Multidimensi Prostitusi

Senin, 15 Februari 2016 - 15:18 WIB
Multidimensi Prostitusi
Multidimensi Prostitusi
A A A
ABDUL MU’TI
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah
Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

RENCANA penggusuran lokalisasi Kalijodo tampaknya kian dekat. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta terlihat mulai bersiap­-siap, diawali dengan rencana sosialisasi penggusuran. Kawasan kumuh di Jakarta Barat itu akan digusur untuk penataan bantaran sungai guna mengatasi banjir.

Fenomena ini menarik. Berkaca dari pengalaman penutupan Kramat Tunggak (Jakarta), Dolly (Surabaya) dan tempat prostitusi lainnya beberapa tahun lalu, berlangsung cukup alot, memunculkan debat publik yang rumit, serta diwarnai aksi kekerasan. Apapun alasannya, penulis bersyukur atas rencana penggusuran lokalisasi tersebut.

Dengan penggusuran, apakah masalah langsung terselesaikan? Secara hukum karena alasan penggusuran adalah pembangunan, tidak ada alasan warga lokalisasi Kalijodo untuk bertahan. Dari sudut tata kota, hal ini disebut masalah clean and clear. Akan tetapi masalah prostitusi belum tentu teratasi. Prostitusi sangat kompleks. Prostitusi harus dipahami dan diselesaikan dari berbagai dimensi.

Dimensi Sosial Kemanusiaan
Dari perspektif agama, prostitusi merupakan perbuatan tercela. Prostitusi adalah perzinaan, perbuatan nista yang merusak manusia, kemanusiaan, dan kehidupan. Karena itu di dalam Islam, pezina harus dihukum seberat­-beratnya seperti cambuk atau rajam. Hukuman tersebut dimaksudkan untuk memelihara akhlak dan menciptakan kemaslahatan individu dan masyarakat.

Ironisnya walaupun ancaman hukuman sangat berat, prostitusi justru kian menjamur. Hal ini disebabkan, pertama, adanya kebijakan lokalisasi. Pemerintah berdalih lokalisasi prostitusi untuk pembinaan iman, pendidikan keterampilan dan kesehatan sehingga mereka bertaubat, memiliki pekerjaan, dan tidak menyebarkan penyakit. Namun, dalam realitasnya, lokalisasi adalah bentuk legalisasi, proteksi, dan kapitalisasi. Lokalisasi tidak menghilangkan pelacuran liar dan “ilegal”. Yang terjadi justru sebaliknya. Prostitusi online, warung remang­-remang, dan sebagainya terus berkembang.

Kedua, sebab yang berkaitan dengan gerakan sosial dan hak asasi manusia (HAM). Perjuangan kaum feminis dan HAM liberal mulai berbuah. Perlahan­-lahan sebutan wanita tuna susila (WTS) hilang dalam kamus sosial digantikan dengan sebutan pekerja seks komersial (PSK).

Sebutan WTS bias gender dan bertentangan dengan HAM. Arti prostitusi sendiri adalah transaksi sukarela antara pria dengan wanita. Semua pelaku yang merupakan pekerja seks -pria atau wanita- disebut tunasusila. Namun sebagian besar wanita yang terjun ke dunia prostitusi beralasan karena faktor ekonomi, yaitu kemiskinan.

Pelacuran berubah menjadi sektor “jasa” seksual profesional. Seorang pejabat daerah bahkan pernah mengusulkan agar PSK dapat ditulis dalam kolom kartu tanda penduduk (KTP). Dengan begitu penyedia dan pengguna jasa seksual tidak perlu malu dan malu-malu.

Dalam realitas terkini, mayoritas PSK tidak hanya mereka yang dari kalangan miskin, tetapi justru berasal dari kalangan mapan kaya, melek teknologi, berpendidikan tinggi, dan mahir berbisnis. Pelacuran telah bermigrasi dari rumah kumuh dan warung remang-remang ke rumah kos mewah dan hotel berbintang.

Ketiga, karena perubahan pandangan dan gaya hidup. Pandangan masyarakat tentang hubungan seksual berubah dari orientasi reproduksi menjadi rekreasi. Sesuai dengan tuntunan agama dan moralitas sosial, hubungan seksual harus diikat pernikahan. Selain sebagai lembaga, salah satu tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan. Tidak adanya keturunan bisa menjadi alasan diperbolehkannya perceraian.

Dewasa ini sebagian kalangan memandang hubungan seksual sebagai rekreasi yang tidak perlu terikat pernikahan. Pandangan ini melahirkan para petualang seks yang berganti­-ganti pasangan. Prostitusi menjadi bagian dari wisata dan komoditas. Fenomena yang ramai terjadi saat ini adalah lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang antara lain disebabkan orientasi seksual ini.

Sebab lain yang mendukung prostitusi adalah rusaknya keharmonisan keluarga. Angka perceraian di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Terbuka kemungkinan Indonesia menjadi fatherless nation karena banyaknya single mother. Bagi sebagian keluarga yang menolak poligami, prostitusi terkadang menjadi pilihan.

Sebagian suami juga memilih jalan ini karena ketidakmampuan memenuhi kebutuhan batin istri. Bentuk lain yang terjadi adalah fenomena kawin siri. Sebagian ulama berpendapat kawin siri merupakan bentuk prostitusi terselubung. Penyalahgunaan ajaran agama dalam bentuk kawin siri online telah menjadi masalah sosial, moral, dan agama yang cukup serius.

Solusi Manusiawi
Demi pembangunan kota yang manusiawi dan menyelamatkan bangsa dari kehancuran moral, lokalisasi sudah semestinya ditutup. Di mana pun lokalisasi yang ada di wilayah Indonesia, tidak hanya di Kalijodo. Menutup lokalisasi memang tidak menjamin hilangnya prostitusi. Tapi mempertahankan lokalisasi jauh lebih menimbulkan kerugian sosial, ekonomi, dan rusaknya keadaban bangsa.

Menjadi pelacur hanya akan memperkaya mucikari. Hasutan dengan slogan bahagia dengan prostitusi hanyalah ilusi. Hilangnya sebutan tidak bermoral tidak akan membuat praktik prostitusi mulia. Mereka yang menjual diri karena materi tidak bernilai lebih tinggi bila dibandingkan dengan materi itu sendiri.

Masalah prostitusi perlu diselesaikan secara manusiawi. Langkah yang perlu dilakukan, pertama, hilangkan sebutan WTS dan PSK. Sebutan WTS tidak akan membuat pelaku jera dan merasa nista, begitu pula halnya dengan PSK.

Kedua, menerima mereka sebagai bagian dari kehidupan dan masalah kita. Prostitusi lahir karena masalah kehidupan yang kompleks dan multidimensi. Bukan hanya pemerintah, semua pihak dan masyarakat bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah prostitusi. Prostitusi lahir karena kemiskinan, ketidakadilan, ketidakharmonisan keluarga, kekecewaan hidup, eksklusi sosial, kebijakan yang salah, dan berbagai hal lain.

Ketiga, mendekatkan manusia pada agama dengan cara yang manusiawi dan bukan dogma yang hegemonik. Keempat, memperkuat lembaga pernikahan dan keluarga.

Prostitusi bisa dikurangi, bahkan dinihilkan dengan menghilangkan penyebab dan akarnya yang unik. Indonesia tanpa prostitusi adalah menjadi mimpi kita. Mari kita bekerja untuk meraih mimpi.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0712 seconds (0.1#10.140)