Menjaga Marwah Ormas dalam Pilkada
A
A
A
POSISI organisasi sosial kemasyarakatan (ormas) pada setiap pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) terasa sangat penting. Dengan sumber daya berupa pimpinan, kiai, anggota, dan amal usaha di berbagai bidang, ormas memiliki daya pikat luar biasa. Ormas juga memiliki jaringan organisasi yang mapan mulai pusat, wilayah, daerah, kecamatan, hingga desa dan kelurahan.
Ormas-ormas mapan seperti NU dan Muhammadiyah juga memiliki anggota dengan jumlah yang sangat besar. Karena itulah, tidak mengherankan jika beberapa pasangan calon yang running dalam pilkada serentak pasti memanfaatkan potensi ormas. Bagi pasangan calon, dukungan ormas sangat potensial untuk mendulang perolehan suara dalam pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2015.
Sebanyak 204 daerah di penjuru Tanah Air akan menyelenggarakan pilkada serentak. Karena kompetisi dalam pilkada begitu ketat, semua pasangan calon berusaha untuk meraih dukungan ormas. Dukungan itu bisa diberikan melalui tokoh-tokoh berpengaruh ormas. Pasangan calon harus sesering mungkin “sowan” ke pimpinan ormas sebagai “kulonuwun politik”. Budaya sowan ini merupakan ikhtiar memperoleh restu dan dukungan politik. Bagi pasangan calon, restu dan dukungan tokoh ormas atau kiai bisa memberikan energi dan kepercayaan diri untuk mengarungi kompetisi yang sangat menguras energi selama pilkada.
Budaya sowan politik ini merupakan sesuatu yang lumrah dilakukan pasangan calon yang maju dalam pilkada. Di samping menjalani safari politik, strategi yang sering dilakukan pasangan calon adalah mengidentifikasi diri sebagai anggota atau simpatisan ormas tertentu. Strategi ini cukup efektif untuk memperoleh simpati pimpinan dan anggota ormas. Dengan strategi ini, pasangan calon ingin memastikan dirinya memiliki kedekatan emosional dengan ormas tertentu.
Dalam proses identifikasi diri itu, sering kali disertai janji-janji politik. Jika pasangan calon dalam pilkada benar-benar terpilih sebagai kepala daerah, bantuan terhadap ormas pendukung akan direalisasikan. Strategi lain yang sering digunakan partai politik dalam pilkada adalah menempatkan pimpinan ormas menjadi calon kepala daerah. Karena itu, tidak mengherankan jika ada sejumlah calon dalam pilkada yang berlatar belakang pimpinan ormas.
Jika strategi tersebut tidak berhasil, partai politik dan pasangan calon biasanya menempatkan pimpinan ormas sebagai bagian dari tim sukses. Bahkan di suatu kabupaten/ kota, muncul pasangan calon dan tim sukses yang berasal dari satu ormas. Dalam suasana persaingan memperebutkan posisi kepala daerah itulah, sering terjadi gesekan yang melibatkan antar elit dari suatu ormas. Lebih berbahaya lagi jika gesekan antarelite itu berlanjut hingga level akar rumput. Jika kondisi itu terjadi, konflik horizontal yang melibatkan basis massa akan sulit dihindari. Dampaknya, hubungan antara pribadi dan kelompok dalam satu ormas pasti terbelah.
Dalam menghadapi pesta demokrasi berupa pilkada serentak di Tanah Air, ormas harus menjaga kehormatannya. Paling tidak ada empat alternatif yang bisa diambil pimpinan ormas dalam menghadapi pilkada serentak. Pertama, pimpinan ormas bisa mengambil alternatif mendukung salah satu calon. Dengan sikap ini, berarti ormas akan berusaha memaksimalkan sumber dayanya untuk menyukseskan, bahkan mengampanyekan pasangan calon tertentu. Sikap ini jelas sangat berisiko karena bisa memicu perdebatan di internal organisasi.
Kedua, pimpinan ormas bisa bersikap apatis, pasif, dan merasa masa bodoh dengan pilkada. Alternatif kedua ini sama ekstremnya dengan yang pertama. Jika alternatif pertama mendukung salah satu calon, sikap kedua menunjukkan bahwa ormas tidak mau peduli dengan pilkada. Jika sikap ini yang diambil, berarti pimpinan ormas tidak berusaha untuk memberikan kontribusi terhadapdinamikapolitikdidaerah. Padahal sebagai salah satu pilar civil society, ormas harus memberikan kontribusi positif dalam pilkada. Sekurang-kurangnya pimpinan ormas harus mengawal proses pilkada sebagai perwujudan gerakan dakwah amar makruf nahi munkar.
Ketiga, pimpinan ormas bisa bersikap ganda (dual position). Sikap ini mengharuskan pimpinan ormas mencitrakan diri sebagai organisasi yang tidak secara tegas mendukung atau menolak pasangan calon tertentu. Dalam posisi ini, ormas bisa turut “bermain” untuk memperoleh keuntungan dari beberapa pasangan calon. Tentu saja sikap dual position ini mengharuskan pimpinan ormas pintar bermain di atas panggung sandiwara.
Dengan meminjam istilah Erving Goffman dalam teori dramaturginya, ormas harus mampu tampil dalam dua domain sekaligus; panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Panggung depan adalah tempat melakukan pertunjukan politik, sedangkan panggung belakang merupakan wajah sesungguhnya. Melalui panggung belakang inilah, sikap politik ormas bisa diketahui dengan pasti. Alternatif ketiga ini juga berbahaya karena pimpinan ormas tidak seharusnya bermain-main dengan politik dan kekuasaan.
Keempat, pimpinan ormas bersikap kritis dan konstruktif. Posisi ini meniscayakan ormas bersikap kritis dan konstruktif pada semua partai politik dan pasangan calon. Dalam posisi ini, ormas harus melihat secara cermat kompetensi, integritas, dan rekam jejak semua pasangan calon. Selanjutnya, pimpinan ormas memberikan kriteria yang semestinya dimiliki pasangan calon dalam pilkada. Jika alternatif keempat ini yang diambil, posisi ormas pasti lebih elegan dalam menentukan sikap politik.
Dari beberapa alternatif tersebut, tampaknya posisi ideal yang harus diambil ormas adalah bersikap kritis dan konstruktif. Sikap politik ini akan memberikan keuntungan bagi ormas sehingga bisa memainkan peran pada level tinggi (high politics). Dengan kekuatan jaringan yang dimiliki, pimpinan ormas dapat menggerakkan masyarakat, terutama anggotanya, untuk berpartisipasi dalam pilkada. Dengan demikian, partisipasi pemilih dalam pilkada mengalami kenaikan.
Pimpinan ormas juga dapat mengajak masyarakat melek politik. Masyarakat harus menjadi pemilih yang rasional. Di ujung pilihan masyarakat itulah masa depan suatu daerah ditentukan. Karena itu, pimpinan ormas tidak boleh terjebak dalam kepentingan politik praktis dalam pilkada. Jangan menggadaikan kehormatan (marwah) ormas dengan kepentingan jangka pendek.
Ormas-ormas mapan seperti NU dan Muhammadiyah juga memiliki anggota dengan jumlah yang sangat besar. Karena itulah, tidak mengherankan jika beberapa pasangan calon yang running dalam pilkada serentak pasti memanfaatkan potensi ormas. Bagi pasangan calon, dukungan ormas sangat potensial untuk mendulang perolehan suara dalam pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2015.
Sebanyak 204 daerah di penjuru Tanah Air akan menyelenggarakan pilkada serentak. Karena kompetisi dalam pilkada begitu ketat, semua pasangan calon berusaha untuk meraih dukungan ormas. Dukungan itu bisa diberikan melalui tokoh-tokoh berpengaruh ormas. Pasangan calon harus sesering mungkin “sowan” ke pimpinan ormas sebagai “kulonuwun politik”. Budaya sowan ini merupakan ikhtiar memperoleh restu dan dukungan politik. Bagi pasangan calon, restu dan dukungan tokoh ormas atau kiai bisa memberikan energi dan kepercayaan diri untuk mengarungi kompetisi yang sangat menguras energi selama pilkada.
Budaya sowan politik ini merupakan sesuatu yang lumrah dilakukan pasangan calon yang maju dalam pilkada. Di samping menjalani safari politik, strategi yang sering dilakukan pasangan calon adalah mengidentifikasi diri sebagai anggota atau simpatisan ormas tertentu. Strategi ini cukup efektif untuk memperoleh simpati pimpinan dan anggota ormas. Dengan strategi ini, pasangan calon ingin memastikan dirinya memiliki kedekatan emosional dengan ormas tertentu.
Dalam proses identifikasi diri itu, sering kali disertai janji-janji politik. Jika pasangan calon dalam pilkada benar-benar terpilih sebagai kepala daerah, bantuan terhadap ormas pendukung akan direalisasikan. Strategi lain yang sering digunakan partai politik dalam pilkada adalah menempatkan pimpinan ormas menjadi calon kepala daerah. Karena itu, tidak mengherankan jika ada sejumlah calon dalam pilkada yang berlatar belakang pimpinan ormas.
Jika strategi tersebut tidak berhasil, partai politik dan pasangan calon biasanya menempatkan pimpinan ormas sebagai bagian dari tim sukses. Bahkan di suatu kabupaten/ kota, muncul pasangan calon dan tim sukses yang berasal dari satu ormas. Dalam suasana persaingan memperebutkan posisi kepala daerah itulah, sering terjadi gesekan yang melibatkan antar elit dari suatu ormas. Lebih berbahaya lagi jika gesekan antarelite itu berlanjut hingga level akar rumput. Jika kondisi itu terjadi, konflik horizontal yang melibatkan basis massa akan sulit dihindari. Dampaknya, hubungan antara pribadi dan kelompok dalam satu ormas pasti terbelah.
Dalam menghadapi pesta demokrasi berupa pilkada serentak di Tanah Air, ormas harus menjaga kehormatannya. Paling tidak ada empat alternatif yang bisa diambil pimpinan ormas dalam menghadapi pilkada serentak. Pertama, pimpinan ormas bisa mengambil alternatif mendukung salah satu calon. Dengan sikap ini, berarti ormas akan berusaha memaksimalkan sumber dayanya untuk menyukseskan, bahkan mengampanyekan pasangan calon tertentu. Sikap ini jelas sangat berisiko karena bisa memicu perdebatan di internal organisasi.
Kedua, pimpinan ormas bisa bersikap apatis, pasif, dan merasa masa bodoh dengan pilkada. Alternatif kedua ini sama ekstremnya dengan yang pertama. Jika alternatif pertama mendukung salah satu calon, sikap kedua menunjukkan bahwa ormas tidak mau peduli dengan pilkada. Jika sikap ini yang diambil, berarti pimpinan ormas tidak berusaha untuk memberikan kontribusi terhadapdinamikapolitikdidaerah. Padahal sebagai salah satu pilar civil society, ormas harus memberikan kontribusi positif dalam pilkada. Sekurang-kurangnya pimpinan ormas harus mengawal proses pilkada sebagai perwujudan gerakan dakwah amar makruf nahi munkar.
Ketiga, pimpinan ormas bisa bersikap ganda (dual position). Sikap ini mengharuskan pimpinan ormas mencitrakan diri sebagai organisasi yang tidak secara tegas mendukung atau menolak pasangan calon tertentu. Dalam posisi ini, ormas bisa turut “bermain” untuk memperoleh keuntungan dari beberapa pasangan calon. Tentu saja sikap dual position ini mengharuskan pimpinan ormas pintar bermain di atas panggung sandiwara.
Dengan meminjam istilah Erving Goffman dalam teori dramaturginya, ormas harus mampu tampil dalam dua domain sekaligus; panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Panggung depan adalah tempat melakukan pertunjukan politik, sedangkan panggung belakang merupakan wajah sesungguhnya. Melalui panggung belakang inilah, sikap politik ormas bisa diketahui dengan pasti. Alternatif ketiga ini juga berbahaya karena pimpinan ormas tidak seharusnya bermain-main dengan politik dan kekuasaan.
Keempat, pimpinan ormas bersikap kritis dan konstruktif. Posisi ini meniscayakan ormas bersikap kritis dan konstruktif pada semua partai politik dan pasangan calon. Dalam posisi ini, ormas harus melihat secara cermat kompetensi, integritas, dan rekam jejak semua pasangan calon. Selanjutnya, pimpinan ormas memberikan kriteria yang semestinya dimiliki pasangan calon dalam pilkada. Jika alternatif keempat ini yang diambil, posisi ormas pasti lebih elegan dalam menentukan sikap politik.
Dari beberapa alternatif tersebut, tampaknya posisi ideal yang harus diambil ormas adalah bersikap kritis dan konstruktif. Sikap politik ini akan memberikan keuntungan bagi ormas sehingga bisa memainkan peran pada level tinggi (high politics). Dengan kekuatan jaringan yang dimiliki, pimpinan ormas dapat menggerakkan masyarakat, terutama anggotanya, untuk berpartisipasi dalam pilkada. Dengan demikian, partisipasi pemilih dalam pilkada mengalami kenaikan.
Pimpinan ormas juga dapat mengajak masyarakat melek politik. Masyarakat harus menjadi pemilih yang rasional. Di ujung pilihan masyarakat itulah masa depan suatu daerah ditentukan. Karena itu, pimpinan ormas tidak boleh terjebak dalam kepentingan politik praktis dalam pilkada. Jangan menggadaikan kehormatan (marwah) ormas dengan kepentingan jangka pendek.
(hyk)