakat justru miris melihatnya. Jadi wajar, banyak komentar di media sosial yang justru memunculkan rasa antipati dibandingkan simpati.
Perseteruan antara transportasi non-online dan online sebenarnya bukan babak baru. Jauh sebelumnya, bibit-bibit perseteruan memang sudah muncul, yaitu antara ojek pangkalan dan ojek online. Semestinya pemerintah bisa melakukan langkah-langkah antisipasi agar kejadian seperti kemarin atau minggu yang lalu tidak terulang.
Justru yang terjadi pemerintah sepertinya bersilang pendapat soal hadirnya transportasi berbasis online . Kementerian Perhubungan menganggap transportasi berbasis online ilegal, sedangkan Kementerian Komunikasi dan Informasi tidak bisa menutup aplikasi yang digunakan para pengemudi transportasi online untuk jualan.
Memang bukan aplikasinya yang bermasalah, melainkan operasional di lapangan, yaitu armada dan para pengemudinya yang tidak sesuai dengan aturan UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Transportasi. Pada aturan tersebut, jelas bahwa angkutan massa harus berbentuk perusahaan, yayasan, ataupun koperasi.
Dengan begitu, penggunaan transportasi tersebut bisa dikontrol keamanan dan kenyamanannya. Ada tanda khusus yaitu pelat nomor kuning sebagai penanda bahwa kendaraan tersebut transportasi umum.
Nah , pemilik aplikasi online jika ingin seiring sejalan dengan UU No 22 Tahun 2009 semestinya menggandeng perusahaan, yayasan, atau koperasi untuk melakukan sharing economy . Memang aplikasi tidak melanggar aturan, tapi mitra yang diajak kerja sama oleh aplikasi tersebut secara aturan melanggar.
Sementara itu, para pengelola transportasi non-online semestinya mulai sadar ketika teknologi informasi berkembang. Mereka seharusnya lebih mengedepankan untuk mengubah strategi mereka dengan berbasis teknologi yang sudah canggih. Bahkan sebenarnya, salah satu operator aplikasi online sudah bekerja sama dengan salah satu perusahaan taksi terbesar di Indonesia. Nah , ini yang harus didorong, bukan malah seolah membiarkan para pengemudinya untuk melakukan demo yang menjurus ke anarki.
Pemerintah terkesan lamban dan belum mempunyai jurus jitu untuk mengatasi polemik ini. Menganggap transportasi berbasis online ilegal, namun juga tidak bisa memblokir aplikasi tersebut. Solusi tentang membentuk yayasan atau koperasi sebenarnya solusi yang menarik untuk dilakukan.
Namun, pemerintah sepertinya belum mau mendesak para pemilik aplikasi online untuk tidak menggandeng pengemudi di lapangan yang bersifat individu. Pemerintah harus bisa memaksa pemilik aplikasi online untuk hanya dan harus menggandeng mitra dalam bentuk perusahaan, yayasan, atau organisasi. Kalau tidak, pemilik aplikasi online tersebut membantu melakukan bisnis ilegal di Indonesia.
(kur)