Hukuman Koruptor di Indonesia Dinilai Masih Ringan

Sabtu, 26 Desember 2015 - 15:09 WIB
Hukuman Koruptor di Indonesia Dinilai Masih Ringan
Hukuman Koruptor di Indonesia Dinilai Masih Ringan
A A A
YOGYAKARTA - Hukuman bagi para koruptor di Indonesia dinilai tidak sebanding dengan uang yang dikorupsi. Perlu ada inovasi jenis hukuman sebagai efek jera terhadap perampok uang rakyat. Tujuannya satu yaitu agar keuangan negara bisa dipulihkan.

“Indonesia masih menganut hukuman konvensional yang belum inovatif dan inventif dalam merancang hukuman kepada koruptor,” kata Deputy Director of Research Pusat Penelitian Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rimawan Pradiptyo, beberapa waktu lalu saat ditemui wartawan, Sabtu (26/12/2015).

Menurut Rimawan, aparat hukum harus menerapkan besarnya hukuman denda dan uang pengganti kepada koruptor disesuaikan dengan besarnya biaya sosial korupsi yang ditimbulkan.

"Sehingga seluruh dampak negatif yang diakibatkan oleh korupsi dibebankan kembali kepada koruptor. Cara itu dapat memiskinkan koruptor,” ucapnya.

Selain masih tergolong ringannya hukuman bagi koruptor, upaya pemulihan uang kerugian negara juga menemui kendala. Salah satunya jika uang hasil korupsi dilarikan atau disembunyikan ke luar negeri.

Diakui Rimawan, padahal sebenarnya Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi Tahun 2003 dengan Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2006 tentang United Nation Convention Against Corruption (UNCAC).

“Usaha pemulihan keuangan negara belum optimal. Seringkali muncul penghambat proses pengembalian aset, misalkan saja aset tindak pidana korupsi yang dilarikan ke luar negeri karena terbentur yuridiksi,” sebutnya.

Penerapan hukuman tambahan berupa negative reputation kepada koruptor juga layak dilakukan. Yaitu dengan menghapus hak politik, akses ke produk keuangan tertentu, akses bekerja di sektor formal, hingga standarisasi penyebutan mantan koruptor di media massa.

Berdasarkan database putusan Mahkamah Agung terhadap perkara tindak pidana korupsi pada 2001-2009, tercatat sebanyak 549 kasus dengan jumlah 831 terdakwa. Pada 2001-2012, terdapat 1.289 kasus dan 1.831 terdakwa, kemudian pada 2001-2013 terdapat 1.518 kasus dan 2.145 terdakwa.

Rimawan mengklasifikasikan koruptor menjadi lima macam, yakni koruptor kelas gurem kurang dari Rp10 juta, koruptor kelas kecil Rp10-Rp99 juta, koruptor kelas sedang Rp100-Rp999 juta.

"Kemudian koruptor kelas besar Rp1-Rp24,99 miliar, dan koruptor kelas kakap Rp25 miliar lebih," ungkapnya.

Yang menarik kata dia, justru intensitas hukuman yang diberikan kepada para koruptor kelas kakap lebih rendah dari pada kelas gurem. Berdasar harga konstan, korupsi yang berakibat kerugian negara Rp68 triliun hanya mendapatkan hukuman finansial Rp700 miliar atau 1,03 persen dari nilai yang korupsi.

Kerugian negara akibat korupsi (biaya eksplisit korupsi dengan harga konstan 2010) selama 2001-2013 sebesar Rp107,14 triliun namun total hukuman finansial hanya Rp10,77 triliun atau 10,05 persen. Selisih di antara nilai keduanya adalah Rp85,60 triliun.

"Artinya koruptor dapat subsidi. Lalu siapa yang membayar subsidi itu, ya anda-anda semua pembayar pajak," cetusnya.

Berdasarkan pada hasil penelitian itu, Rimawan merekomendasikan amandemen Undang-undang (UU) RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pilihan:

Parpol Pendukung Pemerintah Minta Segera Reshuffle Jilid II
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7000 seconds (0.1#10.140)