Mengelola Guru Republik Indonesia

Kamis, 26 November 2015 - 07:19 WIB
Mengelola Guru Republik...
Mengelola Guru Republik Indonesia
A A A
MEMBINCANGKAN guru di Indonesia adalah cerita tentang peningkatan kompetensi serta kesejahteraan guru yang belum usai, dan jauh dari sederhana. Upaya pemerintah mengelola guru republik belum mencapai hasil yang menggembirakan. Deretan masalah guru yang jumlahnya mencapai 2,92 juta orang ini masih sangat banyak dan kompleks.

Dalam rangka memperingati Hari Guru Nasional dan HUT Ke-70 PGRI, 25 November 2015, saya ringkaskan masalah-masalah guru tersebut, bukan untuk menghujat siapa, tetapi untuk saling mengingatkan kita semua tentang nasib guru yang jauh dari kompeten, apalagi sejahtera. Padahal, para pemimpin republik dulu dan sekarang adalah hasil didikan guru-guru di masa lalu. Setelah melahirkan banyak pemimpin di Kemendikbud dan Kemenag, bahkan presiden RI, para guru masih tertatih-tatih memperjuangkan hak-haknya demi kesejahteraan mereka.

Pertama, kualifikasi pendidikan guru. Hanya 40% guru yang berpendidikan S-1, sisanya, 60%, berpendidikan di bawah S-1. Peningkatan kualifikasi guru yang lulusan SMA sederajat atau D-2 dan D-3 dilakukan melalui kuliah dengan sistem dual mode, Sabtu dan Minggu, yang dibiayai oleh pemerintah.

Akan tetapi, program tersebut tidak menyentuh semua guru sehingga sebagian berinisiatif kuliah dengan biaya mandiri. Pemerintah beralasan dananya tidak mencukupi, sementara masih banyak guru yang tidak mampu kuliah karena faktor ekonomi, kesibukan, dan jarak rumah jauh ke LPTK. Guru yang belum lulus S-1 pada 2015 ini terancam dimutasikan menjadi staf administratif atau dipensiunkan dini.

Kedua, sertifikasi guru. Guru yang tersertifikasi baru 50%, sementara Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) berakhir tahun 2015 ini. Guru yang belum terpanggil sertifikasi melalui PLPG atau pendidikan profesi guru (PPG) harus mengikuti PPG mulai tahun 2016 dengan biaya sendiri atau biaya pemerintah (?).

“Penundaan” sebagian guru untuk mengikuti sertifikasi yang selama ini dibiayai pemerintah menimbulkan ketidakadilan bagi guru tersebut, karena guru tidak segera mendapatkan tunjangan profesi guru (TPG). Diketahui bahwa dalam pemanggilan peserta sertifikasi guru sering terjadi kekeliruan, seperti guru yang belum lama mengajar mendapatkan panggilan, sementara guru yang sudah lama mengajar tak kunjung mendapatkan panggilan.

Derita guru yang belum tersertifikasi akan semakin bertambah ketika mereka dituntut membayar sendiri biaya PPG yang akan berlangsung selama satu tahun. Belum lagi pada saat mengikuti PPG mereka diwajibkan “cuti mengajar”, karena menjadi mahasiswa penuh, sehingga pendapatan mereka pun terhenti. Padahal, guru lainnya yang mengikuti PLPG hanya sembilan hari.

Ketiga, realisasi tunjangan profesi guru. TPG sering dibayarkan tidak tepat jumlah dan tidak tepat waktu. Ketika ditanyakan mengenai hal ini, pihak yang berwenang sering saling lempar tanggung jawab. Guru tidak berdaya untuk menuntut haknya, bahkan cenderung menerima saja praktik kotor pengelola dana sertifikasi guru. Jika menjadi guru yang vokal, mereka justru khawatir tidak dilayani dengan baik dan seharusnya.

Kecuali itu, guru tersertifikasi bisa tidak diberikan TPG selama satu bulan, dua bulan, atau tiga bulan, hanya karena sakit satu hari, melahirkan, melaksanakan umrah, atau haji. Kebijakan seperti ini jelas tidak nyaman bagi guru, tidak berpihak pada guru, dan cenderung berpikir negatif terhadap kinerja dan perilaku guru.

Keempat, guru honorer. Guru honorer bergaji kecil, tetapi keberadaannya sangat dibutuhkan di sekolah. Guru honorer ada karena sekolah kekurangan guru, terutama di sekolah dasar. Guru honorer kategori 1 dan 2 sempat punya harapan karena dijanjikan diangkat CPNS pada 2016 mendatang berdasarkan kesepakatan DPR RI dan pemerintah. Tetapi, harapan itu pupus karena anggaran untuk itu tiba-tiba hilang atau dihilangkan.

Sampai kapan pun sulit mengharapkan kinerja guru honorer akan baik jika pemerintah tidak memperhatikan kesejahteraan mereka. Di tengah harga-harga kebutuhan pokok yang terus naik, bagaimana membayangkan gaji guru honorer hanya sebesar Rp200.000 hingga Rp500.000 per bulan, jauh dari upah minimum regional. Yang sedikit itu pun kadang terlambat dibayarkan karena sangat tergantung pada pencairan dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang sering terlambat dibayarkan ke sekolah.

Kelima, dua payung. Pengangkatan guru PNS dilakukan oleh dua kementerian, yaitu Kemendikbud dan Kemenag. Ada juga pengangkatan guru PNS oleh pemerintah daerah, guru tetap dan tidak tetap oleh yayasan, dan guru honorer oleh sekolah/madrasah. Demikian beragam status guru dan sering memunculkan masalah, sehingga sering muncul wacana pengangkatan dan pengelolaan guru secara terpusat atau sentralistik.

Misalnya menjadi guru di dua kementerian tersebut tentu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tetapi, peluang peningkatan kompetensi guru di bawah Kemendikbud dinilai lebih luas dan terarah dibandingkan dengan guru di bawah Kemenag. Demikian juga dalam aspek kesejahteraan, guru Kemenag berada di bawah Kemendikbud. Bukan malah positif, pengelolaan guru dalam dua payung kementerian sering menimbulkan kecemberuan di tingkat guru.

Kompetensi dan Kesejahteraan

Demikianlah lima masalah guru yang intinya adalah kesenjangan kompetensi dan kesejahteraan di antara guru yang statusnya sangat beragam. Pengembangan kompetensi guru adalah tanggung jawab bersama. Guru selaiknya menjadi pembelajar yang senantiasa haus akan ilmu pengetahuan, meskipun belum sejahtera.

Pemerintah berkewajiban meningkatkan kompetensi guru secara berkelanjutan melalui pelatihan, termasuk membiayai kuliah guru yang belum S-1. Kepala sekolah mendorong guru untuk pelatihan dan mendukung penuh guru yang mengikuti PPG dan kuliah S-1, S-2, atau S-3. Tanpa dukungan pemerintah dan kepala sekolah, kompetensi guru kita akan terus dan selamanya rendah.

Kesejahteraan guru merupakan tanggung jawab pemerintah, karena tugas guru adalah mencerdaskan generasi bangsa dan melahirkan calon-calon pemimpin bangsa di masa depan. Kualitas bangsa ini akan tergantung pada kualitas dan kesejahteraan gurunya. Bayangkan, bagaimana gaji guru di republik ini lebih rendah daripada gaji buruh pabrik dan tukang ojek!

Ke mana para pemimpin negara ini, ketika para guru honorer berteriak menuntut haknya? Bagaimana penglihatan mata dan pendengaran telinga dan nurani para pemimpin dan pejabat negeri ini pada saat 100.000 guru dan tenaga kependidikan di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) memekikkan harapan dan doa-doa mereka? Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai guru. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memahami penderitaan guru.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0746 seconds (0.1#10.140)