Dilema Transportasi Online
A
A
A
Sukemi
Dosen Luar Biasa Mata Kuliah Perencanaan Strategis Sistem Informasi Universitas Surabaya
UNTUK kali kedua protes besar-besaran terjadi dan menjadi perhatian publik terkait dengan transaksi online di bidang transportasi. Pertama, pada Desember 2015, protes dilakukan oleh para pengemudi Go-Jek dan GrabBike. Ketika itu Menteri Perhubungan (Menhub) Ignatius Jonan menerbitkan aturan yang melarang Go-Jek, GrabBike, dan angkutan berbasis aplikasi lain beroperasi. Tapi tak sampai 24 jam, larangan itu langsung dianulir oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Sebetulnya larangan itu bukan tanpa dasar. Memang ada peraturan perundangan yang membatasi kendaraan pribadi tidak boleh dijadikan transportasi umum. Tetapi kemudian Presiden Jokowi memerintahkan agar aturan itu dicabut mengingat kebutuhan masyarakat yang tinggi.
Kedua, terjadi Senin, 14 Maret 2016, ketika Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) berdemonstrasi mempermasalahkan legalitas taksi berbasis aplikasi, yaitu Uber dan GrabCar. Para pendemo membubarkan diri ketika ada rencana pemerintah untuk memblokir aplikasi yang digunakan taksi berpelat hitam itu.
Para pendemo mengungkapkan, bahwa beroperasinya taksi berbasis aplikasi telah berimbas pada pendapatan taksi non-aplikasi. Terdapat 170.000 sopir angkutan umum di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang terimbas taksi online.
Menanggapi dua protes itu, sikap pemerintah berbeda dan sangat bertolak belakang. Meski sesungguhnya persoalannya sama, seputar penggunaan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk layanan pemesanan jasa angkutan.
Yang pertama digunakan oleh kendaraan roda dua (Go-Jek dan GrabBike),dengan keputusan menganulir larangan beroperasinya Go-Jek dan GrabBike. Sedangkan yang kedua penggunaan aplikasi online untuk roda empat (Uber dan GrabCar), yang dilayangkan Menhub Ignatius Jonan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara.
Dalam suratnya Menhub menyampaikan permintaan agar aplikasi Uber dan GrabCar dilarang, dan pemerintah berencana memblokir aplikasi Uber dan GrabCar.
Logika umum yang berkembang, mestinya pemerintah harus bersikap sama, karena baik itu Go-Jek dan GrabBike maupun Uber dan GrabCar, menggunakan aplikasi berbasis online. Sehingga terlihat sekali ada kerancuan cara berpikir dalam dua sikap ini, padahal persoalannya sama dan sebangun.
Tulisan berikut tentu tidak hendak mempertanyakan terhadap sikap pemerintah yang berbeda itu, tetapi lebih pada mengajak berpikir terhadap masa depan penggunaan berbagai aplikasi berbasis online atau transaksi online.
Hal ini menjadi sangat penting, karena sebuah keniscayaan, bahwa masa depan adalah era di mana berbagai aplikasi dari penggunaan TIK dalam bentuk transaksi online atau elektronik, tidak terhindarkan, dan berkembang memenuhi keinginan masyarakat. Jangan sampai ke depan terjadi protes serupa dari para pemilik gerai di berbagai pusat perbelanjaan, terhadap sepinya pembeli yang datang ke gerai, sehingga menyebabkan omzet mereka turun.
Fakta di Lapangan
Sesungguhnya kehadiran aplikasi di bidang transportasi itu -baik aplikasi roda dua maupun roda empat- tidak hanya telah memberikan banyak pilihan bagi masyarakat pengguna (konsumen). Tetapi hal itu juga memberikan keuntungan dari sisi ekonomi, mengingat fakta di lapangan layanan mereka jauh lebih murah dibanding dengan jasa antartransportasi lain yang lebih dulu ada.
Pada titik inilah mestinya para operator jasa transportasi yang belum menggunakan aplikasi berbasis online dan bertarif lebih mahal, mulai berpikir untuk berinovasi terhadap perbedaan harga yang menyebabkan beralihnya para pengguna jasa mereka. Bagi konsumen tentu harga menjadi pilihan utama selain bentuk layan yang diberikan.
Itu sebabnya, fakta lain di lapangan adalah, beberapa sopir taksi saat ini juga banyak yang keluar dan memilih menjadi pengemudi Uber dan GrabCar. Hal itu didasari dengan alasan bergesernya pola di masyarakat dalam memilih dan menggunakan moda transportasi.
Alasan lainnya, para sopir taksi yang bermigrasi menjadi pengemudi Uber dan GrabCar, mengaku tidak dipusingkan lagi dengan target setoran yang harus dipenuhi, di tengah persaingan jasa angkutan yang makin ketat. Belum lagi jika dilihat kehadiran aplikasi di bidang transportasi itu, telah membuka lapangan pekerjaan baru.
Tentu kehadiran aplikasi ini menjadi berarti bagi sebagian orang yang sebelumnya menganggur atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), karena kondisi ekonomi yang sedang mengalami penurunan.
Fakta inilah yang mestinya dijadikan pijakan emerintah dalam mengambil kebijakan maupun keputusan terhadap berkembangnya jasa layanan transaksi online. Baik yang kini sedang dipermasalahkan terkait dengan kehadiran aplikasi di bidang transportasi, maupun ke depan bentuk-bentuk layanan transaksi online lainnya.
Bagi pemerintah sebagai regulator, ke depan juga harus mulai dipikirkan untuk bisa menyiapkan aturan-aturan yang bisa menampung berbagai jasa atau layanan yang berbasis pada TIK (transaksi online). Dengan demikian antara layanan satu dengan lainnya mendapat perlakuan sama. Bahkan pemerintah tidak kehilangan potensi pendapatan atau pajak dari model transaksi online.
Sementara jika ada aturan hukum atau undang-undang yang dilanggar oleh kehadiran jasa layanan Go-Jek dan GrabBike maupun Uber dan GrabCar, tentu harus dicarikan jalan keluar terbaik. Tentunya dengan melakukan perubahan terhadap undang-undang (UU) itu. Bukankah aturan dan UU itu dibuat untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat? Dalam hal ini termasuk perlindungan bagi masyarakat mencari nafkah dan menjalankan pekerjaan.
Apalagi seperti pernah disampaikan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla saat menganulir aturan yang melarang Go-Jek, GrabBike, dan angkutan berbasis aplikasi lain beroperasi. Mereka menyatakan bahwa aturan dan UU yang ada sesungguhnya bisa dilakukan perubahan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Jangan Dihambat
Dalam hal pengembangan dan pemanfaatan TIK, rasanya apa yang berkembang di masyarakat terkait dengan penggunaan berbagai aplikasi di bidang TIK tidak perlu dihambat, termasuk dari sisi penanaman modal. Sudah seharusnya sistem pemerintahan tarus mendorong tumbuh kembangnya pemanfaatan TIK. Tentu karena TIK diyakini akan mampu dipergunakan sebagai kendaraan menuju ke pemerintah yang bersih, akuntabel, transparan, produktif dan efisien.
Selain itu pemanfaatan TIK dalam pemerintahan juga dapat dipergunakan untuk menggerakkan roda perekonomian dengan menciptakan potensi-potensi bisnis baru bagi masyarakat Indonesia serta perbaikan sistem layanan kepada masyarakat. Dari sisi ini diharapkan akan terjadi peningkatan produktivitas nasional yang muaranya ada pada peningkatan daya saing bangsa (nation competitiveness).
Dari kacamata lain, TIK juga akan dapat dimanfaatkan untuk perbaikan sistem pendidikan dalam hal pemerataan kualitas dan kesempatan. Secara singkat TIK akan mampu mempererat hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, antara masyarakat dengan pemerintah, antara pelaku bisnis dan pemerintah sehingga persatuan dan kesatuan bangsa menjadi makin kokoh. Semoga.
Dosen Luar Biasa Mata Kuliah Perencanaan Strategis Sistem Informasi Universitas Surabaya
UNTUK kali kedua protes besar-besaran terjadi dan menjadi perhatian publik terkait dengan transaksi online di bidang transportasi. Pertama, pada Desember 2015, protes dilakukan oleh para pengemudi Go-Jek dan GrabBike. Ketika itu Menteri Perhubungan (Menhub) Ignatius Jonan menerbitkan aturan yang melarang Go-Jek, GrabBike, dan angkutan berbasis aplikasi lain beroperasi. Tapi tak sampai 24 jam, larangan itu langsung dianulir oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Sebetulnya larangan itu bukan tanpa dasar. Memang ada peraturan perundangan yang membatasi kendaraan pribadi tidak boleh dijadikan transportasi umum. Tetapi kemudian Presiden Jokowi memerintahkan agar aturan itu dicabut mengingat kebutuhan masyarakat yang tinggi.
Kedua, terjadi Senin, 14 Maret 2016, ketika Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) berdemonstrasi mempermasalahkan legalitas taksi berbasis aplikasi, yaitu Uber dan GrabCar. Para pendemo membubarkan diri ketika ada rencana pemerintah untuk memblokir aplikasi yang digunakan taksi berpelat hitam itu.
Para pendemo mengungkapkan, bahwa beroperasinya taksi berbasis aplikasi telah berimbas pada pendapatan taksi non-aplikasi. Terdapat 170.000 sopir angkutan umum di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang terimbas taksi online.
Menanggapi dua protes itu, sikap pemerintah berbeda dan sangat bertolak belakang. Meski sesungguhnya persoalannya sama, seputar penggunaan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk layanan pemesanan jasa angkutan.
Yang pertama digunakan oleh kendaraan roda dua (Go-Jek dan GrabBike),dengan keputusan menganulir larangan beroperasinya Go-Jek dan GrabBike. Sedangkan yang kedua penggunaan aplikasi online untuk roda empat (Uber dan GrabCar), yang dilayangkan Menhub Ignatius Jonan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara.
Dalam suratnya Menhub menyampaikan permintaan agar aplikasi Uber dan GrabCar dilarang, dan pemerintah berencana memblokir aplikasi Uber dan GrabCar.
Logika umum yang berkembang, mestinya pemerintah harus bersikap sama, karena baik itu Go-Jek dan GrabBike maupun Uber dan GrabCar, menggunakan aplikasi berbasis online. Sehingga terlihat sekali ada kerancuan cara berpikir dalam dua sikap ini, padahal persoalannya sama dan sebangun.
Tulisan berikut tentu tidak hendak mempertanyakan terhadap sikap pemerintah yang berbeda itu, tetapi lebih pada mengajak berpikir terhadap masa depan penggunaan berbagai aplikasi berbasis online atau transaksi online.
Hal ini menjadi sangat penting, karena sebuah keniscayaan, bahwa masa depan adalah era di mana berbagai aplikasi dari penggunaan TIK dalam bentuk transaksi online atau elektronik, tidak terhindarkan, dan berkembang memenuhi keinginan masyarakat. Jangan sampai ke depan terjadi protes serupa dari para pemilik gerai di berbagai pusat perbelanjaan, terhadap sepinya pembeli yang datang ke gerai, sehingga menyebabkan omzet mereka turun.
Fakta di Lapangan
Sesungguhnya kehadiran aplikasi di bidang transportasi itu -baik aplikasi roda dua maupun roda empat- tidak hanya telah memberikan banyak pilihan bagi masyarakat pengguna (konsumen). Tetapi hal itu juga memberikan keuntungan dari sisi ekonomi, mengingat fakta di lapangan layanan mereka jauh lebih murah dibanding dengan jasa antartransportasi lain yang lebih dulu ada.
Pada titik inilah mestinya para operator jasa transportasi yang belum menggunakan aplikasi berbasis online dan bertarif lebih mahal, mulai berpikir untuk berinovasi terhadap perbedaan harga yang menyebabkan beralihnya para pengguna jasa mereka. Bagi konsumen tentu harga menjadi pilihan utama selain bentuk layan yang diberikan.
Itu sebabnya, fakta lain di lapangan adalah, beberapa sopir taksi saat ini juga banyak yang keluar dan memilih menjadi pengemudi Uber dan GrabCar. Hal itu didasari dengan alasan bergesernya pola di masyarakat dalam memilih dan menggunakan moda transportasi.
Alasan lainnya, para sopir taksi yang bermigrasi menjadi pengemudi Uber dan GrabCar, mengaku tidak dipusingkan lagi dengan target setoran yang harus dipenuhi, di tengah persaingan jasa angkutan yang makin ketat. Belum lagi jika dilihat kehadiran aplikasi di bidang transportasi itu, telah membuka lapangan pekerjaan baru.
Tentu kehadiran aplikasi ini menjadi berarti bagi sebagian orang yang sebelumnya menganggur atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), karena kondisi ekonomi yang sedang mengalami penurunan.
Fakta inilah yang mestinya dijadikan pijakan emerintah dalam mengambil kebijakan maupun keputusan terhadap berkembangnya jasa layanan transaksi online. Baik yang kini sedang dipermasalahkan terkait dengan kehadiran aplikasi di bidang transportasi, maupun ke depan bentuk-bentuk layanan transaksi online lainnya.
Bagi pemerintah sebagai regulator, ke depan juga harus mulai dipikirkan untuk bisa menyiapkan aturan-aturan yang bisa menampung berbagai jasa atau layanan yang berbasis pada TIK (transaksi online). Dengan demikian antara layanan satu dengan lainnya mendapat perlakuan sama. Bahkan pemerintah tidak kehilangan potensi pendapatan atau pajak dari model transaksi online.
Sementara jika ada aturan hukum atau undang-undang yang dilanggar oleh kehadiran jasa layanan Go-Jek dan GrabBike maupun Uber dan GrabCar, tentu harus dicarikan jalan keluar terbaik. Tentunya dengan melakukan perubahan terhadap undang-undang (UU) itu. Bukankah aturan dan UU itu dibuat untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat? Dalam hal ini termasuk perlindungan bagi masyarakat mencari nafkah dan menjalankan pekerjaan.
Apalagi seperti pernah disampaikan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla saat menganulir aturan yang melarang Go-Jek, GrabBike, dan angkutan berbasis aplikasi lain beroperasi. Mereka menyatakan bahwa aturan dan UU yang ada sesungguhnya bisa dilakukan perubahan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Jangan Dihambat
Dalam hal pengembangan dan pemanfaatan TIK, rasanya apa yang berkembang di masyarakat terkait dengan penggunaan berbagai aplikasi di bidang TIK tidak perlu dihambat, termasuk dari sisi penanaman modal. Sudah seharusnya sistem pemerintahan tarus mendorong tumbuh kembangnya pemanfaatan TIK. Tentu karena TIK diyakini akan mampu dipergunakan sebagai kendaraan menuju ke pemerintah yang bersih, akuntabel, transparan, produktif dan efisien.
Selain itu pemanfaatan TIK dalam pemerintahan juga dapat dipergunakan untuk menggerakkan roda perekonomian dengan menciptakan potensi-potensi bisnis baru bagi masyarakat Indonesia serta perbaikan sistem layanan kepada masyarakat. Dari sisi ini diharapkan akan terjadi peningkatan produktivitas nasional yang muaranya ada pada peningkatan daya saing bangsa (nation competitiveness).
Dari kacamata lain, TIK juga akan dapat dimanfaatkan untuk perbaikan sistem pendidikan dalam hal pemerataan kualitas dan kesempatan. Secara singkat TIK akan mampu mempererat hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, antara masyarakat dengan pemerintah, antara pelaku bisnis dan pemerintah sehingga persatuan dan kesatuan bangsa menjadi makin kokoh. Semoga.
(poe)