Relawan Politik Jangan Sok Suci
A
A
A
Uchok Sky Khadafi
Direktur Center For Budget Analysis (CBA)
Ketika tiba musim pemilihan kepala daerah (pilkada) atau pemilihan presiden (pilpres), bak cendawan di musim hujan, bermunculanlah kelompok-kelompok yang menyebut diri mereka sebagai relawan. Mereka tumbuh sebagai entitas sendiri yang bisa dijadikan mesin politik, yang digerakkan untuk memenangkan atau merebut jabatan politik seperti presiden, gubernur, wali kota, atau bupati.
Karena fungsinya seperti itu, kita sebut saja mereka sebagai relawan politik. Keberadaan relawan politik ini di luar struktur partai politik (parpol). Kehadiran relawan politik ini bahkan bisa dinilai sebagai sebuah protes yang ditujukan kepada parpol. Protes terhadap sikap dan perilaku parpol di dalam memainkan peran politiknya, terutama dalam rekrutmen jabatan politik. Ketika parpol mendukung seseorang menjadi calon kandidat kepala daerah atau presiden, dukungan itu dianggap bukan dukungan yang gratis.
”Tradisinya” harus ada mahar yang harus dibayarkan terlebih dahulu. Mahar itu dibayarkan untuk menyewa ”perahu” yang bernama parpol sebab ”tidak ada makan siang gratis” dalam dunia perpolitikan. Semua harus dibayar secara tunai pula agar bisa mendapatkan secarik kertas yang berupa rekomendasi dari pimpinan tertinggi parpol tersebut sebagai syarat untuk maju sebagai calon seorang pejabat publik alias kepala daerah.
Selain itu, ada kesan umum bahwa calon yang didukung oleh relawan politik adalah calon yang didukung oleh rakyat. Padahal, hal itu tidak sepenuhnya benar sebab relawan lebih sering berupa komunitas (di perkotaan) yang tidak mencerminkan keseluruhan masyarakat (society) atau rakyat. Pada sisi lain, ”kemunculan” mereka sebagai relawan politik tidak mau disamakan dengan kader partai.
Dalam pandangan mereka, kader partai mendukung seorang calon pejabat publik lantaran ada duitnya. Sebaliknya, relawan politik mendukung calon dengan alasan bahwa calon tersebut mendapat dukungan rakyat. Walaupun memang terkadang antara kader partai dan relawan politik sama-sama mendukung calon yang sama, tetapi tetap saja dua pihak itu ”seperti minyak dan air”–meski bersatu, perbedaannya masih jelas kelihatan.
Relawan politik sering memproklamirkan bahwa partisipasi mereka mendukung calon idola berdasarkan pada niat yang tulus, tidak ada embel-embel meminta balas jasa apa pun ketika calon mereka sudah menjadi presiden atau kepala daerah. Relawan politik biasanya juga mengklaim bahwa diri mereka paling suci di dunia politik sebab paling ikhlas berjuang dibandingkan dengan kader partai. Selanjutnya mereka juga menganggap bahwa diri mereka sangat idealis dan tidak seperti kader atau pengurus partai yang kerjanya hanya mencari duit ketika musim pemilu berlangsung.
***
Perlu digarisbawahi bahwa relawan yang ikut berpartisipasi dukung-mendukung calon tertentu untuk menduduki jabatan publik bukan lagi relawan kemanusiaan yang bekerja untuk nilai-nilai yang humanis. Mereka juga bukan relawan seperti yang digambarkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang disusun oleh Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa (2008), yang mendefinisikan relawan atau sukarelawan sebagai ”orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela, tidak karena diwajibkan atau dipaksakan”.
Sangat sulit bagi kita menilai aktivitas mereka yang terang-benderang sebagai gerakan politik itu sebagai sesuatu tindakan yang hanya berdasarkan kesukarelaan. Pastinya ada dimensi politis di sana. Sadar atau tidak sadar, relawan politik sudah bagian dari mesin politik yang akan digerakkan dalam rangka untuk memenangkan sang calon berdasarkan perencanaan dan anggaran.
Dengan demikian, jika menjadi relawan berbaju politik, kita tidak lagi berjuang atas nilai-nilai luhur kemanusiaan, tetapi sudah punya kepentingan politik pribadi.
Relawan politik tidak sekadar mengantarkan calon tertentu menduduki jabatan publik. Tetapi, rupanya di balik itu semua mereka pun bernafsu untuk ”merebut” jabatan-jabatan strategis lain seperti menjadi komisaris badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), atau jabatan pada lembaga lain.
Dengan demikian, antara kader partai dan relawan politik ketika masuk dunia politik atau dukung-mendukung calon sebetulnya sudah tidak bisa lagi dibedakan. Jadi, dengan mendorong dan membantu calon tertentu, siapa pun, baik kader partai maupun relawan, tampaknya sulit menepis tuduhan tanpa pamrih. Keduanya tidak hanya mempunyai tujuan dan goal yang sama yaitu memperebutkan jabatan politik, tetapi juga bersama-sama mencari duit agar calon yang mereka dukung bisa mengalahkan calon lain.
Kondisi seperti itu berimbas pada rekrutmen untuk jabatan publik di pemerintahan. Kalau dulu, rekrutmen jabatan publik biasa hanya diperuntukan kepada kader partai pemenang pemilu, sekarang rekrutmen untuk jabatan publik juga diperuntukkan bagi mereka yang berasal dari relawan politik. Tetapi, sayang seribu kali sayang, pengangkatan relawan politik menjadi pejabat publik saat ini cenderung sangat sarat nepotisme.
Sebagai contoh, pengangkatan relawan politik oleh Presiden Jokow Widodo (Jokowi). Dalam pandangan penulis, tidak begitu akuntabilitas dan transparan. Ada relawan politik yang berasal dari ”comberan” alias asal usul mereka tidak begitu jelas, tetapi bisa saja langsung jadi pejabat publik tanpa ada kaderisasi seperti yang dilakukan partai politik.
Padahal, selama ini kaderisasi di partai politik selalu ”berdarah-darah” agar kader mereka memiliki militansi, keandalan, dan keunggulan. Lalu, partai politik melakukan penggemblengan atau pembinaan yang terstruktur.
Sayangnya, semua itu akan sia-sia. Terasa miris apabila kader partai yang telah mengalami penggemblengan dan pembinaan itu dikalahkan oleh relawan politik dalam pertarungan untuk mengisi jabatan publik lantaran kader partai dituduh sebagai koruptor.
Selain itu, meski punya kesamaan dalam kepentingan politik, tetap saja ada perbedaan yang lebar antara parpol dan relawan politik dalam sumber pendanaan keuangan saat pilkada. Untuk parpol, semua sumber duit harus tercatat dalam keuangan partai, termasuk nama sponsor baik itu dari sumbangan perusahaan atau perorangan. Sumbangan dana dari sponsor ini juga harus dibatasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar tidak dituduh melakukan money politics atau politik uang dalam pemilu.
Sebaliknya, sumber pendanaan relawan politik memang gelap atau tidak begitu jelas alias kurang transparan, dan akuntabilitasnya lemah dalam mengelola keuangan. Kadang-kadang di depan publik mereka menyatakan menolak sumbangan dana dari sponsor mana pun. Tapi, di belakang publik relawan politik diam-diam juga menerima sumbangan dana. Nilai sumbangan dana dari sponsor ke relawan politik tidak punya batas nilai nominal.
Direktur Center For Budget Analysis (CBA)
Ketika tiba musim pemilihan kepala daerah (pilkada) atau pemilihan presiden (pilpres), bak cendawan di musim hujan, bermunculanlah kelompok-kelompok yang menyebut diri mereka sebagai relawan. Mereka tumbuh sebagai entitas sendiri yang bisa dijadikan mesin politik, yang digerakkan untuk memenangkan atau merebut jabatan politik seperti presiden, gubernur, wali kota, atau bupati.
Karena fungsinya seperti itu, kita sebut saja mereka sebagai relawan politik. Keberadaan relawan politik ini di luar struktur partai politik (parpol). Kehadiran relawan politik ini bahkan bisa dinilai sebagai sebuah protes yang ditujukan kepada parpol. Protes terhadap sikap dan perilaku parpol di dalam memainkan peran politiknya, terutama dalam rekrutmen jabatan politik. Ketika parpol mendukung seseorang menjadi calon kandidat kepala daerah atau presiden, dukungan itu dianggap bukan dukungan yang gratis.
”Tradisinya” harus ada mahar yang harus dibayarkan terlebih dahulu. Mahar itu dibayarkan untuk menyewa ”perahu” yang bernama parpol sebab ”tidak ada makan siang gratis” dalam dunia perpolitikan. Semua harus dibayar secara tunai pula agar bisa mendapatkan secarik kertas yang berupa rekomendasi dari pimpinan tertinggi parpol tersebut sebagai syarat untuk maju sebagai calon seorang pejabat publik alias kepala daerah.
Selain itu, ada kesan umum bahwa calon yang didukung oleh relawan politik adalah calon yang didukung oleh rakyat. Padahal, hal itu tidak sepenuhnya benar sebab relawan lebih sering berupa komunitas (di perkotaan) yang tidak mencerminkan keseluruhan masyarakat (society) atau rakyat. Pada sisi lain, ”kemunculan” mereka sebagai relawan politik tidak mau disamakan dengan kader partai.
Dalam pandangan mereka, kader partai mendukung seorang calon pejabat publik lantaran ada duitnya. Sebaliknya, relawan politik mendukung calon dengan alasan bahwa calon tersebut mendapat dukungan rakyat. Walaupun memang terkadang antara kader partai dan relawan politik sama-sama mendukung calon yang sama, tetapi tetap saja dua pihak itu ”seperti minyak dan air”–meski bersatu, perbedaannya masih jelas kelihatan.
Relawan politik sering memproklamirkan bahwa partisipasi mereka mendukung calon idola berdasarkan pada niat yang tulus, tidak ada embel-embel meminta balas jasa apa pun ketika calon mereka sudah menjadi presiden atau kepala daerah. Relawan politik biasanya juga mengklaim bahwa diri mereka paling suci di dunia politik sebab paling ikhlas berjuang dibandingkan dengan kader partai. Selanjutnya mereka juga menganggap bahwa diri mereka sangat idealis dan tidak seperti kader atau pengurus partai yang kerjanya hanya mencari duit ketika musim pemilu berlangsung.
***
Perlu digarisbawahi bahwa relawan yang ikut berpartisipasi dukung-mendukung calon tertentu untuk menduduki jabatan publik bukan lagi relawan kemanusiaan yang bekerja untuk nilai-nilai yang humanis. Mereka juga bukan relawan seperti yang digambarkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang disusun oleh Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa (2008), yang mendefinisikan relawan atau sukarelawan sebagai ”orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela, tidak karena diwajibkan atau dipaksakan”.
Sangat sulit bagi kita menilai aktivitas mereka yang terang-benderang sebagai gerakan politik itu sebagai sesuatu tindakan yang hanya berdasarkan kesukarelaan. Pastinya ada dimensi politis di sana. Sadar atau tidak sadar, relawan politik sudah bagian dari mesin politik yang akan digerakkan dalam rangka untuk memenangkan sang calon berdasarkan perencanaan dan anggaran.
Dengan demikian, jika menjadi relawan berbaju politik, kita tidak lagi berjuang atas nilai-nilai luhur kemanusiaan, tetapi sudah punya kepentingan politik pribadi.
Relawan politik tidak sekadar mengantarkan calon tertentu menduduki jabatan publik. Tetapi, rupanya di balik itu semua mereka pun bernafsu untuk ”merebut” jabatan-jabatan strategis lain seperti menjadi komisaris badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), atau jabatan pada lembaga lain.
Dengan demikian, antara kader partai dan relawan politik ketika masuk dunia politik atau dukung-mendukung calon sebetulnya sudah tidak bisa lagi dibedakan. Jadi, dengan mendorong dan membantu calon tertentu, siapa pun, baik kader partai maupun relawan, tampaknya sulit menepis tuduhan tanpa pamrih. Keduanya tidak hanya mempunyai tujuan dan goal yang sama yaitu memperebutkan jabatan politik, tetapi juga bersama-sama mencari duit agar calon yang mereka dukung bisa mengalahkan calon lain.
Kondisi seperti itu berimbas pada rekrutmen untuk jabatan publik di pemerintahan. Kalau dulu, rekrutmen jabatan publik biasa hanya diperuntukan kepada kader partai pemenang pemilu, sekarang rekrutmen untuk jabatan publik juga diperuntukkan bagi mereka yang berasal dari relawan politik. Tetapi, sayang seribu kali sayang, pengangkatan relawan politik menjadi pejabat publik saat ini cenderung sangat sarat nepotisme.
Sebagai contoh, pengangkatan relawan politik oleh Presiden Jokow Widodo (Jokowi). Dalam pandangan penulis, tidak begitu akuntabilitas dan transparan. Ada relawan politik yang berasal dari ”comberan” alias asal usul mereka tidak begitu jelas, tetapi bisa saja langsung jadi pejabat publik tanpa ada kaderisasi seperti yang dilakukan partai politik.
Padahal, selama ini kaderisasi di partai politik selalu ”berdarah-darah” agar kader mereka memiliki militansi, keandalan, dan keunggulan. Lalu, partai politik melakukan penggemblengan atau pembinaan yang terstruktur.
Sayangnya, semua itu akan sia-sia. Terasa miris apabila kader partai yang telah mengalami penggemblengan dan pembinaan itu dikalahkan oleh relawan politik dalam pertarungan untuk mengisi jabatan publik lantaran kader partai dituduh sebagai koruptor.
Selain itu, meski punya kesamaan dalam kepentingan politik, tetap saja ada perbedaan yang lebar antara parpol dan relawan politik dalam sumber pendanaan keuangan saat pilkada. Untuk parpol, semua sumber duit harus tercatat dalam keuangan partai, termasuk nama sponsor baik itu dari sumbangan perusahaan atau perorangan. Sumbangan dana dari sponsor ini juga harus dibatasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar tidak dituduh melakukan money politics atau politik uang dalam pemilu.
Sebaliknya, sumber pendanaan relawan politik memang gelap atau tidak begitu jelas alias kurang transparan, dan akuntabilitasnya lemah dalam mengelola keuangan. Kadang-kadang di depan publik mereka menyatakan menolak sumbangan dana dari sponsor mana pun. Tapi, di belakang publik relawan politik diam-diam juga menerima sumbangan dana. Nilai sumbangan dana dari sponsor ke relawan politik tidak punya batas nilai nominal.
(poe)