Penguatan BNN & Pengalaman Meksiko

Senin, 14 Maret 2016 - 16:50 WIB
Penguatan BNN & Pengalaman Meksiko
Penguatan BNN & Pengalaman Meksiko
A A A
Bambang Soesatyo
Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017

JIKA tidak dieliminasi sejak dini, sindikat narkoba lokal maupun internasional yang terus membangun dan memperkuat sel-selnya di dalam negeri bisa merusak tatanan. Indonesia harus belajar dari pengalaman buruk Meksiko. Maka itu, penguatan fungsi dan wewenang Badan Nasional Narkotika (BNN) harus merefleksikan kekuatan dan kesungguhan negara all out memerangi sindikat narkoba (narkotika dan obat-obatan) terlarang.

Presiden Joko Widodo, baru-baru ini, mengumumkan perang total terhadap sindikat narkoba. Semua kementerian/lembaga (K/L) terkait harus bergerak simultan. Presiden juga menginstruksikan BNN untuk memimpin perang besar itu. Presiden rupanya tidak ingin sekadar mengeluarkan perintah. Beberapa hari setelah mengeluarkan perintah itu, pemerintah mengumumkan inisiatif menaikkan status BNN menjadi setara kementerian.

Konsekuensinya jelas. BNN memiliki wewenang menindak, menahan atau memenjarakan hingga membuat kebijakan atau keputusan. Inisiatif pemerintah itu relevan karena persoalan yang terkait dengan produksi, perdagangan dan peredaran narkoba terkesan makin marak. Karena itu, BNN butuh kewenangan yang jauh lebih besar dibandingkan sekarang ini.

Penetrasi sel-sel sindikat narkoba sudah menyusup ke berbagai aspek kehidupan masyarakat. Apalagi, sindikat narkoba belakangan ini sudah menunjukkan perlawanan bersenjata manakala akan disergap oleh satuan polisi anti narkoba.

Selain potensi perlawanan dari semua anggota sindikat, jangan lupa bahwa peredaran narkoba terus meningkatkan jumlah korban di kalangan generasi muda. Tidak ada pilihan lain bagi semua pihak untuk mendukung penguatan fungsi dan wewenang BNN. Dengan peningkatan status BNN setara kementerian, pemberantasan narkoba diharapkan lebih efektif, karena agresivitas BNN tentunya akan meningkat dan semua satuan kerja di BNN akan lebih leluasa bergerak.

Perang melawan sindikat narkoba tidak lagi sekadar bertujuan melindungi generasi muda. Tujuan lain yang tidak kalah pentingnya adalah menutup ruang bagi semua sindikat untuk membangun kekuatan bersenjata di dalam negeri. Sangat penting bagi negara untuk berani bertindak sangat tegas dan lugas, tanpa kompromi sedikit pun.

Dengan keberanian bertindak tegas, lugas, dan minus kompromi, diharapkan akan terbangun efek jera. Untuk mewujudkan kekuatan seperti itu, birokrasi negara harus bersih dari segala sesuatu yang berkait dengan kejahatan narkoba

Dua peristiwa penggerebekan bandar narkoba di Jakarta baru-baru ini, di Matraman, Jakarta Timur dan wilayah Johar Baru, Jakarta Pusat, mengingatkan semua pihak tentang pentingnya pendekatan baru terhadap sindikat atau bandar narkoba. Pendekatan baru yang dimaksud tidak lain adalah tindakan tegas, lugas dan tanpa kompromi itu. Dalam dua aksi penggerebekan itu, sang bandar dan kelompoknya melakukan perlawanan bersenjata, baik senjata tajam maupun senjata api.

Kesimpulannya yang bisa dimunculkan sederhana saja; bahwa para bandar atau sindikat narkoba di dalam negeri mulai membangun kekuatan, baik kekuatan personal maupun kekuatan bersenjata. Kalau ditanya mengapa kecenderungan seperti itu bisa terjadi? Jawabannya pun sederhana; mungkin karena pihak berwajib terlalu kompromistis terhadap mereka. Selama masih ada kompromi terhadap bandar atau sindikat narkoba, tidak akan pernah lahir yang namanya efek jera itu.

Indikator tentang adanya kompromi dari oknum birokrat negara terhadap para bandar narkoba sebenarnya sudah tergambarkan cukup jelas. September 2011, kantor presiden memicu heboh, sehingga muncul tuduhan bahwa Istana sudah dijebol sindikat narkoba.

Pada 26 September 2011, Presiden RI memberi grasi kepada Meirika Franola (Ola), terpidana mati narkoba yang menyelundupkan 3 kg kokain dan 3,5 kg heroin di Bandara Soekarno-Hatta pada 12 Januari 2000. Vonis hukuman mati Ola sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah) setelah Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali kasusnya pada 27 Februari 2003. Dengan grasi itu, hukuman yang harus dijalani Ola diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup. Karena dihujani kecaman, grasi itu akhirnya dicabut.

Pertanyaannya, bagaimana dokumen permohonan grasi terpidana mati kasus narkoba bisa sampai di meja presiden, bahkan akhirnya ditandatangani kepala negara? Itu tanda paling jelas bahwa birokrasi negara sudah disusupi sindikat narkoba.

Contoh kasus kedua ini juga relevan. Pada Maret 2011, kalapas Narkotika Nusakambangan dan dua bawahannya, kepala seksi pembinaan dan kepala keamanan, ditangkap petugas BNN. Ketiganya terlibat perdagangan narkotika di dalam lembaga pemasyarakatan (LP). Bahkan, kepala LP Nusakambangan menampung uang hasil transaksi narkotika di rekening cucunya.

Birokrasi Harus Bersih
Dengan begitu, cukup jelas bahwa jika pemerintah ingin mengeliminasi sindikat narkoba di negara ini, syarat utamanya adalah birokrasi negara harus bersih. Tidak boleh ada sel-sel sindikat narkoba di tubuh birokrasi negara. Semua lembaga pemasyarakatan (LP) tidak boleh lagi memberi perlakuan istimewa kepada semua terpidana kasus narkoba.

Karena itu, penguatan fungsi dan wewenang BNN hendaknya juga memberi akses bagi petugas BNN untuk menyisir dan membersihkan sel-sel sindikat narkoba yang kemungkinan sudah bercokol di sejumlah kementerian/lembaga. Sudah barang tentu, BNN-nya sendiri pun harus bersih, agar bisa membidik oknum petugas LP yang membantu para terpidana narkoba mengelola bisnisnya dari dalam sel mereka.

BNN juga harus mendapat akses untuk mencegah penyelundupan narkoba dari sejumlah negara asal. Pasti yang salah dalam pencegahan sehingga penyelundupan narkoba ke Indonesia tetap marak. Itulah yang harus diperbaiki BNN.

Indonesia tidak boleh terlambat dalam memerangi dan mengeliminasi sindikat narkoba. Indonesia harus belajar dari pengalaman buruk Meksiko. Karena itu, jangan pernah membiarkan para bandar atau sindikat berevolusi menjadi kekuatan bersenjata yang mampu memberi perlawanan mematikan.

Meksiko hingga kini masih harus melancarkan perang terhadap kartel narkoba yang eksis di sejumlah provinsi negeri itu. Beban negara Meksiko sudah terbilang sangat berat. Negara harus memerangi kartel, tetapi pada saat bersamaan juga harus menghentikan perang antarkartel narkoba.

Sebagian besar kartel narkoba di Meksiko punya sayap militer dengan persenjataan yang mumpuni. Perlawanan bersenjata kartel-kartel narkoba sering mengalahkan polisi atau pasukan pemerintah. Mereka pun tak segan-segan membunuh pejabat pemerintah daerah, termasuk pemimpin gereja.

Sejumlah kartel di Meksiko bahkan sudah bisa membentuk negara di dalam negara. Mereka memaksa warga lokal hanya tunduk pada aturan yang ditetapkan kartel. Tatanan hidup bermasyarakat pada sejumlah provinsi di Meksiko benar-benar bisa dirusak oleh kartel-kartel narkoba.

Pengalaman buruk itu menjadi berlarut-larut hingga kini, karena Meksiko cukup terlambat dalam mengeliminasi kartel-kartel narkoba. Negara mulai beraksi ketika sejumlah kartel besar sudah memiliki sayap militer dan mengooptasi sejumlah provinsi. Kini, perang narkoba di Meksiko sudah dipersepsikan sebagai konflik bersenjata antara kartel narkoba versus pemerintah Meksiko.

Pengalaman buruk itu hendaknya tidak dialami Indonesia. Namun, semua pihak harus realistis bahwa Indonesia terus menjadi sasaran sindikat narkoba internasional. Salah satu indikatornya adalah masih maraknya upaya menyelundupkan barang haram itu ke dalam negeri, baik oleh warga lokal maupun warga negara asing.

Berdasarkan kecenderungan itu, relevansi dan urgensi menguatkan fungsi dan wewenang BNN menjadi sangat jelas. BNN harus merefleksikan kekuatan negara, kesungguhan dan konsistensi Indonesia mengeliminasi sindikat narkoba.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6510 seconds (0.1#10.140)