Pakar Hukum Pidana Ragukan Keabsahan Rekaman Skandal Freeport

Jum'at, 08 Januari 2016 - 08:04 WIB
Pakar Hukum Pidana Ragukan Keabsahan Rekaman Skandal Freeport
Pakar Hukum Pidana Ragukan Keabsahan Rekaman Skandal Freeport
A A A
JAKARTA - Bola panas skandal PT Freeport Indonesia kini tengah di tangan Kejaksaan Agung (Kejagung). Lembaga ini tengah berusaha membongkar dugaan pemufakatan jahat yang diduga dilakukan Presiden Direktur (Presdir) PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, mantan Ketua DPR Setya Novanto dan pengusaha Riza Chalid.

Namun demikian, sejumlah kalangan pesimis Kejagung dapat menyeret persoalan ini ke ranah pidana. Alasannya, alat bukti rekaman milik Maroef yang dijadikan dasar penyelidikan, diragukan keabsahannya.

"Dalam rancangan KUHP atas usul ahli hukum acara Pidana sedunia Prof Thaman, hal itu ditegaskan dalam KUHP semua alat bukti (bukan rekaman saja) yang diperoleh secara tidak sah, tidak dapat dipakai alat bukti," kata Pakar Hukum Pidana Prof Andi Hamzah kepada wartawan di Jakarta, Kamis 7 Januari 2016.

Menurut pengajar di Pusdiklat Kejagung itu, rekaman pembicaraan orang lain tanpa izin, seperti menyadap tanpa izin atau seperti memasuki perkarangan orang lain tanpa izin, semuanya menyangkut privasi orang lain.

Meski demikian, Ketua Tim Perumus Undang-undang (UU) Tipikor ini mengakui, sebelumnya mengenai hal tersebut telah dimasukkan dalam rancangan KUHP, sejak 30 tahun lalu.

Menurut Andi, rekaman pembicaraan dan bukti CCTV yang didapat tim penyelidik di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, sangatlah berbeda kualitasnya dalam hukum pidana.

"Pertama perekaman pembicaraan orang lain bersifat khusus untuk otang tertentu, waktu tertentu, tidak diketahui orang yang direkam pembicaraannya," ungkapnya.

"Sedangkan CCTV bersifat umum, waktu terus-menerus, dapat diketahui atau dilihat orang. Perekaman pembicaraan berupa suara, sedangkan CCTV hanya gambar," imbuhnya.

Hal senada dikatakan mantan Jaksa yang kini mengajar di Pusdiklat Kejagung Adnan Paslyadja. Menurutnya, barang bukti berupa rekaman telepon seluler merupakan bukti permulaan berdasarkan Pasal 5 huruf a angka 2 KUHAP dan Pasal 26 A UU Nomor 20/2001.

Menurut Dosen Fakultas Hukum (FH) UMJ itu, pada tahap penyidikan, setelah rekaman disita secara sah, itu kualitasnya menjadi bukti. Kemudian bila diajukan ke persidangan itu dapat menjadi alat bukti. Namun bila rekaman diperoleh secara tidak sah tanpa sepengetahuan pihak yang direkam menjadi tidak sah.

"Itu tindakan tidak bertanggung jawab dan melanggar HAM yang dilindungi oleh KUHAP. Yang boleh hanya penyidik. Dengan demikian rekaman yang dilakukan Maroef Sjamsoeddin tidak dapat dijadikan bukti di penyidikan," tegas Adnan.

Pilihan:

Ditinggal Koalisi, Gerindra Tak Masalah Sendirian di KMP
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7221 seconds (0.1#10.140)